Langit bangkit membersihkan celananya bekas tanah sekitar kuburan yang masih menempel. Ia mengecek hpnya menunjukkan lima misscall dari Chandra. Sembari berjalan keluar area pemakaman ia segera menelepon balik Chandra.
"Halo? Kenapa Chan?"
"Lo jadi ikut gue nggak? Gue di kontrakan sama yang lain."
"Jadi, sebentar. Saya lagi di makam mau pulang. Kamu jadi pes—"
Dug
Bahu Langit menabrak kepala seorang perempuan. Rasa-rasanya sempat ia rasakan melorot jantungnya saat tak melihat apa-apa di depannya. Lalu kembali ia bernapas lega sebab protes yang keluar menandakan ia menabrak manusia. Manusia yang tingginya hanya sebahunya.
"Kalo jalan liat-liat dong, Mas! Kalo mau telponan jangan di makam, jalan sempit nih!" hardik perempuan itu pada Langit. Secara teknis itu bukan salah Langit sepenuhnya. Sudah tahu jalan di makam sempit kenapa buru-buru? Kenapa tidak hati-hati?
Namun Langit enggan ribut dan akhirnya malah memperkeruh suasana hatinya.
"Maaf, Mbak. Kalau nggak ada yang lecet saya permisi," Ia pilih meminta maaf dan segera berjalan ke mobil meninggalkan perempuan itu yang menatapnya sinis.
"Halo Chan? Jadinya pesen apa, mumpung saya belum jalan."
"Buset habis ngapain anak orang kamu Lang. Saya aduin bapakmu ya, Lang. Langit.. Langit.." suara kompor terdengar dari balik telepon. Langit berdecak sebal.
"Nggak usah drama, Bim. Saya tutup."
Malam minggu, di penghujung waktu seperti prediksi Seturan ramai muda mudi. Akhir pekan kota pelajar yang digunakan untuk melepas beban, menenggak gelas demi gelas pada bar yang berjajar. Parkiran terpantau mulai terisi. Mereka-mereka yang ingin melampiaskan keresahannya melalui dentuman musik. Langit harap ia adalah salah satunya. Bila tak ada Chandra yang menunggu di kontrakan, mobilnya pasti sudah terparkir rapi mengikuti jajaran.
Kontrakan itu milik Chandra. Relatif kecil tapi terlalu besar bila hanya dihuni untuk satu manusia. Ini jugalah yang menjadikan kontrakan Chandra menjadi salah satu tempat nongkrong Langit dan teman-temannya, Chandra, Abimanyu, Arjuna, dan dua adik tingkatnya, Raden dan Jatian.
Mobilnya diparkir di samping pajero keluaran terbaru milik Raden yang ia yakini datang ditebeng Jatian.
"Ditekuk mulu muka lu kayak panekuk," celetuk Chandra yang pertama kali menyadari kehadiran Langit di ruang tamunya. Wajah Langit yang kusut atau memang sehari-harinya wajahnya kusut, entahlah. Yang pasti jokes anjlok milik Chandra itu sudah sering dilontarkan untuknya.
"Panekuk ditumpuk blog!" Serangan singkat dari Arjuna beserta segenggam kulit kacang ia lemparkan pada Chandra.
"Bicit."
"Kenapa di telfon tadi, Lang? Tumben dimarahin, biasanya kamu yang marah-marah," tanya Abimanyu penasaran.
"Nggak sengaja nabrak orang."
"Pake mobil?"
"Enggak."
"Di makam?"
"Cok! Menengo sek ta, Bim! Kon iku kakean tekon. Dipahami ngono lho, ono wong ngomong disauti ae ketmau," cecar Arjuna.
"Menengo koh, koe ora diajak."
Arjuna menyahut, Abimanyu tak mau kalah. Terus seperti itu dari dulu. Pada dasarnya yang paling dasar Abimanyu memang menyebalkan, lalu bertemu Arjuna yang tidak sabaran.
"Mendingan lo tidur, Lang, daripada badmood nggak jelas. Jam tujuh kita berangkat. Yan, lo jadi nginep sini?"
"Nggak tau, Mas, tak tanya bunda dulu ayah udah ngebolehin belom. Tadi katanya mau nginep ngapain."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jogja dan Cerita; Bumi Senja
General FictionTentang bagaimana Jogja mampu mengantarkan kisah klasik kehidupan. Banyak orang yang bisa memilih di mana kisah mereka akan berjalan. Banyak juga orang yang seakan buta akan apa kisah mereka akan terus berjalan. Jogja, satu dari sekian ribu pijakan...