Tentang 'Kita'

59 19 91
                                    

Depok, 10 Mei 2023.







Orang bilang, rindu pada kampung halaman sama rasanya ketika merindukan seseorang yang jauh. Bayangan masa lalu itu—tentang tangisan pertama yang kusuarakan, tentang langkah pertama yang kutunjukkan, tentang kata pertamaku yang mampu dimengerti banyak orang.

Tentang segalanya, bahkan bagaimana rotasi bumi membawaku bertemu dengan berbagai kepribadian.

Aku merindukannya, pada semilir angin Bandung yang menerbangkan kelopak mawar. Ketika dandelion tumbuh dan kembali berkelana mencari tempat berlabuh. Hingga pada latar supermarket dan dua kaleng kopi manis di antara cuaca yang tidak bisa ditebak bagaimana wujud hadirnya.

Rinduku tidak terhingga, sampai sesak menahannya.

Namun, ketika seseorang berkata tidak akan ada cerah sebelum mendung menyingkir, maka pada dasarnya hidupku tidak banyak berbeda dengan perumpamaan ringan itu.
Ketimbang pelangi datang setelah hujan badai reda aku lebih membenarkan perumpamaan pertama.

Semua orang tahu, pelangi tidak selalu hadir sekalipun langit berganti cerah. Kehadirannya semacam harapan semu, tidak heran jika sering kali ia berkhianat dan tidak menampakkan diri. Karena pada dasarnya, pelangi bisa datang jika memang cahaya matahari mendukung eksistensinya, tapi ia tidak selalu begitu.

Ngomong-ngomong, aku sedang berada di Coffee Toffe. Duduk menghadap jendela adalah favoritku dulu. Sambil mengerjakan tugas pulang kuliah, atau sekadar duduk diam menerawang langit, harap-harap otak kosongku dapat mencetuskan ide hebat waktu itu. Jika diingat-ingat, sudah puluhan kali aku kemari—seorang diri—dan di beberapa kesempatan bersama teman-teman yang dulu hanya kusebut sebagai rekan kerja kelompok.

Saat kulirik segelas chocolate nutella di atas meja, rasanya ingin terkikik geli mengingat minuman itu adalah satu-satunya menu yang kupesan selama bertahun-tahun. Barista setempat, turun menurun hingga generasi ketiga semenjak aku menjadi mahasiswa, pun sampai hapal apa yang akan kupesan. Aku hanya menempati zona aman tanpa ingin dikecewakan lidahku yang mungkin tidak cocok dengan rasa lain—yang pada dasarnya hampir semua berbahan cokelat.

Tiba-tiba saja aku menghela napas cukup panjang.

Berbicara tentang zona aman seakan tidak ada habisnya, mengingatkanku pada segala ambisi dan tekanan yang dikendalikan penuh olehnya.

Mengingatkanku ... pada diriku yang seolah kehilangan jati diri sebagai sosok Nelly yang sesungguhnya.

Saat kalian mendengar aku adalah salah satu siswi yang lolos masuk universitas tanpa tes bahkan mendapatkan beasiswa, pasti terdengar sangat menyenangkan dan beruntung. Awalnya kupikir juga demikian. Sampai pada akhirnya aku menyadari di mana aku saat itu, dan siapa saja yang ada di sekelilingku.

Waktu itu ... memikirkan hari esok sudah seperti menanggung keluh kesah sepekan. Dan ketika menjalaninya, barulah terasa beban panjang tanpa kenal waktu lagi.

Ada saat di mana aku menyesali banyak hal, bahkan untuk kuliah di universitas yang dulunya kuminati. Rasanya aku ingin pergi jauh dan menjalani hari-hari tanpa orang lain. Cukup Ayah dan Ibu memantau dari rumah, mengontrol kesehatan dan kegiatanku dari ujung telepon. Sayangnya, mereka tidak ingin aku lebih jauh lagi dari sini.

Depok, Universitas Indonesia. Kuningku yang resmi kutinggal sejak Januari lalu.




"Kakak Alumni, masih betah di sini?"

Seseorang mengisi ruang hampa di sebelah ketika aku tengah mengecap rasa cokelat dan nutella yang cukup pekat.
Namanya Roni, barista baru dalam hitungan setengah tahun. Eh, apakah dia masih bisa disebut baru? Entahlah, menurutku begitu.

Tentang WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang