chapter four : teeth and thigh

10 3 0
                                    

Lynn adalah preman di barisan terdepan. Ia kentara merupakan orang yang turun tangan langsung dalam pertarungan dan menikmati saat-saat berdarahnya.

Si dokter-ilmuwan itu sebaliknya. Dia bekerja di ruang bawah tanah tersembunyi, menciptakan racun-racun atau mungkin cairan peledak. Ia juga menyambi menjadi dokter. Meski Lynn mengatainya sebagai dokter gadungan, tapi karena tubuhnya terasa lebih ringan usai diinfus, Ae menyimpulkan bahwa lelaki itu setidaknya memang mengerti soal pengobatan.

Lalu... Ehwa. Pria di sampingnya ini... siapakah dia?

Setelah duduk di dalam mobil, Ae baru mulai serius memikirkan 'Tuan' barunya ini.

Dulu ada Ayah, kemudian Lynn, dan sekarang Ehwa. Hidup tak pernah membawanya ke posisi tanpa seseorang yang harus ia layani, jadi Ae merasa akan bisa melalui ini dengan baik. Sekali lagi.

Toh, ia tak punya tempat kembali. Tempat tinggalnya dulu hanya rumau sewaan. Pemilik rumah sewa itu berkali-kali hampir memanggil polisi untuk mengusir keluarga Ae, sampai kemudian terjadi insiden kematian ibunya.

Ae menoleh pada jalanan. Ia dalam mobil berdua bersama Ehwa. Ehwa menyetir, dirinya duduk di samping kemudi. Sepi dan seakan tak ada celah untuk memulai obrolan, setidaknya perkenalan.

Ehwa, apa kamu benar-benar bisu?

Ehwa, kita akan pergi kemana?

Ehwa, kamu itu apa?

Ehwa, kenapa kamu menerimaku?

Sepi yang lebih keras dari teriakan Lynn. Lebih deras daripada darah yang keluar gigitan di pahanya itu.

***

Saat kewarasannya kembali, Ae sudah terbatuk-batuk memegangi hidungnya yang terasa penyok.

Di depannya, Lynn sedang berlutut mencengkram pahanya yang berdarah.

Darah. Ae meludah cepat-cepat. Ludahnya itu mengenai tubuh seseorang.

Ayahnya.

Darah juga ada di dahi ayahnya. Bersama sebuah lubang yang menembus kepala secara telak dan mengerikan.

Awalnya, yang Ae rasakan adalah mual. Mual yang berasal dari perasaan bingung ketika akhirnya mimpi besarnya tercapai, dan ia mendadak kehilangan sesuatu yang begitu besar, begitu penting; yaitu cita-cita.

Pembunuhan ini adalah cita-citanya. Pembunuhan bukanlah jenis cita-cita macam dokter, guru, pengusaha, yang setelahnya harus terus dijalani untuk menapaki posisi, gaji, kehormatan yang lebih baik. Pembunuhan adalah pembunuhan. Begitu tercapai, semuanya selesai.

Ae selalu hidup di antara garis batas, pilihan untuk membunuh ayahnya dengan tangannya sendiri atau menunggu seseorang menghabisinya. Toh orang seperti ayahnya memang selalu dikelilingi seribu masalah. Ketika melihat Lynn bergumul tadi, Ae menyangka itulah yang akan terjadi, seseorang akan menghabisi ayahnya. Dirinya ikhlas.

"Bunuh dia, Lynn." Setidaknya ia ingin menjadi seseorang yang memberinya perintah.

Bukan main senangnya Ae ketika Lynn menawarkan pistolnya, meletakkan kuasa pembunuhan itu di tangannya lagi. Ae yakin perasaannya saat itu lebih indah dari cinta yang berbalas. Sumpah, kakinya sudah maju selangkah ketika suara tembakan tiba-tiba meletus.

Tubuh ayahnya roboh.

Lynn tersenyum.

Ae menggigit Lynn.

Di pahanya.

Sekeras yang ia bisa.

Seperti anjing bertemu dengan daging yang alot.

Dalam sepersekian detik yang tak dapat ia cerna, tangan kanan Ae berakhir menahan pergelangan tangan Lynn yang sepenuh tenaga menjenggut rambutnya. Mencoba menarik kepala kecil gadis itu dari daging pahanya.

Tangan kiri Ae bernasib sebaliknya--Lynn yang mati-matian menahan agar tangan Ae yang satu itu tidak maju menuju area privatnya. Ambisi Ae untuk menyerangnya di titik itu dan kekuatan yang digunakan Lynn untuk menjauhkan tangannya membuat jalinan tangan mereka bergetar.

Lynn tahu Ae tak berniat mengampuninya seujung jaripun.

Aku akan mencabik-cabik tiap bagian dari pria ini, tanpa terkecuali.

"JALANG!"

Ae merasakan asin darah meraba ujung lidahku. Rupanya giginya telah merobek celana leather yang dikenakan Lynn, menembus lapisan pertama kulit. Belum terlalu dalam, sebab kepalanya terus-terusan dijambak dari belakang.

Kenapa? Kenapa kau menawarkan cahaya seterang itu tadi?  Ae berbicara pada mata Lynn, hanya sekejap saja.

Dugh!

Tendangan dari kaki Lynn yang bebas dari gigitan diterima samping tubuh Ae bulat-bulat. Kedua tangan Ae melemah, tapi gigitannya masih tertanam. Tampaknya kekuatan kaki Lynn juga menurun. Tendangannya tak menggunakan kekuatan penuh. Ae merasakan darah mengaliri sudut bibirnya, menetesi dagu. Bau yang memuakkan.

Ae tahu, dirinya akan mati.

Ia bahkan tak menggigit di bagian paha dalam demi luka yang lebih fatal. Gigitannya ini tidak akan cukup membunuh siapapun. 

Ae mengernyitkan mata, bersikeras untuk tidak kalah, persis sebelum lutut Lynn menghatam wajahnya. Terdengar suara gigi yang berbenturan, dan gigitan itu akhirnya terlepas.

Gadis kecil itu terhempas, terengah-engah memegangi mulut dan tulang rahangnya. Rasanya aneh.

"Cuh!"

Ae meludahkan celana leather Lynn yang tertinggal di mulutnya. Terlihat ludahnya bercampur merah.

Perut Ae kembang-kempis. Tendangan lutut Lynn tadi telak sekali. Beberapa giginya pasti goyang, agak merupakan keajaiban tidak ada satu pun yang copot.

Darah segar masih mengotori sekujur mulut Ae. Basah yang baru terasa perih ketika menyapu bibirnya yang pecah-pecah.

"... kau puas?" Lynn menaikkan dagunya. Posisinya setengah duduk, memegangi luka terbuka di pahanya. Celananya robek sampai ke lutut.

Ae tidak menjawab. Lonjakan adrenalin yang ia dera sesaat tadi sudah mereda, berganti dengan perasaan angker yang menyerempet perut.

Ae meludah lagi ke samping, ingin membersihkan mulutnya dari rasa yang tidak asing ini. Ia menyeka bibirnya dengan permukaan tangan, lalu menundukkan kepala dalam-dalam.

***

The White ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang