2. Bangsawan Wallazhia

3 0 0
                                    


Butuh menempuh selama tiga jam dari desa menuju pasar di pusat kota Wallazhia. Melewati sungai yang jernih mengalir. Petani-petani yang sibuk di ladang. Ternak-ternak merumput di padang hijau sejauh mata memandang. Para tuan tanah yang menatap nyalang dengan cerutu kayu di sudut bibir.

Pemandangan yang biasa ketika Adelia menemani Bibi Grace mengantar hasil kebun atau olahan keju dan susu kedelai.
Pemandangan desa dan para petaninya, begitu kontras dengan pemandangan pusat kota Wallazhia. Strata sosial dan kedudukan akan sangat menonjol perbedaannya.  Apakah ia seorang pedagang biasa, petani, seorang bangsawan atau buruh kasar, hingga  para budak. Kontrasnya perbedaan inilah yang menjadi awal pemikiran bahwa Adelia harus menjadi orang yang kuat dan pandai menggunakan senjata, rajin belajar, dan pandai bertani serta berburu.

Tak ada yang mengetahui apa yang akan terjadi dengan negeri ini. Perebutan kekuasaan bisa saja terjadi. Orang merdeka bisa saja menjadi tawanan, dan kasus terburuknya menjadi budak. Bibi Grace bukanlah orang terpandang atau bangsawan. Hanya seorang peternak dan pengolah keju dari desa yang tinggal seorang diri. Bagaimana akhirnya Adelia bertemu dengan Bibi Grace? Adelia sendiri pun tak tahu.

Ketika kecil, Adelia sering menanyakannya. Mengapa warna rambut mereka berbeda, milik Bibi Grace coklat bergelombang, mengapa miliknya lurus dan pirang kekuningan. Mengapa warna kulit mereka berbeda, Adelia ingin warna kulit coklat seperti milik Bibi. Mengapa kulitnya begitu pucat. Di mana orang tuanya, apa Bibi Grace bisa bercerita tentang mereka. Apakah ibunya mirip dengan dirinya, juga berambut pirang kekuningan? Dan banyak pertanyaan lain yang dijawab oleh Bibi "Banyak sekali pertanyaanmu, nak. Kau akan tahu nanti ketika dewasa."

Setelah beranjak besar, Adelia rasa, pertanyaan-pertanyaan tersebut memang tak ingin diungkap masa lalunya, dan diceritakan kebenarannya. Entah apa alasannya. Yang sudah pasti Adelia tahu, selama ini Bibi Grace begitu amat menyayanginya. Dan itu cukup.

Melihat gadis-gadis remaja seumurannya di kota, bohong jika Adelia tak ingin terlihat seperti mereka. Kehidupan gadis-gadis bangsawan impiannya. Memakai gaun yang indah, menikmati teh dan kue-kue dengan anggun. Gerakan jari yang lentik, langkah gemulai. Lihatlah, sepatu mereka terpoles berkilau, bersih dari tanah dan lumpur tidak seperti miliknya. Begitu cantik. Pernah Adelia berandai-andai, bisa saja dirinya terlahir di keluarga bangsawan. Entah bagaimana terjadi, Bibi Grace harus membawanya kabur dan tinggal di desa pinggiran jauh dari kota. Bukan di kediaman megah dengan lampu-lampu gantungnya.

Tapi andai-andai ini hancur seketika ketika melihat pantulan dirinya sendiri dari kaca etalase toko roti. Dia bukan Adelia dari keluarga bangsawan, lihat, tak ada sedikitpun gaya bangsawan dari dirinya. Jauh dari kata anggun. Ya, saatnya kembali ke realita. Dia hanyalah Adelia dengan sepatu boot bekas, bercak lumpur di sisi solnya, pakaian kebesaran milik Bibi dan tak ada pita cantik di rambut. Hanya kain biasa penutup rambut yang diikatkan kuat pada belakang tengkuk.

"Aakk!!" Bibi dan Adelia terkejut dengan teriakan nyaring seorang gadis yang jatuh terduduk di depan toko bunga.

"Tangkap dia! Dia ingin merampas isi tas kami!" Seru temannya yang lain. Lalu berjongkok menolong temannya tuk berdiri.

"Nona, kau baik-baik saja?" Tanya pemilik toko bunga, ikut membantu membersihkan gaun gadis itu.

"Liliana, anak ini harus dihukum berat, beraninya ia merampas tas milikmu!" Tunjuk temannya tadi, pada anak laki-laki dengan pakaian compang-camping yang telah ditangkap warga. Anak ini memberontak.

"Aku tidak merampas! Aku bukan pencuri!" Lantangnya sambil berusaha melepaskan diri dari cekalan tangan warga.

Gadis bernama Liliana tadi mengambil nafas dalam. Wajahnya mengeras, dagunya mendongak dan terlihat begitu marah.

"Bawa anak ini ke kediamanku, aku akan memerintahkan orang mencari siapa tuan dari budak satu ini." Tiap katanya begitu tegas memberi titah

"Aku bukan budak, asal kau tahu gadis bodoh!" Pemuda itu menggeram.

"Jika kau bukan budak, maka kau sendirilah yang akan menerima hukuman. Seharusnya kau mengharapkan dirimu adalah budak, sehingga tuanmulah yang akan bertanggung jawab dan menerima konsekuensi." Ucapnya tepat di depan wajah pemuda yang dipaksa berlutut tersebut.

"Bawa dia!" Lanjut Liliana. Pemuda itu pun diseret menuju kediaman gadis bangsawan tersebut.

Bibi Grace menyentuh bahu Adelia lembut. Bibi Grace tersenyum, "Apapun yang terjadi jangan pernah terlibat dengan para keluarga bangsawan. Mereka tak memiliki pengampunan. Bahkan pada Pendeta sekalipun,"

"Mengapa Bibi? Apakah selama ini ada Pendeta yang mereka hukum?" Bibi berpikir sejenak.

"Sejauh ini belum, tapi dapat Bibi pastikan, Pendeta sekalipun akan menerima dan tunduk pada  titah mereka." Bibi mengangkat bahu.

"Bukankah Pendeta hanya mendengarkan wahyu Tuhan, mengapa mereka harus menuruti manusia?" Mendengar Adelia bertanya lagi, Bibi berdecak, berkacak pinggang.

"Kau ini, kenapa banyak sekali bertanya." Bibi menggeleng pelan. "Cepat, bawa keju ke toko kue di sana, mereka sudah menunggu."

"Siap, Bibi."

Gadis itu, Liliana, Aku sangat penasaran sebesar apa kediamannya. Batin Adelia. Sambil berlari kecil mengikuti langkah Bibi Grace yang lebar.

....

To be continued...

To be continued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 02, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FATE [Enhypen Song Fiction] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang