Hilang Tiga Hari

18 4 0
                                    

Hilang Tiga Hari

Hari itu ibu dapat arisan. Jumlahnya cukup fantastis karena arisan itu hanya diikuti oleh ibu-ibu PNS atau ibu-ibu yang suaminya berduit. Dengan uang arisan itu ibu membeli sepeda buat adikku karena memang sudah dijanjikan sejak lama.

Aku yang awalnya tidak masalah menggunakan HP bekas punya ayah, tiba-tiba muncul keinginan kuat untuk ganti yang baru seperti punya Robiyah temanku.

Mendatangi ibu yang tengah sibuk di dapur, aku pun mengutarakan maksud. Namu, dengan halus ibu menolaknya. Ibu bilang aku masih SMP, lagian HP yang lama juga masih bisa digunakan. Penolakan itu langsung membuatku marah. Aku membentak ibu, mengatakan beliau pilih kasih, dan dalam hati aku merutuk dengan kata-kata kasar. Bahkan bilang benci ibu dan mau minggat.

Saat itu hari sudah menjelang sore. Aku pergi ke tepi sungai untuk bertemu dengan teman-teman seperti biasanya. Di situ kami bermain dan mengobrol apa saja, biasanya sampai menjelang Maghrib baru pulang.

Selagi asyik ngobrol, Robiyah yang baru datang meminta aku menemaninya ke ladang, katanya mau petik jambu air buat dijual ke pasar besok. Tanpa curiga aku pun mengikuti, soalnya hal seperti ini sudah biasa kami lakukan.

Lagi pula letak ladang tidak jauh, dari tepi sungai pun masih kelihatan. Kami memasuki ladang, tetapi anehnya Robiyah tidak berhenti ketika sudah sampai di pohon jambu air. Aku pun bertanya dia mau ke mana.

Dia bilang mau petik jambu di ladang tepi hutan. Sambil berkata begitu dia terus berjalan ke arah kuburan. Aku tidak ingin membiarkan dia pergi sendiri. Jadi walaupun enggan aku tetap membuntut di belakangnya.

Aku bilang kalau sebentar lagi Magrib tidak baik keluyuran di tempat seperti ini. Dia tidak berkata apa-apa dan malah berjalan semakin cepat. Aku yang sedikit tertinggal berpapasan dengan seorang tetangga yang hendak pulang dari ladang.

Kami sempat saling menyapa basa-basi, lalu aku lanjut lari mengejar Robiyah. Namun, sesampai di tikungan ternyata Robiyah sudah tidak kelihatan. Aku memanggil sambil celingukan dan saat itulah aku badu sadar kalau ternyata aku sedang berada di area pekuburan.

Sejauh mata memandang hanya ada gundukan tanah, kijeng, dan deretan batu nisan. Aku takut dan hendak balik pulang, tetapi terkejut bukan main karena jalan yang tadi aku lewati menghilang.

Aku mulai panik dan berteriak-teriak memanggil Robiyah. Tidak ada jawaban, pikiranku pun mulai tidak karuan. Hari semakin gelap, tidak ingin terperangkap di kuburan, jadi aku berlari ke sana kemari berusaha mencari jalan keluar sambil menangis ketakutan.

Karena mata kabur, aku pun sesekali tersandung dan jatuh di atas gundukan makam. Berteriak histeris, aku bangun dan kembali berlari. Ketika hari makin gelap dan terdengar suara azan, tubuhku pun lemas. Aku duduk menangis tersedu-sedu di bawah pohon besar.

Aku teringat ibu, merasa menyesal tadi sudah membentaknya juga mengatai dalam hati. Aku terus menangis sambil memanggil ibu dan meratap meminta maaf. Tubuhku lelah, mata mengantuk, tapi berusaha untuk tetap terjaga.

Namun, pada akhirnya aku tetap tidak bisa melawan kantuk. Ketika aku nyaris terlena, tiba-tiba terdengar suara azan dan aku juga mendengar suara ibu memanggil-manggil. Merasa datang harapan, semangatku pun kembali. Aku bangun dan ingin mencari ibu, tapi tempat ini sudah gelap gulita.

Aku gemetar ketakutan bahkan lutut rasanya lunak. Aku menangis dan terus menyebut ibu dan maaf. Suara ibu pun makin jelas terdengar, tapi aku tidak tahu harus bagaimana. Disaat sedang kebingungan itulah, tiba-tiba dari sebelah kiriku muncul cahaya sangat terang. Cahaya itu membentuk sebuah pintu.

Seperti kesetanan, aku pun tanpa pikir panjang langsung berlari ke sana. Tubuhku rasanya sangat ringan, sampai-sampai seperti kaki tidak menjejak tanah. Menerobos pintu cahaya, kakiku tiba-tiba menyandung benda besar, tubuhku pun langsung ambruk ke depan dan dipeluk seseorang.

Seseorang itu menyebut namaku sambil menangis. Ternyata itu adalah ibu. Aku berteriak, menangis sejadi-jadinya sambil memeluk ibu erat-erat. Aku tidak hirau pada banyak orang yang berkerumun dan terus menangis di pelukan ibu hingga pingsan.

Ketika sadar keesokan harinya, ibu mengatakan bahwa aku telah menghilang selama tiga hari. Tentu saja aku syok karena seingatku baru beberapa puluh menit saja aku terkurung dalam kuburan itu.

Beruntunglah waktu itu ada orang yang melihat ke arah mana aku pergi. Jadi memudahkan ayah, ibu, dan warga untuk mencariku. Waktu aku menyandung ibu, ternyata saat itu beliau sedang sujud berdoa.

SELESAI

Ingat ya sahabat semua. Dalam keadaan apa pun, jangan pernah membentak ataupun berkata kasar pada ibu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 25, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KUMPULAN CERITA SERAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang