1.1#Menjelajah Ruang dan Waktu : Si Bulu Angsa

25 15 73
                                    

Bandung, Oktober 2018.








Aku pernah mendengar cerita teman-temanku dulu, bahwa katanya di kelas dua belas guru-guru akan melunak dan tidak banyak bertingkah galak. Dan sepertinya memang seperti itu.
Salah satu keuntungan ketika naik ke level akhir SMA adalah aku bisa melihat senyum dan tawa beberapa guru—yang sebelumnya selalu datang dengan langkah tegas dan mengeluhkan banyak hal tentang anak muridnya. Kini, kegiatan di dalam kelas lebih banyak keseruannya, seolah berlipat ganda.

Namun, bagaimana pun keramahan mereka, aku tetap tidak pernah mengharapkan yang satu ini datang. Bukan karena posturnya yang membuat takut, apalagi tutur katanya banyak diselipkan tawa. Dan entah mengapa, mata pelajaran yang diajarkannya bertepatan dengan ketidaksukaan dari sebagian besar murid bangsa.

Sejarah Indonesia.

Terdengar sangat mengharumkan negara dan penuh kepahlawanan dalam memperjuangkan kemerdekaan. Tapi, aku terus mengantuk di setiap detik perjalanan waktu itu dimulai. Aku—mungkin juga kalian—di hadapkan pada keadaan di mana sejarah indonesia berganti menjadi sebuah cerita sejarah keluarga yang sama sekali tidak ingin kuketahui asal-usulnya.
Guru sejarah memang harus mampu bercerita, tapi kebanyakan justru tidak bisa mengontrol cerita itu hingga melebar ke mana-mana. Bisa jadi yang satu itu adalah sumber dari ketidaksukaan sebagian besar murid kepada mapel sejarah Indonesia.

Ralat—sejarah keluarga.

Saat kulirik teman sebangkuku, Prima, dia juga tampak sama mengantuknya.

Kasihan sekali kami berdua, mati-matian menahan kantuk karena duduk di barisan terdepan. Bahkan Pak Arif selaku guru pengajar juga tengah menjalani aksi berceritanya tepat di samping mejaku.

Nahas sekali.




Di jam istirahat pertama, aku mendapat panggilan dari Pak Surya. Guru pembinaku itu meminta bantuan untuk mempersiapkan lapangan badminton yang baru selesai direnovasi. Agenda hari ini adalah seleksi anggota untuk dijebloskan dalam ajang turnamen antarsekolah.
Dulu, sewaktu kelas sebelas semester dua, aku bersama Una mendapat juara pertama sebagai ganda putri. Kudengar badminton adalah kompetisi favorit, dan kami berhasil mencetak angka pertama setelah generasi sebelumnya terus berada di urutan kedua. Guru pembimbing tampak bangga kala itu, membuat kami senang bukan main.

Dalam bidang olahraga—khususnya badminton—SMA Putra Indonesia menyabet empat piala. Sektor ganda dan tunggal putri berhasil lolos sampai ke tingkat kabupaten, meninggalkan juara tunggal putra yang berada di urutan ketiga.

Selama di gedung kabupaten, kontingen Putra Indonesia dipertemukan dengan juara pertama dan kedua dari kontingen lain. Tidak ada hal menarik yang bisa kuceritakan selain keberhasilan Prima dalam menempati posisi ketiga tunggal putri. Hanya gadis itu yang menyabet piala kabupaten meski tidak bisa menempuh tingkat yang lebih menanjak.

Selain itu hanyalah zonk.

Kekalahanku waktu itu cukup mengecewakan. Bohong jika aku mengatakan tidak apa-apa, aku baik-baik saja. Pada kenyataannya, aku tetap menahan bendungan di kelopak mataku, seperti puncak dari kemarahan atas diriku sendiri.

Ada satu hal yang kala itu membuatku sedikit kesal—pada sisi lain selain aku, tentunya.

Aku tahu, tidak ada yang bisa disalahkan atas rasa takut dan paniknya Una saat di lapangan. Bertanding dan membaur bersama serangan lawan tidak dikenal menjadi kali pertama langkahnya pada dunia luar. Menyandingkan kami sebagai pasangan juga dilakukan dengan sedikit buru-buru. Ada satu-dua kendala yang semakin mempersulit keadaan. Tidak tersedia banyak waktu untuk beradaptasi dan membangun chemistry. Karenanya pula, aku tidak berharap lebih, bahkan dari awal aku melihat caranya bermain.

Tentang WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang