bab 1

12 4 0
                                    

Astele duduk di sudut ruangan kecil yang hancur, dikelilingi oleh dinding retak dan debu yang menggumpal. Dia merangkak menjauh dari tembok yang roboh, sementara suara tembakan dan letusan granat semakin dekat. Mata cokelatnya yang cerdas mencari keberadaan ayahnya, Sergius, yang telah meninggalkannya sejenak untuk memeriksa situasi di luar. Astele menggigit bibirnya dengan cemas, kegelisahan mencengkam dadanya.

Tiba-tiba, pintu kayu tua di depannya terbuka, dan ayahnya muncul, dikelilingi oleh bau asap dan kelelahan yang terpancar dari wajahnya. "Astele, apa kabar, Nak?" seru Sergius sambil melangkah mendekati putrinya dengan langkah yang cepat namun tetap berhati-hati.

Astele segera berlari ke pelukan ayahnya, merasakan kehangatan dan keamanan dalam dekapannya. "Ayah, aku takut!" bisiknya dengan gemetar. "Aku takut dengan suara-suara itu dan semua kehancuran di sekeliling kita."

Sergius membelai lembut rambut pirang Astele. "Aku tahu, Nak. Ini adalah waktu yang sulit bagi kita semua. Tapi kita harus kuat dan terus berjuang. Kami melindungi impian kita, impian untuk hidup dalam perdamaian dan kebebasan."

Astele menatap mata ayahnya dengan penuh kerinduan dan ketakutan. "Ayah, mengapa perang terjadi? Mengapa ada begitu banyak kebencian dan kehancuran di dunia ini?"

Sergius menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan kepadanya. "Sayangku, perang terjadi karena manusia terkadang tidak bisa menyelesaikan konflik mereka dengan cara damai. Ada perbedaan pendapat, keserakahan, dan kekuasaan yang membuat mereka berbuat buruk. Tetapi jangan biarkan perang merobek imanmu pada kemanusiaan yang baik."

Astele merenung sejenak, mencerna kata-kata ayahnya. Dia ingin memahami dunia di sekitarnya, meskipun terkadang terasa sangat menakutkan. "Ayah, apakah kita bisa mengubah dunia ini? Apakah ada harapan untuk hidup tanpa perang dan kehancuran?"

Sergius tersenyum lembut. "Tentu ada, Nak. Hanya karena dunia ini gelap, tidak berarti kita tidak bisa menjadi cahaya di tengah kegelapan. Setiap individu memiliki kekuatan untuk membuat perubahan, meski kecil. Dan itu dimulai dengan kita sendiri, dengan tindakan kecil yang penuh kasih dan perdamaian."

Astele merasa sedikit lega mendengar kata-kata itu. Dia meraih tangan ayahnya erat-erat. "Ayah, aku akan berusaha menjadi orang yang baik, yang berjuang untuk perdamaian. Aku ingin menghormatimu dan membantu dunia ini menjadi tempat yang lebih baik."

Sergius tersentuh oleh tekad anaknya. Dia menarik Astele ke dalam pelukannya lagi. "Kamu adalah cahaya dalam hidupku, Astele. Bersama-sama, kita akan melewati medan perang ini dan menjaga impian kita tetap hidup."

Mereka berdua duduk di tengah reruntuhan, sementara tembakan semakin reda di kejauhan. Dalam momen keheningan itu, Astele merasakan kekuatan dalam hatinya tumbuh. Dia tahu, walaupun dunia di sekitarnya mungkin penuh kekacauan, dia bisa mempertahankan kepercayaan pada kebaikan dan perjuangan.

Mereka adalah pasangan tak terpisahkan, ayah dan putri yang saling melengkapi satu sama lain. Bersama-sama, mereka akan menghadapi medan perang ini, melangkah maju dengan tekad yang tak tergoyahkan. Di tengah kegelapan, mereka akan menjadi sinar harapan bagi orang lain dan membuktikan bahwa meskipun kehancuran ada, cinta dan kebaikan juga hadir.

***

Waktu berlalu di Medan perang, dan Astele tetap hidup dalam kekacauan yang tak berkesudahan. Dia belajar untuk beradaptasi dengan situasi yang sulit, mencari makanan dan perlindungan di antara reruntuhan. Meskipun hatinya terkadang dipenuhi dengan rasa takut dan kesepian, dia menemukan kekuatan dalam impian dan harapan yang dipancarkan oleh ayahnya.

Suatu hari, saat Astele sedang mencari air di dekat sumber air yang masih tersisa, dia mendengar suara langkah yang lembut mendekatinya. Dia berbalik dan melihat seorang anak laki-laki seusianya yang berdiri di hadapannya. Matanya yang cokelat gelap dipenuhi dengan ketakutan yang sama dengan yang ada dalam diri Astele.

"Aku... aku juga mencari air," kata anak laki-laki itu dengan suara gemetar.

Astele tersenyum lembut dan menganggukkan kepalanya. "Namaku Astele. Kamu tinggal di sini?"

Anak laki-laki itu mengangguk sambil menggosok tangannya yang kotor di celananya. "Namaku Remy. Ayahku... meninggal dalam serangan terakhir. Aku tidak punya siapa-siapa lagi."

Perasaan simpati dan persaudaraan tumbuh di dalam diri Astele. Dia merasa terhubung dengan Remy, merasakan kesamaan rasa sakit dan kehilangan. "Kamu tidak sendirian, Remy. Ayahku juga telah pergi. Kita bisa menjaga satu sama lain dan menjadi keluarga."

Remy menatap Astele dengan kebingungan dan harapan. "Benarkah? Apa kita bisa melakukannya?"

Astele menepuk lengan Remy dengan lembut. "Tentu kita bisa. Kita akan saling melindungi dan berjuang bersama. Bersama-sama, kita lebih kuat."

Sejak saat itu, Astele dan Remy menjadi teman tak terpisahkan. Mereka saling mendukung dan berbagi beban dalam menjalani kehidupan yang keras di Medan perang. Bersama-sama, mereka mengeksplorasi reruntuhan dan menyelidiki sumber daya yang masih tersedia.

Di balik tembok runtuh, mereka menemukan sekelompok anak-anak lain yang juga mencari tempat perlindungan dan kebahagiaan di tengah kekacauan perang. Ada Mia, gadis pemberani dengan rambut ikal cokelat, dan Aris, bocah cerdas dengan keahlian bertahan hidup yang luar biasa. Mereka semua memiliki kisah pahit dan impian yang hancur oleh perang

Astele, Remy, Mia, dan Aris membentuk sebuah kelompok kecil yang saling melindungi dan mendukung satu sama lain. Mereka berbagi makanan, air, dan bahkan momen keceriaan di antara reruntuhan. Meskipun mereka hidup dalam ketakutan dan keterbatasan, mereka menemukan kekuatan dalam persahabatan dan tekad mereka untuk bertahan hidup.

Suatu hari, ketika mereka sedang duduk di bawah pohon yang bertahan di tengah reruntuhan, Astele memandang langit yang kelam dengan kepala di pangkuan Remy. "Remy, apa impianmu? Apa yang ingin kamu lakukan setelah perang berakhir?"

Remy merenung sejenak, matanya melihat ke masa depan yang belum pasti. "Aku ingin menjadi dokter. Aku ingin menyembuhkan orang-orang yang terluka dan memberi mereka harapan baru."

Astele tersenyum dan menyentuh pipi Remy dengan lembut. "Itu adalah impian yang luar biasa, Remy. Kamu pasti bisa menjadi seorang dokter yang hebat."

Mia yang duduk di sebelah mereka juga ikut bergabung dalam percakapan. "Aku ingin menjadi jurnalis. Aku ingin menceritakan kisah-kisah penderitaan ini kepada dunia, agar tidak ada lagi perang di masa depan."

Aris, yang sedang mengasah sebilah pisau yang ditemukannya, melirik mereka dengan serius. "Aku ingin menjadi pemimpin yang bijaksana. Aku ingin mencegah perang terjadi lagi dan menciptakan dunia yang adil dan damai."

Astele mengangguk penuh semangat. "Kita semua memiliki impian yang indah. Kita akan menjaga impian ini hidup, dan ketika perang berakhir, kita akan bekerja keras untuk mewujudkannya."

Pada saat itu, suara tembakan dan letusan granat semakin dekat, mengingatkan mereka akan kenyataan yang mencekam. Tetapi di dalam hati mereka, api semangat dan harapan terus berkobar. Meskipun Medan perang mencoba memadamkan impian mereka, persahabatan dan tekad mereka tidak dapat dihancurkan.

Dalam kegelapan yang menyelimuti mereka, Astele dan teman-temannya bersatu sebagai satu, siap melawan tantangan dan menjaga impian mereka tetap hidup. Mereka adalah sinar kecil dalam gelapnya perang, dan mereka bertekad untuk membawa cahaya kehidupan dan perdamaian kembali ke dunia yang terluka ini.

Between Bullets And BlossomsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang