Rasanya bunga tak pas untuk mendeskripsikan bagaimana Langit. Ia tak gemulai, ia tak wangi, ia tak indah, setidaknya menurutnya, dan ia tak disukai banyak orang. Namun apa boleh kali ini saja samakan lesunya dengan bunga yang tak mendapat sinar matahari? Bunga yang tak sengaja terlindas kaki? Bunga yang terus diam walau berkali-kali disiram sebab akarnya mati? Boleh malam ini Langit menjadi bunga?
"Dunia ini memang selalu membuat kita berpikir, Lang." Seorang laki-laki bergabung di mejanya dengan dua bungkus rokok dan sebuah asbak elektrik penyaring asap.
Mendengar namanya disebut, Langit pun mendongak. Didepannya duduk dua yang menatapnya dengan tatapan bingung, Chandra dan Mahendra.
Langit mengernyitkan dahinya. Ia pikir cafe ini kosong sebab sudah tutup dua jam yang lalu.
"Belum pulang, Mas?" tanya Langit pada Mahendra.
"Malam ini nginep, kemaleman takut ada klithih," jawab Mahendra segera setelah menghisap rokoknya. "Mau?" tawarnya balik.
"Makasih." Langit mengambil satu batang Marlboro dan korek elektrik di atas meja. Kapan lagi ia bisa ngerokok dengan rokok dan korek mahal gratis seperti ini.
"Besok nggak kerja?" tanya Langit lagi.
Namun alih-alih menjawab, Mahendra malah terkekeh. Kekehan yang berhasil membuat Langit bertanya-tanya, apakah pertanyaanya tadi lucu?
"Saya ambil shift Chandra gara-gara pergi ke takziah tadi."
"Peringatan kematian, bukan takziah," sahut Chandra.
"Sama aja. Dulu waktu saya kuliah nggak pernah ikut acara begini, jadi saya nggak tau sebenernya esensinya apa."
"Solidaritas. Esensinya solidaritas."
Langit mengendikkan bahunya tak acuh. Tak setuju pada Mahendra bukan berarti ia harus setuju dengan Chandra.
"Klik kirim, Lang. Nggak usah kebanyakan mikir. Mas Jodi udah nawarin lo dari sebelum oprec kenapa nggak diterima aja?"
Menyorot pada layar putih milik Langit yang menampilkan kotak ungu di pojok kiri bawah bertuliskan "kirim" yang ia tatap ragu-ragu. Jempolnya terus mengawang di atas sembari sesekali mengecek identitas yang ia bubuhkan betul atau tidak.
"Belum tertarik," jawab Langit singkat.
"Terus kenapa sekarang tertarik?"
"Memangnya nggak boleh kalau saya tertarik ikut oprec? Bukannya malah untung Mas Jodi Mas Jodi itu? Kenapa jadi kamu nyecer saya? Rasanya manusia itu terlalu dinamis untuk berdiri di satu keadaan. Kebetulan saya masih manusia." Langit menyecar Chandra dengan senyum tipis hingga matanya membentuk bulan sabit di akhir.
"Tanya doang gue. Mau lo dinamis kek, dinamika kek, dinamo, dinosaurus, bodoamat."
"Biarin Chan, barangkali ini ilham yang Tuhan kirim biar Langit mau bergaul sama manusia lain. Biar enggak setiap hari sama kamu terus udah kayak Upin Ipin," Maraka melontarkan komentar diiringi kekehan kecil. Sembari membayangkan rupa Langit dan Chandra bila rambutnya betul botak seperti Upin Ipin.
"Upin mana mau disamain sama mahasiswa apatis kayak Langit?" tantang Chandra.
"Biar apatis daripada rapat-rapat sampai tengah malem enggak jelas."
"Baru join udah ngatain. Tunggu tanggal mainnya semoga lo enggak ditahan Mas Joni di sekre sampe tengah malem sambil ngumpet di balik lemari biar enggak diusir satpam. Welcome to the jungle."
|JOGJA DAN CERITA|
Segalanya menyenangkan sebab manusia sudah terbiasa. Saat hitam menjadi pudar tapi putih nyatanya tak pernah mendeklarasikan kehadirannya begitu lama. Segalanya terasa mudah sebab kita pandai berpura-pura. Ketika kusut benang kepala, haus akan tuntutan nyata yang meminta jatah untuk disapa.
Semua pelik itu ada pada manusia. Semua punya namun tak pintar mengendalikannya.
Semua hanya tentang waktu. Waktu yang akan mendikte hingga akhirnya manusia menjadi terbiasa. Semua bisa karena terbiasa. Semua terbangun perlahan sebab manusia butuh perubahan. Manusia butuh bangkit dari keterpurukan.
Katakan kumpulan itu pernah menjadi yang paling menyedihkan. Dihadapkan oleh bingung yang bertubi-tubi saat belia ini masih ingin tuntunan jalan. Katakan kumpulan itu didewasakan keadaan. Katakan semua berlebihan tapi nyatanya tak ada yang dilebih-lebihkan.
Rapat pertama "Pakar Seniman", pameran yang rutin digelar setiap tahun akhirnya dimulai. Lengkap bersama seluruh panitia baik dari anggota maupun peserta oprec hadir di ruangan sedang pojok gedung student center tempat seluruh administrasi organisasi dan UKM berada.
Semua nampak sesak dengan lutut saling beradu satu sama lain demi bisa masuk dengan pas. Tahun ini anggaplah suatu hal yang sial karena Doy, ketua pelaksana "Pakar Seniman" tahun ini adalah seorang perfeksionis yang melayangkan peraturan bahwa presensi rapat akan diperhitungkan dengan seksama dan konsekuensi bila melebihi batas "izin" yang ditentukan disiapkan tak kalah seksama pula.
Orang yang digadang-gadang menjadi ketua BEM tahun depan ini seperti tak ingin melewatkan momentum untuk unjuk boleh kredibilitas dirinya.
Silir angin pemilwa rasanya menerpa seluruh ruangan membuat mungkin dua hingga tiga kelompok oposisinya tak suka.
Lebih kurang pemuda bernama lengkap Aldoyaris tersebut perlu diketahui latar belakangnya. Yang kini duduk bersandar pada tembok hijau yang kian pudar dimakan waktu bersama dengan seorang laki-laki dan dua perempuan.
"Si Doy nggak bisa basa basi dulu apa, ya? Dari tadi digas mulu," celetuk perempuan dengan rambut bergelombang yang sering disapa Hana itu sembari berbisik.
"Udah setelan pabrik, Mbak. Ntar macet malah kita yang bingung," jawab perempuan di sampingnya diringi kikikan mengejek. Sebut ia Senja.
Memperhatian sebagian kecil manusia yang ia sebut pulang. Tersenyum hangat hatinya menyapa mereka-mereka yang telah memberi rasa nyaman. Dalam ruang trauma yang selalu menjadi bayang-bayang mengerikan, Senja tetap bubuhkan gerak perlawanan demi sebuah hidup tanpa rasa penyesalan.
"Karena yang nggak mau Senja ulang itu sebuah penyesalan." Jawabnya ketika ditanya mengapa mau bersusah payah andil dalam pameran ini dan mengabdi dua tahun lamanya.
Perasaan yang tidak bisa disebut "hanya".
"Nanti nunggu gue dulu, ya? Diajak ketemu sama alumni. Lo pada mau ikut nggak?" tanya Jodi pada Senja dan Hana.
"Alumni siapa?"
"Bang Alex."
"Enggak, Senja tunggu diluar aja."
"Beneran nggak mau ikut? Bukannya kapan hari lo udah ketemu dia kan, waktu malem peringatan?"
"Iya, tapi Senja nggak mau lagi."
-hiiiiii, lama tidak bersua.
suka? nggak suka? aneh? bagus yang dulu! (?)
kindly hit me up on ig @geenadisha, kita berbincang tentang Langit.
💻Find me at
Instagram: geenadisha
Twitter : geenadishaLanjut?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jogja dan Cerita; Bumi Senja
General FictionTentang bagaimana Jogja mampu mengantarkan kisah klasik kehidupan. Banyak orang yang bisa memilih di mana kisah mereka akan berjalan. Banyak juga orang yang seakan buta akan apa kisah mereka akan terus berjalan. Jogja, satu dari sekian ribu pijakan...