SANGGAR?

176 29 6
                                    

Pagi masih berkabut ketika Sabran bangkit dari tidurnya yang sedikit gelisah. Ditinggalkannya Linda yang masih terlelap di balik selimut tebal nan lembut itu. Musim dingin lumayan ekstrim kali ini sehingga penghangat ruangan ini nyaris tak berfungsi.

Belum lagi Sabran masuk ke kamar mandi apartemennya yang cukup luas itu, ponselnya berdering. Dengan enggan Sabran melihat siapa yang menghubunginya pagi-pagi begini. Namun dia terhenyak ketika melihat siapa yang menghubunginya kali ini. Nama 'nyonya besar' yang disematkan untuk menyebut ibunya terlihat muncul di pemanggil ponselnya.

"Halo, Bu," sapa Sabran sedikit malas. Wajahnya jelas menunjukkan ekspresi yang tak sedap dilihat.

"Hei, apa kamu sudah mempertimbangkan permintaan ayahmu kemarin?" tanya si nyonya besar.

Sabran mengeluh dalam hati. Mengapa suasana hatinya harus diperburuk sepagi ini? Tak adakah sedikit basa basi yang bisa dikatakannya? Sabran menghembuskan napas berat.

"Posisi jabatan dalam pekerjaan saya sedang bagus, Bu. Sayang kalau ditinggal begitu saja" Hanya itu jawaban Sabran, karena sekesal apapun dia atas tuntutan orang tuanya, Sabran tetap menghargai dan menghormati mereka.

"Tapi ayahmu belakangan terlalu banyak proyek, Sabran. Kamu tidak kasihan melihat ayahmu kelelahan? Bagaimana kalau beliau jatuh sakit?" Ainun —ibu Sabran— berkata dengan sabar, sebagaimana biasanya.

Sabran berjalan pelan menuju ke kamar mandi, mengambil sikat gigi masih sambil mendengarkan ibunya bicara di seberang, dari tanah air. Tempat yang letaknya ribuan mil dari posisinya kini.

"Saya pasti akan kembali, Bu. Tapi tidak sekarang. Setidaknya tunggu sampai enam bulan atau satu tahun lagi."

"Kalimat ini sudah beberapa kali kamu katakan sama ibu dan juga ayahmu, kan? Dan nyatanya sampai hari ini kamu masih ada di luar negeri."

Sabran terdiam, mengakui kebenaran kalimat ibunya.

"Bukannya ada Om Baskoro dan juga Om Yusril, Bu? Mereka jauh lebih piawai dibanding saya, kan?" tanya Sabran untuk mengelak halus.

Ainun berdecak.

"Mereka memang lebih piawai dan berpengalaman, Sabran. Tapi mereka hanya sepupu ayahmu. Tak mungkin ayahmu mewariskan perusahaan kepada mereka, kan? Jadi, kalau kamu kasihan sama ayahmu, pikirkan cara untuk pulang dan mulai mengurus perusahaan. Kamu harus cepat belajar." Meskipun nada bicara Ainun sabar, namun jelas ada beban yang ditekankan olehnya untuk Sabran.

Sabran termenung sejenak. Hatinya jelas bimbang. Di satu sisi ada orang tuanya yang membutuhkan dirinya untuk melanjutkan mengelola perusahaan yang dirintis oleh orang tuanya sejak muda. Namun ada sisi lain yang tak bisa Sabran abaikan begitu saja, karena ada Linda yang sejak pertama kuliah di negeri orang ini sudah dekat dengannya.

Banyak hal yang sudah mereka lalui bersama, sehingga mereka berada di posisi seperti ini. Dimana Sabran sudah mendapatkan pekerjaan yang cukup mapan, dan Linda juga sudah menjadi seorang foto model yang cukup punya nama, meski bukan di tanah air. Bahkan, mereka sudah tinggal dalam satu apartemen dengan kehidupan bebas mereka.

Ya, Sabran dan Linda memang telah tinggal bersama meski mereka belum terikat secara resmi. Namun, keduanya selama ini memegang teguh kepercayaan untuk tetap setia satu sama lain.

"Sabran? Kamu masih mendengar kalimat Ibu, kan?" tegur Ainun dari seberang.

"Iya, Bu. Saya masih dengar." Sejujurnya Sabran nyaris lupa bahwa dia masih terhubung dengan telepon ibunya.

"Jadi bagaimana? Kamu akan mempertimbangkan permintaan ayahmu, kan?" desak Ainun seolah tak sabar dengan diamnya Sabran.

"Nanti saya pikirkan kapan waktu yang tepat untuk resign dari sini, Bu. Yang jelas tidak dalam seminggu atau dua minggu. Perusahaan sini juga butuh mencari pengganti saya, kan?" Sabran memiliki alasan yang tepat untuk mengulur waktu.

KINANTHI, Liku Cinta Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang