chapter nine : every probabilities

7 1 0
                                    

"Kau mau keluar?

Dekat rak sepatu, Ae berbalas tatap dengan Ehwa. Bahkan bayangan dirinya sendiri yang terpantul di mata pria itu terlihat terkejut.

Setelah beberapa saat, Ehwa mengangguk.

Mata Ae melebar. Sejak tinggal bersama, ini pertama kalinya pria itu meninggalkan rumah. Ada apa? Sesuatu terjadi? Misi baru untuk merampok bank?

Suara pintu yang terbuka menyadarkan Ae. Ehwa sudah membuka pintu depan, tapi matanya masih menatap ke dalam rumah. Pada Ae. Seolah bertanya, tidak apa-apa kan kutinggalkan sendirian?

Ae mengerjap. Apa-apaan imajinasinya itu. "Uh, oke, selamat jalan. Hati-hati."

Hati-hati? Ae menatap pintu yang sudah tertutup. Harusnya ia mengucapkan hati-hati kepada siapapun yang sedang beraktivitas di luar sana sekarang.

Hati-hati, seseorang yang selama ini mengurung diri di kamarnya, yang tidak bisa berdarah, sedang menampakkan dirinya pada dunia. Jangan sampai kalian terbunuh.

Benar, kamar. Ini adalah kesempatan bagus untuk menyelidiki kamar Ehwa yang tak tersentuh itu.

Ae berencana membunuh Ehwa di sana, harus di sana, karena Ehwa selalu ada di sana, dan Ae telah gagal dalam percobaannya yang dilakukan di dapur, ruang tengah, dan bagian lain di rumah ini. Kamar itu adalah elemen penting.

Apakah Ehwa menguncinya? Ae mendorong pintu kamar Ehwa setengah berharap, setengah berpikir keras apa yang harus ia lakukan jika pintunya ter—

Tidak terkunci? Wah, bajingan itu benar-benar menganggapku amatiran.

Hatinya berdebar hebat, tapi Ae bertahan sejenak. Ia merapatkan kembali pintu kamar Ehwa, lantas berjalan ke pintu depan.

Ae keluar dari rumah, berlagak  meregangkan badan. Tak sampai lima menit, ia kembali masuk dan memastikan telah mengunci pintu dengan benar. Jaga-jaga. Ia harus benar-benar yakin Ehwa telah meninggalkan rumah.

Aman. Ehwa benar-benar sudah pergi, hatinya kembali bergemuruh.

Sejurus kemudian, sehabis mengunci pintu depan, Ae sudah berada di kamar tuannya yang misterius itu.

Sebuah kamar yang normal.

Sebuah ranjang, meja, dan lemari. Ae mengangguk tanpa sadar, puas.

Tentu saja. Tentu saja Ehwa tidak akan meninggalkan jejak yang mencolok di kamarnya. Dia siap dengan segala kemungkinan, termasuk soal penyusup; apa yang Ae lakukan sekarang. Tapi, mengingat Ehwa menghabiskan sebagian besar waktu di kamar ini, seharusnya memang terdapat rahasia di balik segala kenormalan ini.

Meski begitu, Ae tak serta-merta melupakan tujuan awalnya. Rencana pembunuhan. Kamar ini adalah TKP terbaik.

Gadis itu menoleh ke arah pintu, berpikir. Apakah ia bisa menggunakan celah antara pintu dan dinding itu untuk bersembunyi? Ia membayangkan skenario menyerang Ehwa yang baru memasuki kamar. Kemungkinan berhasilnya tinggi, ada efek kejutan di sini.

Atau, kolong ranjang? Ae bisa sekalian bersembunyi di sini sepanjang malam, lalu menyerang Ehwa ketika ia tertidur?

Pilihan ini punya keuntungan tinggi, yaitu kemungkinan bahwa ia bisa memata-matai Ehwa soal apa yang selalu ia lakukan di kamar tertutup ini. Namun, keuntungan tinggi berarti risiko tinggi. Tidak ada yang bisa menjamin kalau orang semacam Ehwa tidak punya kebiasaan mengecek kolong ranjang.

Dan selama ini Ae sudah menjadi 'anak baik'. Bagaimana reaksi Ehwa tahu Ae menyelidiki kamarnya? Jangan-jangan, dia sudah... tahu? 

Cring~

Bersamaan dengan pemikiran seramnya, suara yang terdengar merdu itu bagai membekukan semua sel tubuh Ae. Ia, tadi menaruh sebuah lonceng kecil yang diikat benang tipis di pintu depan.

Benang itu diselipkan di sela-sela engsel pintu dan akan terjatuh begitu pintu merenggang sedikit saja. Ae sudah mengaturnya sedemikian rupa. Benangnya pendek, dan lonceng itu ditaruh agak tinggi agar suaranya bisa terdengar lebih keras.

Ehwa sudah pulang.

"Sial," desisnya, segera meraih pisau lipat di saku celananya.

Jebakan? Ehwa menjebaknya atau justru memberinya peluang?

Tidak akan aneh-aneh amat kalau lelaki itu bosan dengan usaha-usaha serangan Ae yang gagal, lantas menghadiahinya kesempatan besar semacam ini. Jikalau ia gagal setelah diberikan kesempatan seperti ini, apa yang akan terjadi?

Ae berpikir cepat; belakang pintu, kolong ranjang, atau lemari? Di mana ia harus bersembunyi? Seandainya pun Ehwa tidak sedang 'bermain' dengannya, dia pasti sadar ada yang tidak beres tatkala melihat lonceng  itu jatuh.

Belakang pintu harus dicoret. Serangan mendadak tidak akan mempan.

Kolong ranjang. Tidak ada waktu lagi! Menggigit bibirnya, Ae tersuruk-suruk merendahkan tubuhnya, bersembunyi kolong tempat tidur yang untungnya cukup lapang itu.

Dengan tangan mengepal kuat pada pisau kecilnya, Ae menunggu. Benaknya memutar rencana pembunuhan. Ehwa akan masuk kamar. Selangkah, dua langkah, tiga langkah, empat langkah...

Ae hanya butuh empat langkah dari pria itu. Ae akan langsung menarik dan menyerang kakinya hingga ia terjengkang. Kalau berhasil, Ehwa akan berada di bawahnya, dan Ae akan memiliki pilihan tak terbatas untuk menusuknya di bagian manapun yang ia suka.

Ini masih termasuk serangan mendadak, tapi Ae berharap Ehwa mengendurkan secuil saja kewaspadaannya setelah mendapati tak seorang pun ada balik di balik pintu. Ia hanya butuh secuil itu saja.

Ae tersenyum membayangkannya. Lama. Terlalu lama. Lalu, senyum itu menghilang.

Benar, terlalu lama. Apa Ehwa pergi ke ruangan lain terlebih dahulu? Tidak. Lonceng itu. Lonceng itu harusnya pertanda jelas kalau Ae tengah melakukan sesuatu di kamar Ehwa, kamar yang paling dekat dari pintu depan.

Kamar ini adalah satu-satunya tempat ia bisa mendengar suara lonceng yang jatuh. Lonceng itu tidak berguna sedikit pun kalau siapapun yang memasangnya malah berada di tempat lain. Ehwa harusnya yang paling paham. Apakah Ehwa tengah memberinya lebih banyak waktu...?

Mendadak, sebuah kesadaran baru menghantam kepala Ae.

Tunggu, tidak mungkin.

Seseorang memang membuka pintu depan, tetapi bukan berati dia pulang.

'Seseorang' bisa siapa saja.

'Seseorang' bisa saja... bukan Ehwa.

***

The White ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang