4

810 74 12
                                    

"Gimana Mas persiapannya?"

Ranu merebahkan tubuhnya sembari menatap layar teleponnya. "Udah kok, tadi aku udah beli kulit dimsumnya, dan udah beli beberapa bahan isiannya, udah aku taruh kulkas, aman kok."

Ranu tidak dapat menahan senyum melihat wajah Mentari dari layar teleponnya. Perempuan itu memakai baju tidur motif keroppi, dan jilbab bergo berwarna hijau muda.

"Mau aku tunjukkin?"

"Boleh."

Ranu bangkit menuju kulkas dan mengambil beberapa bahan yang dibelinya tadi siang, dan menunjukkannya ke Mentari.

"Aku belum beli banyak buat kulitannya, nanti aja hari Minggu, biar lebih fresh, aku juga udah pesen sama orangnya. Katanya frist impresi harus enak kan, biar gak pada kapok beli."

"Bener banget, Mas." Mentari mengacungkan jempol.

"Mas Ranu bisa bikin sendiri kan buat isiannya," tanya Mentari.

"Emm," Ranu terdiam sebentar. "Aku masih agak bingung sih, hehe."

"Mas perlu bantuan?"

IYAAAA!

Teriak Ranu dalam hati. "Iya, hehe. Kalau kamu gak keberatan."

"Yaudah besok siang, aku ke sana ya."

"Siap, ditunggu."

YESSSS.

Sebenarnya Ranu bisa saja belajar sendiri, diam-diam dirinya juga cepat untuk belajar memasak sesuatu. Tetapi, kalau Mentari mau membantu, Ranu akan senang hati bilang perlu pengarahan. Ia harus terlihat lemah untuk menarik simpati. Biasanya buaya-buaya akan melakukan itu.

Ah, ia buaya? Dulu. Awokwok. Ranu tertawa dalam hati.

"Nanti di bazar juga udah aku siapin tempat yang strategis kok buat Mas Ranu."

"Wah, enaknya kalau punya orang dalam." Ranu tergelak.

Seandainya dia juga mau jadi orang dalam rumah.

Malam ini suasana hatinya sungguh baik. Ia jadi teringat beberapa hari lalu saat menanyakan siapa guru cowok berkacamata yang menghantar Mentari itu, dan perempuan itu menjawab jika itu hanyalah teman saja.

Namanya Aditama, atau biasa dipanggil Tama. Umurnya lebih muda dua tahun dari Mentari. Hari itu ban motor Mentari bocor dan dia pun menerima bantuan Tama untuk menjemputnya, karena ia juga tidak ingin terlambat untuk mengajar kelas pagi.

Lelaki itu merupakan guru IPA yang mengajar anak kelas lima. Meski Ranu tidak tau seberapa dekat mereka, tetapi dirinya memilih untuk tidak ingin menduga-duga, karena Mentari bilang tidak ada hubungan apa-apa, dan Ranu tidak ingin memperburuk perasaan.

Terkadang lebih baik tidak tahu, daripada semakin sakit hati. Meski bisa saja suatu hati ia akan merasakan sakit hati yang jauh lebih tinggi, tetapi untuk saat ini Ranu hanya ingin menenangkan diri.

****

Siang itu Mentari menepati janjinya untuk datang. Ranu sudah mempersiapkan dengan menggelar karpet di ruang tamu.

Mentari duduk dengan canggung, Ranu pun segera ke dalam untuk mengambil bahan-bahan, lalu duduk berhadapan dengan Mentari.

Ranu tidak mengerti, tetapi ia merasa Mentari percaya padanya. Tidak menutup kemungkinan Ranu berpikir macam-macam, tetapi perempuan itu duduk dengan tenang meski sedikit canggung.

"Mentari mau minum apa?"

Mentari terkekeh. "Jangan tegang gitu dong, Mas. Rileks aja, anggep aja temen lama."

Tapi maunya dianggap pacar saja. Jika dulu ia pasti akan menjawab begitu, tetapi sekarang ia terlalu malu untuk menggombal.

"hehe, emang beda vibe-nya kalau deket sama perempuan cantik dan baik kayak kamu mah."

Tetapi, akhirnya ia menggombal juga.

Ranu mengumpat dalam hati. Kenapa gombalannya tidak berkelas sama sekali. Ragu-ragu Ranu mencari raut muka jijik di wajah Mentari, tetapi perempuan itu justru terkekeh.

"Maaf, Tar. Nggak bermaksud."

"Santai aja, Mas."

"Ah, iya." Lalu beranjak. "Bentar ya aku bikinin minum," katanya lalu melesat ke dalam.

Ranu ke dapur sembari memukul dagunya berulang kali. Ia perlu berguru pada Alfa. Tetapi, temannya itu ditanyai malah jawabannya ngawur sekali.

Ranu malah jadi jengkel sendiri. Sedari dulu ia memang tidak pernah mendekati perempuan. Ketika membutuhkan perempuan, Ranu hanya tinggal sewa saja.

Ia memang bajingan. Dan sekarang saat berusaha mendekati perempuan baik-baik, tetapi ia selalu merasa canggung dan tidak layak.  Makanya ia sering gugup ketika berbicara dengan Mentari. Entah sampai kapan akan begini.

Rasa insecure terus-terusan menguasai.

Ia membuatkan es teh dan membawakan beberapa cemilan yang sempat dibelinya sebelum Mentari datang.

Ragu-ragu ia melangkah kembali, dan melihat Mentari tengah mengupas wortel.

Ranu pun meletakkan nampan yang dibawanya di dekat Mentari. "Minum dulu, Tar. Siang-siang gini seger minum es teh. Seger!" Ia menyentuh tenggorokan, layaknya monyet di animasi Upin-Ipin. Berusaha melawak malah terkesan garing.

Mentari mengangguk, mengambil gelas itu dan meminumnya, lalu kembali menekuri aktivitasnya.

"Aku potongin dulu ya sayurnya, kalau bumbunya udah aku share di WA, mas cek aja. Jadi aku potong sayur Mas bikin bumbu. Aku rasa Mas Ranu ini cukup pandai masak, buktinya cilok Mas aja enak banget," ujar Mentari tanpa menatapnya.

Senangnya dipuji. Ranu berusaha menahan senyumnya. Tetapi kemudian ia tertegun.

"Jadi kita sama-sama belajar aja sekarang," lanjutnya.

Merasa tidak ada jawaban, Mentari pun mengangkat wajahnya. "Kenapa, Mas. Kok diam?"

"Tar, aku boleh tanya?"

"Langsung tanya aja, Mas. Kenapa?"

Ranu menjeda sebentar, lalu berkata, "aneh aja, kamu kok kayak percaya-percaya aja sama aku. Bisa aja kan aku ini ... bukan orang baik. Kriminal, gitu."

"Bisa aja," jawab Mentari. "Kita kan belum kenal terlalu dalam. Aku belum tau yang sebenarnya Mas itu orang yang gimana?"

"Lalu kenapa kamu gak waspada aja?"

"Tugas aku cuma percaya, Mas. Masalah membuktikan bener atau enggak anggapan aku, itu jadi tugas Mas Ranu." Mentari tersenyum.

Ranu menghela napas. Mengangguk kecil.

"Dan tugas yang utama sekarang, mari kita selesaikan acara membuat dimsum ini. Mas harus buktikan kalau anggapan aku soal bumbu yang mas bikin itu enak adalah benar."

"Ah, iya-iya, okee!"

****

Bersambung. Ada gak sih yang masih nunggu-nunggu kisah Ranu? Kayaknya nggak akan kalah mengandung bawang.

Aku kalo Hiatus kelamaan, hehe. Ayo dong vote dan spam komen. Aku lagi semangat nulis lagi akhir-akhir ini. Kalo masih ada yang nunggu kisah ini aku jadi seneng.

Pesona Cahaya Mentari Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang