Di Kota Oppidia, terdapat bel raksasa berlapiskan emas yang terpajang di puncak menara tertinggi istana. Setiap hari sebelum matahari terbenam, seorang penjaga bertubuh bongsor datang membawa tongkat besi sebesar batang pohon, mengambil ancang-ancang, dan membunyikan bel tersebut. Gema yang dihasilkan memenuhi seisi kota, penanda waktu bekerja dan belajar telah usai.
Dari bangunan megah dengan aksen biru di tengah kota, ratusan anak dengan topi kain kerucut dan tongkat di tangan berbondong-bondong meninggalkan tempat mereka belajar. Sebagian dari mereka berjalan tanpa beban, merasa bahwa pelajaran yang didapatkan hari ini terlalu dasar dan membosankan. Sebagian yang lain berlari sambil meremas bagian pinggir topi mereka, menutupi mata sembap penuh kekecewaan, mengutuk nasib mereka yang gagal dalam ujian. Merekalah siswa Akademi Biru, sekolah sihir paling bergengsi di kota ini yang diisi oleh para bangsawan dan bibit-bibit genius.
Sukses bagi mereka berarti kesempatan untuk menjadi bagian penyihir kerajaan, sebuah status yang didambakan oleh setiap orang. Jika posisi itu tercapai, apa pun yang mereka inginkan akan tersedia. Harta, status, dan pasangan, semuanya dapat didapatkan semudah menjentikkan jari. Meskipun begitu, lulus sebagai siswa rata-rata akan masih akan memberikan manfaat yang besar. Penyihir dengan kemampuan rata-rata sekalipun adalah profesi yang selalu dicari. Pandai besi selalu memerlukan sumber panas, sawah selalu memerlukan pengairan, dan berbagai jasa lain selalu bisa ditawarkan.
Yang pasti, jangan sampai mereka gagal dan dikeluarkan dari sekolah. Amarah dari orang tua yang harus menanggung cemooh karena anaknya adalah murid gagal sudah cukup untuk menghantui sisa hidup mereka, tetapi yang paling mengerikan adalah prospek masa depan mereka yang akan terjun bebas. Posisi penyihir adalah satu kasta lebih tinggi dari rakyat biasa dan gagal sebagai penyihir berarti mereka akan menjadi bagian dari kaum jelata.
Kaum jelata yang sama dengan para pelayan di tempat makan, yang selalu dicemooh dan diperlakukan seperti remah roti oleh para bangsawan. Kaum jelata yang harus memerah keringat hanya demi sesuap makanan. Kaum jelata yang hanya bisa memandang dengan iri kepada mereka yang diberkati dengan kemampuan manipulasi sihir. Oh, jangan sampai mereka turun kelas menjadi bagian dari kaum itu.
Oleh karena itu, mereka berusaha sekeras mungkin tiap harinya. Tidak ada kebahagiaan bagi kaum jelata di kota ini. Setidaknya mereka tidak bisa membayangkan orang-orang seperti itu kembali ke rumah mereka dengan wajah bahagia.
"Vea, lihat apa?" Bocah bertudung kumal menyipitkan mata ke arah yang sama dengan gadis di sebelahnya. Di bawah kaki mereka adalah sampah-sampah yang akan dimasukkan ke karung untuk ditukarkan dengan beberapa koin perunggu nanti. "Itu sekolahmu dulu, kan? Lagi apa, nostalgia?"
"Johnny, kau tidak tahu cara menjaga perasaan orang, ya? Mantan murid di sana selalu sensitif soal hal itu, tahu," desis Vea. Ia menurunkan tudungnya dan menyipitkan mata ke arah para siswa yang berlarian pulang. Rambut ungu seleher yang terlihat sama kumalnya dengan baju yang dipakai kini terpampang jelas untuk dilihat oleh dunia. "Dan salah, aku tidak sedang bernostalgia."
"Lalu?" tanya Johnny sambil menusuk sebuah wadah minuman dan melemparkannya ke dalam karung di punggung.
"Kau tahu berapa banyak uang saku yang biasa mereka bawa?" kata Vea, tangannya menunjuk ke kerumunan siswa.
"Sepuluh koin perunggu?"
"Seratus. Bukan koin perunggu juga, perak."
"Astaga. Lalu kenapa? Kau mau mencopet mereka?"
"Kau kira aku mau masuk berita sebagai gadis yang mengapung di sungai besok? Tentu saja tidak. Kalau mereka berlarian seperti itu, pasti ada satu atau dua koin yang jatuh, kan? Bantu aku memungut."
"Astaga. Vea, apa yang akan dikatakan kakak nanti kalau sampai ia tahu."
"Makanya kita tidak akan membiarkannya tahu. Kau mau menghabiskan waktu mengais sampah sampai besok?"
"Astaga. Kau ini..." Johnny menggelengkan kepala sambil menaruh karung penuh sampahnya di tanah. Godaan untuk mendapatkan hasil lebih besar tanpa repot-repot bekerja terlalu menggiurkan untuk ditolak. "Yuk."
***
"Vea, ini apa?"
"Roti," jawab Vea polos.
"Iya aku tahu kalau ini roti. Tapi kenapa ada sebanyak ini? Ya ampun, lemari makanan kita sampai tidak cukup. Sampah dari berapa kota yang kamu jual sampai bisa dapat sebanyak ini?" Rosa, kakak pengurus panti memijat pelipis mendengarkan jawaban dari si gadis. Rambut merah ekor kudanya bergoyang ketika ia menggelengkan kepala.
"Entah. Barangkali paman yang biasanya menerima sampah sedang ulang tahun, jadi aku tiba-tiba saja diberi uang sebanyak itu tadi." Vea mengedikkan bahu, menjawab asal-asalan sambil memberikan satu kerat roti pada anak lain yang beberapa tahun lebih muda sebelum mengusap puncak kepalanya.
"Jangan mengada-ada...," keluh Rosa. Ia memutar otak sebelum mengingat sesuatu. "Hei, Johnny. Kau tadi mengais sampah bersama Vea, kan?"
Johnny yang tinggal sedikit lagi bisa menyelinap keluar dari ruangan seketika membeku ketika namanya dipanggil. Ia melirik ke kanan dan kiri, berusaha mencari celah untuk melarikan diri, tetapi tidak menemukannya. "Ah, iya benar."
"Johnny, Johnny, bisa ceritakan ke kakak apa yang benar-benar terjadi tadi?" Rosa mendekat. Wajahnya dihiasi senyum, tetapi Johnny seakan melihat malaikat maut di depannya.
"Tadi... Anu..." Johnny memalingkan pandangannya, tidak sanggup menatap Rosa langsung. "Ah, paman yang menerima sampah bilang kalau kami adalah pelanggan keseribunya! Jadi dia memberi kami bonus."
"Johnny, ikut kakak sebentar, oke?" Rosa menarik tangan si bocah, masih dengan senyum yang tidak luntur walaupun suaranya sarat dengan ancaman. Johnny meronta, tetapi genggaman Rosa terasa seperti capit dari besi: dingin dan tanpa ampun. Ia melirik ke arah Vea yang hanya membalas dengan isyarat telunjuk yang disilangkan di atas leher.
Sejenak kemudian, suara gemuruh terdengar dari ruang kecil tempat Johnny barusan ditarik. Sejenak kemudian juga, pintu dibanting hingga terbuka dan Rosa berjalan mendekati Vea dengan langkah yang berat-berat. Vea mendecakkan lidah, melirik Johnny dengan tatapan kecewa.
"Vea. Sudah berapa kali kakak bilang? Walaupun kita tidak punya apa pun, bukan berarti kita bisa mengambil hak milik orang lain. Itu namanya mencuri, paham?" Rosa berlutut di depan si gadis.
Kan.
"Aku tidak mencuri. Koinnya sudah berjatuhan di jalanan dan diinjak-injak ratusan orang. Kakak kira orang seperti mereka mau mengambil kembali benda yang kotor seperti itu?" balas Vea.
"Tapi tetap saja, itu bukan hakmu untuk mengambilnya. Harus kukatakan berapa kali sampai kau mengerti." Rosa mengangkat tangan kanannya, siap untuk dilayangkan ke pipi Vea.
"Aku tidak peduli. Tampar saja." Vea membuang muka sebelum melanjutkan dengan suara lirih. "Tampar saja kalau artinya Johnny dan yang lainnya bisa makan."
Rosa mengembuskan napas panjang. Tangannya mendekat ke arah Vea. Si gadis menutup mata, bersiap untuk sensasi perih dan panas pada pipinya yang tidak pernah datang. Jauh dari itu, yang dirasakannya adalah tangan lembut yang melingkar di sekitar lehernya, lengkap dengan kehangatan yang terasa begitu asing. Rosa alih-alih menamparnya, malah mendekapnya begitu erat hingga ia hampir menjatuhkan potongan roti di tangan.
"Kak, hei! Ini apa-apaan. Anak-anak yang lain sedang melihat, tahu. Lepaskan ... tolong," ucap Vea dengan wajah yang memerah.
"Tidak mau. Ini hukumanmu." Rosa tersenyum usil. Dibandingkan rasa sakit, hukuman semacam ini jauh lebih efektif untuk Vea.
"Ya ampun, aku sudah besar, tahu." Vea akhirnya menyerah, matanya terpejam. "Berarti aku dimaafkan?"
"Tidak juga. Malam ini, kamu tidur di gudang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wandering Star
FantasiKatanya, di ujung dunia, berdiri kota tempat kebahagiaan berasal.