1.4#Yang Kukira

6 2 0
                                    

Keesokan harinya, aku kembali datang ke sekolah dengan bibir pucat dan kering. Jika dibandingkan dengan saat aku sadar di UKS, sepertinya warna pucat ini lebih menarik perhatian. Di sepanjang jalan menuju kelas, banyak anak murid lain yang memperhatikanku. Aku tidak peduli. Sekalipun mereka menganggapku sebagai zombie karena berjalan gontai, aku hanya perlu cepat sampai ke kelas untuk duduk dan tidur sebelum bel masuk berbunyi.

Prima dan Rania menyambut kedatanganku dengan membombardir pertanyaan. Aku menjawab lemah, mengatakan bahwa aku baik-baik saja dan ingin beristirahat sejenak.

Aku tidak mungkin mengatakan jika semalam lembur mengerjakan beberapa tugas sekolah dan lainnya. Dari pukul sembilan sampai pukul dua pagi, bahkan aku sempat mimisan meski tidak banyak. Berita itu hanya akan balik merepotkanku.


Selama pembelajaran sebelum istirahat, aku merasa semakin baik dan tenang. Tapi, begitu hawa dingin di luar menyapa kulit, aku merasa kembali menggigil dan pusing. Aku pergi ke UKS dengan beralasan menuju toilet pada Rania juga Prima. Kubiarkan mereka ke kantin berdua, sementara aku mungkin akan kembali terlelap di atas ranjang putih yang hangat.

"Wow, wow, wow, santai! Kenapa kamu ini?"

Aku nyaris saja jatuh ketika tanpa sadar menginjak tali sepatuku sendiri. Nasib baik seseorang menahan satu lenganku untuk tetap berdiri. Aku kelimpungan mencari keseimbangan.

"Hei, Nell? Sakit?"

Kulihat Ata masih sigap menahan lengan kananku. Wajahnya tampak berkerut khawatir melihat aku yang nyaris terlihat seperti manusia tanpa darah. Pucat pasi.

Aku mengangguk lemah. "Tidak apa. Hanya mendadak pusing."

Sejenak kusandarkan tubuhku pada dinding, seketika membuat Ata melepas cekalannya. Dia masih menatapku was-was, mungkin takut jika tiba-tiba aku kehilangan kesadaran seperti kemarin.

"Ini tidak terlihat baik, Nell. Kamu seperti mayat hidup," Ata mencebik, seperti kesal sendiri dengan sesuatu yang tidak kuketahui, "seharusnya aku membawamu ke UKS, tapi sayangnya ada panggilan mendesak yang tidak bisa kutunda lama."

Kali ini aku menggeleng. "Aku bisa sendiri. Tidak perlu mengantarku."

"Itu bukan keinginanku, tapi harus." Dia masih bersikeras, "Tidak akan ada yang menagih kas anak-anak jika kamu tidak masuk latihan lusa."

Kuakui tubuhku memang sangat lemas, tapi untuk membunuh Ata lewat tatapan tajam, aku masih bisa melakukannya. Sementara dia cengengesan sendiri, aku mencibir, "Dasar, tidak punya hati nurani."

"Baiklah, aku hanya bercanda." Ata mengibas-ibaskan tangannya di udara, "Akan kuantar. Ayo!"

"Sudah kubilang tidak."

"Sudah kubilang ayo!"

"Pergi saja! Urusi urusanmu itu!"

"Urusanku sekarang kamu. Cepat!"

Ata hampir menyeret tanganku, tapi cepat-cepat kutepis pelan. Aku tidak ingin mengganggunya karena cara berjalanku yang kini melambat, karena aku tahu seberapa penting urusan yang akan dia tangani setelah ini.

"Aku berjanji akan sampai dengan selamat. Sekarang pergi!" Aku masih memohon padanya.

"Ada beberapa saksi mata yang melihatku bersamamu saat ini. Tidak ada yang bisa menjamin kamu masih sadar sampai di UKS. Aku tidak ingin dicap sebagai pelaku yang macam-macam, ya. Itu justru semakin merepotkan kita berdua."

Aku menghela napas ketika Ata kembali mendramatisir keadaan dan tetap memaksaku mengekor dirinya sampai ke tempat tujuan. Pada akhirnya aku hanya berjalan gontai tanpa harus mengangguk mengiyakan. Asal dia berjalan dua langkah di depanku, tidak banyak bicara, tidak banyak pula bertanya. Dan dia menurutinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 31, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tentang WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang