Tidak ada yang bisa diharapkan ketika kau berlutut di sebelahku dan meneriakkan sumpah serapah dengan tangan gemetar. Aku tahu di saat itu, malam itu, akhirnya semesta akan mengadiliku atas segala tindak kriminal dan darah yang telah aku tumpahkan. Suaramu timbul tenggelam, berbarengan dengan napasku yang semakin dingin dan pelan. Aku ingin bicara padamu, mengatakan sesuatu (apapun yang bisa membuatmu berhenti menangisiku), namun suaraku tercekat dalam tenggorokan dan berebut keluar bersama cairan pekat gelap. Darah. Aku masih bisa merasakan tanganmu dan sarung tangan kulitmu itu menekan lubang peluru di dadaku, berlumuran cairan yang sama. Dan di saat-saat terakhir sebelum aku sepenuhnya tergelincir pada ketidaksadaran, aku menggenggam pergelangan tanganmu yang masih bergetar hebat. Kita bertatapan. Kau mencekik senyum keluar. Kita berdua tahu hanya satu orang yang akan kembali ke rumah saat matahari menyembul dari ufuk timur.
Orang-orang mati dalam sebuah peperangan. Aku sudah lama menerima fakta itu, bahkan berandai-andai bagaimana rasanya pada malam-malam sepi ketika kita berjalan di bawah bintang; kapan ini akan berakhir, kapan aku akan menyesalinya, kapan aku melihat penyesalan di matamu. Dari banyak skenario imajiner tersebut, aku membayangkannya sebagai rentetan rasa sakit yang perlahan menarik kehidupan dari paru-paruku, atau panas menyengat dan hampa seketika. Tidak seperti ini. Dingin. Dan hanya itu. Tidak ada rasa sakit, tidak ada tanganmu yang terkena hangat darahku. Aku bahkan tidak dapat merasakan udara menyentuh jemariku lagi. Dadaku naik turun dengan napas tak karuan sampai aku sadar bahwa aku bahkan tidak bernapas sama sekali. Ketika penglihatanku samar-samar kembali, aku masih meraba pergelangan tangan sendiri dan mencari denyut nadi. Tidak ada. Inilah akhir hidupku.
Aku masih bisa melihatmu yang berusaha menyembunyikan mata berkaca-kaca dibalik usapan tangan. Pada detik itu aku berpikir untuk meraih wajahmu dan mengatakan hal-hal yang seharusnya kukatakan saat aku masih hidup dan tergeletak dengan luka tembakan; maaf, aku belum bisa menjadi orang baik. Atau maaf, aku sudah merepotkanmu dengan rasa duka yang selama ini selalu ingin kau hindari. Kau membawa tubuhku dalam dekapanmu, meski kau benci menyentuh orang lain (apalagi mayat). Dan anehnya kali ini aku bisa merasakan kehangatan yang terpancar darimu, walau tersekat oleh mantel dan sarung tangan. Maka aku tepis semua penyesalan tadi jika akhirnya kita bisa sedekat ini. Sungguh, apakah butuh berhentinya jantungku agar kau berani menyentuhku?
Kau meletakkanku pada sebuah dipan. Wajah-wajah lain mulai bermunculan dan menatapku dengan berbagai ekspresi, kebanyakan penyesalan. Seperti, oh, sayang sekali gadis muda berbakat ini mati begitu cepat. Aku tidak pernah ingin menyepelekan reaksi teman-teman kita, tapi nyatanya seperti itu. Dan andaikan tubuhku masih bisa bergerak sekarang, mungkin aku akan duduk dan meminta semuanya bubar dengan satu kibasan tangan. Tidak lama kemudian mereka mulai menyiapkan peti mati untukku. Aku takut tidak bisa melihat apa-apa lagi setelah itu. Namun kau meremas tanganku sekali, seperti malam-malam sebelumnya saat kita bersama, dan aku tahu bahwa ketika semuanya hilang pun kau masih akan ada di sana untuk mengingat segalanya tentangku. Sebab genggaman tanganmu tidak berubah dari malam-malam sebelumnya, bahkan jika negeri ini terbakar hangus dan kota ini hancur berkeping-keping, aku tahu tanganmu akan menetap di atas milikku. Sebagai suatu konstan. Rasa yang bahkan tak terpisahkan oleh takdir dan maut sekalipun.
Aku dipakaikan gaun putih berpayet, berbahan satin yang berkilat-kilat ketika terkena cahaya. Kerah gaun itu berlekuk mengikuti bentuk leherku dan kain lengannya berhenti di atas siku, terbentang cantik di atas alas putih peti mati. Aku tidak ingat pernah membeli gaun untuk menikah, sebab hal itu mustahil dilakukan denganmu. Namun aku menduga kau yang membelinya, sebagai wujud fisik penyesalan. Kau melihatku dalam gaun itu dan sorot matamu melembut. Tiba-tiba saja aku merasa menjadi dirimu, membayangkan berada di atas altar bersamaku, membayangkan tinggal di bangunan tepi sungai, membayangkan kedamaian yang tak pernah datang.
Dalam kematian ini aku mengerti mengapa kau benci dingin, dan selalu membawa mantel tambahan ketika cuaca memburuk. Dingin membuatmu gentar. Dan kematian terasa begitu dingin sehingga aku berharap kau tak perlu mengalaminya. Maka setelah kau meletakkan bunga lili putih kesukaanku dan sebelum tutup peti mati itu melewati kepalaku, aku berdoa pada Tuhan manapun yang mau menerimanya; bahwa aku berharap bisa menemanimu ketika kematian sampai kepadamu nanti.[]
(berdasarkan postingan di pinterest, write a funeral from the pov of the dead)
KAMU SEDANG MEMBACA
when it's cold i think about dying
Fanfiction❛❛ in which, inej died and her thoughts were scattered. . dingin membuatmu gentar. dan kematian terasa begitu dingin sehingga aku berharap kau tak perlu mengalaminya. . kaz x inej grishaverse © leigh bardugo cover and story © rainssance