Bagian 1
"Ayah ingin kau menikah dengan Manoban."
Jennie terdiam. Hal itu sudah berkali-kali ayahnya sampaikan, tetapi gadis itu enggan menanggapi.
"Kali ini Ayah serius, Nak. Ayah dan orang tuanya Manoban sudah menyetujui perjodohan kalian."
"Maaf, Ayah, aku tidak setuju. Aku tidak bisa hidup berumah tangga dengan seseorang yang tidak kukenal," elak Jennie kesal.
"Bagaimana bisa kau mengenalnya jika kau tidak memberikan kesempatan untuk menemuinya. Dengan begitu, kalian bisa saling mengenal satu sama lain," ujar Ayah meyakinkan.
"Bagaimana bisa Ayah dan orang tua lelaki itu menyetujui perjodohan kami, sementara kami belum tentu mau dijodohkan?"
"Manoban sudah mau dijodohkan denganmu, bahkan dia siap datang kemari untuk menemuimu."
Jennie cukup terkejut dengan pernyataan ayah. Bagaimana bisa lelaki itu menerima perjodohan ini?
"Temuilah dulu sebelum kau memutuskannya, Nak."
"Jika aku tetap tidak suka?"
"Ayah yakin, kau pasti akan menyukainya."
"Tapi itu terlalu cepat, Ayah," sanggah Jennie tak mau kalah.
"Bukankah lebih cepat lebih baik. Lagi pula, Manoban lelaki yang baik dan mapan. Apa kurangnya dia bagimu, Nak?"
"Aku tidak mencintainya, Ayah."
"Seiring waktu cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya. Kalian hanya perlu saling mengenal saja."
Tak ada pilihan lain bagi Jennie untuk menerima tawaran sang ayah. Ia pun pasrah dengan perjodohan yang tiba-tiba ditawarkan. Di usia dua puluh tujuh tahun, memang telah cukup baginya untuk menikah dan menjalani hidup berumah tangga.
Namun ia tak pernah membayangkan jika harus menikah karena dijodohkan. Bagaimana bisa dua orang asing yang tak saling mengenal, tiba-tiba harus dipertemukan dan dipaksa untuk menjalani sebuah pernikahan, karena komitmen yang sudah disepakati orang tua kedua belah pihak?
Bagaimana rasanya hidup seatap, berstatus suami istri, tanpa rasa saling mencintai dan hidup bersama bagai dua orang yang saling tak mengenal? Akankah hubungan pernikahan itu akan berhasil?
Membayangkannya saja membuat Jennie sudah pusing tujuh keliling. Penat yang tiba-tiba menumpuk menjadi sebuah beban berat. Seperti sebuah mimpi buruk jika akhirnya harus bersanding dengan lelaki itu di pelaminan.
Jennie tak bisa lagi mengelak saat ayah mengatakan jika lelaki yang dijodohkan dengannya itu akan datang besok lusa. Ia hanya bisa berpasrah dengan keadaan. Menerima takdir kalau pun ia harus menerima perjodohan itu. Demi membahagiakan sang ayah yang selama ini sudah banyak berkorban untuknya.
**
Lelaki itu ternyata di luar dugaan Jennie. Wajah tampan rupawan memberi kesan pertama yang menggoda. Tubuh tinggi tegap dengan otot terbentuk yang terlihat samar dari balik kemeja panjangnya, membuat gadis itu yakin, jika Manoban sering melakukan olahraga di pusat kebugaran.
Namun satu hal yang tak bisa ditutupi, ia sedingin es. Keacuhannya memberikan kesan tersendiri yang membekas di hati. Jennie semakin tertarik dengan sikap cuek yang ditampilkan sejak awal ia datang.
Sepanjang waktu yang terlalui, hanya beberapa kata saja yang mampu terlontar dari mulut lelaki itu. Jennie yang begitu menjaga harga diri, tak begitu antusias menanggapi Manoban. Ia tak ingin memberikan kesan jika ia dengan senang hati menerima perjodohan itu.
Hanya ayah dan Manoban yang saling bicara. Sedangkan Jennie lebih banyak diam, meski dalam hati ingin sekali tahu banyak tentang lelaki itu. Tapi ia harus bersabar. Akan ia gali tentang lelaki itu dari ayah, agar bisa memantapkan hati untuk melangkah lebih jauh.
Sekilas yang ia dengar, Manoban adalah seorang pemilik hotel ternama. Di usia mudanya, lelaki itu sudah berhasil meneruskan usaha sang ayah yang dirintis dari bawah.
Manoban bercerita pada ayah, bagaimana ketika ia dengan berbagai rintangan mengembangkan usaha yang diwariskan itu agar tetap menjadi bisnis turun temurun keluarganya. Jennie hanya bisa menguping dari balik dinding saat ia membuatkan teh untuk ayah dan Manoban.
Namun, yang membuat Jennie heran, bagaimana bisa lelaki tampan dan mapan seperti Manoban mau menerima perjodohan dengan perempuan sederhana seperti dirinya? Tuluskah ia menerima perjodohan itu? Bisakah mereka saling mencintai nantinya? Ataukah justru akan saling membenci?
Jennie segera menepis pikiran buruk yang hendak menguasai pikirannya. Bagaimana pun juga pilihan ayah untuk memilihkan jodoh dengan Manoban, pasti sudah melalui pertimbangan dan keputusan yang terbaik. Ayah tak akan mungkin menjerumuskan putri satu-satunya dalam sebuah penderitaan.
Hingga waktu menjelang makan siang, Manoban pamit pulang. Ia tak bisa berlama-lama karena harus melanjutkan pekerjaannya di kantor. Padahal Jennie sudah menyiapkan makan siang untuk mereka bertiga, tapi dengan sopan lelaki itu menolak.
Ia akan datang lagi di hari lain untuk menikmati makan siang. Begitu katanya.
Manoban pergi meninggalkan banyak pertanyaan dalam benak Jennie. Sementara dalam hatinya mulai ragu, akankah ia menerima perjodohan itu? Melihat lelaki itu begitu sopan, tampan dan mapan.
Jennie tidak menampik, jika ia menyukai Manoban dan semua yang ada pada dirinya. Termasuk sikap cueknya yang membuat semakin penasaran. Ia harus memantapkan hati, jika Manoban adalah jodohnya.
**
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekali Seumur Hidup (JENLISA)
Romance"Ayah ingin kau menikah dengan Manoban." Jennie terdiam. Hal itu sudah berkali-kali ayahnya sampaikan, tetapi gadis itu enggan menanggapi. "Kali ini Ayah serius, Nak. Ayah dan orang tuanya Manoban sudah menyetujui perjodohan kalian." "Maaf, Ayah, ak...