00. Prolog

7.2K 423 56
                                    

📌Rei kembali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

📌Rei kembali. Buat pembaca lama boleh baca ulang karena alurnya yang ini lebih tertata, FC nya juga ganti. Dan buat pembaca baru selamat datang ke permainan!
📌Cari sekutu yang bisa dimanfaatkan dalam permainan.
📌Bidak putih akan bermain terlebih dahulu.
📌Just enjoy and vote, coment, okey?

Gelap malam dikukung oleh pijar kilatan gemuruh, laju air membasahi tubuh. Sepasang insan kaki terus melangkah mundur menghindari dua bayang kian mendekat. Gemericik air beradu dengan lantai dingin. Remaja dengan surai coklat, berkulit pucat itu dapat merasakan darah di dalam dirinya berdesir begitu kasar, jantungnya berpacu dua kali lipat.

Matanya bergetar, bibirnya bergumam menahan isakan, tubuhnya hampir limbung kala kaki kirinya tak menginjak apa pun di bawahnya. Dirinya melirik ke bawah, jauh—sangat jauh dasar tanah itu.

“Alvano Raifansyah, menurutlah dan ikut dengan kami.”

Kepala sayu itu menggeleng kuat, tubuhnya gemetar, ditambah guyuran hujan membuatnya semakin menggigil kedinginan.

“E-enggak! Gue gak akan mau!” Tolakan mentah dari remaja bernama Alvano itu menjadi penutup segala ketakutannya.

Tubuh rapuh itu terjun bebas, meluncur tanpa adanya gravitasi, menghantam dasar tanah dan menimbulkan suara gedebum besar. Di tengah kesadarannya, Alvano tersenyum melihat genangan air di sekitarnya menjadi merah bercampur lumpur. Pandangannya melihat ke atas. Di mana dua orang yang mengejarnya tadi kini terlihat panik.

Perlahan bibirnya tertarik membentuk lengkungan manis. Alvano senang, dia membawa apa yang harus dibawa.

Ketiga pasang langkah kaki terlihat terburu-buru bergesekan dengan lantai rumah sakit. Jejak lumpur menjadi jalan peninggalan ketiganya menuju ruang ICU. Salah satu remaja laki-laki, berambut hitam, memakai jaket kulit hitam, telinganya di pearching dan sorot mata tajam bercampur kekhawatiran berjalan menerobos ruang ICU begitu kasar. Para perawat dan dokter didalam terkejut bukan main. Perawat laki-laki berusaha  keluar, tetapi remaja itu semakin membuat kekacauan dan memukul siapa saja yang menghalanginya.

“MINGGIR!”

Teriakan nyaring menggema, merenggut kesadaran, menjatuhkan realita. Si remaja  mendorong meja peralatan medis, membuat barang di atasnya berserakan di lantai. Langkah gontainya dia seret menuju tubuh yang terbaring tak berdaya di hospital bed. Dadanya mulai terasa sesak, pasokan udara seolah menipis, mengikis jarak merasuki alam sadar, isakan samarnya kian membesar kala di rasa debaran di tubuh itu tak terdengar oleh telinganya.

Tangan basahnya mengusap sayang kepala Alvano, membelainya penuh kasih. Setelah sekian lama, Alvaro Reifansyah kembali menangis. Rei menangis untuk saudara kembarnya.

IT'S (NOT) METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang