The Worth of Friendship (Blieszner, 2014)

315 39 15
                                    

"Adults are much more likely to rely upon friends than on relatives when it comes to confiding important feelings or seeking solace, probably because friends tend to be those who feel comfortable being intimate with those who are similar to themselves rather than with others who may have different life experiences."

— Artikel The Worth of Friendship: Can Friends Keep Us Happy and Healthy? karya Rosemary Blieszner, 2014.

⋅˚₊‧ ୨୧ ‧₊˚ ⋅

Musim kemarau akhirnya menetap dan menjadi kerasan di Ibu Kota. Pada hari pertama matahari menyengat nyaman-di tanah beraspal berantakan, di seluruh permukaan kulit para pekerja lapangan, di atap-atap gedung pencakar langit yang mendominasi langit Jakarta, sampai di kusen jendela kayu milik para penghuni Rumah Susun Analise-pada hari itu pula alunan lagu Teman Hidup milik Tulus menyerbak dari kamar Suryadhana Lakshanya.

Surya memula kemarau dengan abai. Kehadiran udara panas yang mengendap dalam bilik sempitnya tidak ia permasalahkan. Ia memilih langsung mengemban perannya sebagai pengurus rumah.

Ia bangun pagi dengan keringat membanjiri setelan piyamanya; kaos oblong yang lusuh dan robek sana-sini, serta celana pendek yang dulunya adalah bawahan jersey futsal. Ia turun ke bawah dan langsung memasak sarapan untuk empat orang; menu hari itu adalah nasi mentega, telur ceplok, teh manis hangat, dan bubur nasi untuk Bunda. Ia menjemur seluruh baju yang sudah dicuci kakaknya di balkon rusun. Ia mengelap basah Bunda yang terbaring lumpuh di ranjang.

Ia menaruh sampah di depan pintu rusun. Ia menyapa seluruh tetangga. Ia membalas seluruh terima kasih dan tolong sebab itulah bagian dari harinya.

"Surya, terima kasih kemarin udah bantu laundry, ya!"

"Mas Surya, Selasa kosong, nggak, buat bantu benerin pagar rusun?"

"Surya, bisa tolong bantu cek lampu, ga, ya? Anak Ibu lagi sibuk semua."

"Bang Surya! Permennya enaaak! Beliin lagi, dong?"

Kasihnya tercurah dalam seluruh ucapan itu.

Ia menyanggupi semua permintaan. Ia merangkul semua rasa bersyukur. Ia mengingat semua keperluan orang dan mengerjakan tugasnya sampai selesai. Maka, Ia lanjut dan mengecek kotak pos di lantai bawah. Ia mengambil surat-surat dan menemukan sebuah amplop usang. Ia melihat nama ayahnya terbubuh di atas amplop itu.

Ia membaca surat dari ayahnya, mengenai penyesalan lelaki tua itu karena lagi-lagi tidak bisa mengirimkan uang.

Keluarganya sudah biasa. Surya sudah biasa. Sepuluh tahun sudah ayah bilang ia akan merantau ke luar negeri untuk mencari nasib yang lebih baik bagi mereka, sembilan tahun sudah keluarga mereka tidak saling mengenal.

Surat itu, beserta dua surat tagihan dan sebuah amplop merah, diletakkan di atas meja makan. Di hadapan tulang punggung asli keluarga ini. Kak Tari. Surya dan perempuan itu berjarak usia lima tahun. Namun, jarak emosional mereka berdua lebih jauh dari jumlah itu.

Tari menghela napas. Dirobeknya kata-kata dari ayah mereka. Ia masukan ke dalam kardus berisi tumpukkan kertas bekas di sebelah rak sepatu. Selanjutnya, ia membaca tagihan satu per satu. Napasnya menjadi semakin berat. Pelupuk matanya juga semaki sayu.

"Tagihan listrik naik lagi, Sur," lapornya.

Lenggak-lenggok sendok makan Surya di atas piringnya sedikit terhenti. Sedikit rasa garam dalam makanannya menjadi kelu karena akan membicarakan uang sejak pagi. "Ya, wajar, Kak. Aku sama Adit sering pakai laptop akhir-akhir ini," sahutnya.

"Sewa rumah susun juga ditunggak sebulan. Uang kakak dipakai servis motor bulan lalu."

"Oh," Surya mengangguk, "Yaudah, nanti aku bayar setengahnya pakai gaji part-time."

AsmaralokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang