Hati, Mengakulah.

2 0 0
                                    

Lambat laun dinding itu kian runtuh, pandangmu mampu membuatnya luluh. Bertanding dengan segala peraduan bahwa suatu saat hati ini akan mengaku bahwa sejak pertama ia telah menaruhkan dirinya padamu. Entah untuk hari ini saja, atau untuk selamanya. Terlepas dari sulitnya melupakan masa lalu, ia hanya takut bahwa luka itu akan sama jika ia titipkan harapnya padamu. Ia hanya tak lagi bisa yakin pada dirinya sendiri...

untuk tak dilukai,

untuk tak ditinggalkan pergi.

Senja indah di sore hari, disambut malam dengan hujan rintik-rintik melengkapi renungan tentang apa yang sebenarnya hati ini ingini. Jalan yang biasanya ramai dengan orang yang berlalu-lalang, kali ini sepi terselimuti air yang menggenang di segala sisi. Biasanya hujan ini tak terlalu mengangguku, namun kali ini rasanya amat berbeda. Rintikan yang turun menahan langkahku detik demi detik untuk menemuimu.

Mungkin, hujan kali ini mengingatkanku untuk sejenak beristirahat dari kesulitan mengagumi sendiri. Namun sayangnya, ia gagal. Aku tak pernah mampu beristirahat mengumpulkan segala asumsi yang ku buat sedari pagi. Tentang siapa, apa dan bagaimana wanita yang belum lama ku temui itu mampu mencuri hati secepat ini. Tak pernah mampu ku duga, dan situasi ini pun tak pernah masuk dalam apa yang aku sangka-sangka. Aku hanya kebingungan.

Mungkinkah cinta memang diciptakan dengan penuh pertanyaan?

Ataukah ia hanya dihadirkan untuk memenuhi rasa penasaran?

Malam berlalu begitu cepat, hitamnya pun semakin pekat. Perlahan namun pasti, hujan mulai memberikan tanda bahwa ia akan segera berhenti. Menyadarinya, raut wajahku pun berubah cepat. Ia tampak sumringah ketika ia tahu bahwa menemukanmu dalam setiap harinya adalah rasa sembuh di balik kelamnya masa lalu.

Lekas ku putuskan untuk pergi ke tempat yang biasa aku sambangi. Satu-satunya tempat yang dengan pasti kau mampu ku temui. Dalam perjalanan, aku banyak berpikir tentang bagaimana ini bisa terjadi. Mengapa semua begitu tiba-tiba ketika yang ku butuhkan adalah teman hidup untuk selamanya. Aku lelah dengan cinta, aku lelah dengan janji-janji buta, aku lelah dengan luka. Aku lelah.

Tapi,

bagaimana kamu bisa meyakini hatiku untuk kembali percaya?

Setelah sampai di tempat yang aku tuju, aku hanya terdiam dalam radius jarak yang cukup jauh. Aku rasa mataku masih bisa melihatmu, meski tak begitu jelas mampu ku lihat raut wajahmu. Kau tersenyum dengan senang, dan hatiku berhasil dibuatnya tenang. Bercanda sana-sini dengan beberapa teman disekitarmu membuatku berandai-andai bahwa suatu hari aku bisa menjadi tempatmu untuk menuangkan segala cerita tentang hari-harimu. Menembus segala dimensi, yang mungkin hanya sebuah imajinasi. Tapi, salahkah bila kamu adalah apa yang ku sebut indahnya sebuah mimpi?

Kita terpisah ruang dan waktu. Lebih dari itu, kita tak pernah punya alasan untuk saling mengenal satu sama lain, bahkan untuk sejenak bertemu. Mungkin takdir yang kuiinginkan bukanlah suatu hal yang kamu impikan. Dimensi kita tak satu, ilusi ini hanya kian menipu.

Melihatmu malam ini sudah lebih dari cukup bagiku. Meski yang ku temui kau tak lagi menikmati waktumu sendiri, ku harap semuanya akan baik-baik saja; kini dan nanti. "Seharusnya... seharusnya." menjadi pembelaan yang sepanjang perjalanan tergumamkan. Ia mulai tak rela ketika menyadari bahwa banyak laki-laki di luar sana yang mampu membuat senyuman itu dengan suka rela hadir di bibirmu dan siapalah aku yang mendekatimu saja tak mampu; terlalu banyak berkeluh kesah tentang kepada siapa senyummu itu harus kau berikan.

Dan...

siapalah aku.

"Mengapa aku tak menyapanya saat kita pertama kali bertemu?"

"Siapa ya laki-laki itu? Mungkinkah hanya teman seperti yang aku bayangkan?"

"Ah, sialan. Aku harusnya bisa bergerak lebih cepat."

Penyesalan memang selalu datang belakangan. Di kala ia tak mampu memenuhi indahnya harapan, yang tersisa hanyalah sisa-sisa kehampaan. Hati menjerit letih tak inginkan lagi kisah ini berakhir perih. Ia tak lagi mau menikmati perjalanan panjang yang hanya berujung pada satu-satunya kenyataan; perpisahan.

Entah hari ini aku mulai ragu, atau mungkin hati ini terlalu cepat jatuh.

Yang ku tahu bahwa kamulah satu-satunya orang yang aku mau;

kala itu.

----------------------------------------------

Aku berteman dengan hujan.

Sungguh, aku menyukainya.

Namun, malam ini berbeda,

suara jernih rintikan hujan menyadarkanku...

Bahwa,

aku lebih menyukaimu.

----------------------------------------------

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 21, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kata Kamu: Edisi RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang