"Kalo kayak gini malah gue yang jadi berasa anak sulung."
Helaan napas kasar keluar dari mulut seorang anak bungsu bernama Naraqi yang baru saja melontarkan sebuah kalimat sambil meletakkan handphonenya di atas meja dengan sedikit membanting.
Niko, sahabat Raqi yang tengah asik menyeruput es teh langsung berjengit kaget. Untung tidak sampai membuat nya tersedak.
"Kenapa lagi?" Tanya Niko jengah. Akhir-akhir ini sahabatnya itu sering meragukan identitasnya sebagai anak bungsu.
"Kakak gue mau minjem duit. Lucu ya, masa kakak pinjem duit ke adek?!" Jawab Raqi tidak habis pikir dengan kakaknya yang ingin meminjam duit darinya.
"Kakak yang mana? Sulung atau kedua?" Niko bertanya lagi sembari melanjutkan acara makan siangnya.
Raqi dan Niko sedang berada di warung makan dekat mini market tempat mereka bekerja karena sedang waktu istirahat.
Sebenarnya Raqi itu punya empat orang sahabat tapi yang paling akrab dengannya hanya satu yaitu Niko, karena mereka berdua sudah bersahabat sejak SD.
Dengan tiga sahabat nya yang lain Raqi akrab juga tapi tidak terlalu karena mereka jarang nongkrong bareng. Mereka mempunyai kesibukan masing-masing. Kesibukan mereka juga berbeda dengan Raqi dan Niko. Tiga temannya itu sibuk kuliah, sedangkan Raqi dan Niko sibuk bekerja. Sesekali saja mereka nongkrong full member kalau sedang libur.
"Si sulung, Namuji." Jawab Raqi menyebut nama sang kakak sulung dengan santai. Tanpa embel-embel 'kak'.
Raqi mempunyai dua orang kakak kandung dan dua-duanya sudah menikah. Mereka mempunyai tempat tinggal sendiri bersama keluarga kecil mereka masing-masing. Jadi Raqi hanya tinggal berdua saja dengan ayahnya.
Niko tidak langsung membalas perkataan Raqi, karena fokus menghabiskan makanannya yang sisa sesuap. Berbeda dengan Niko yang makan dengan lahap, Raqi malah makan dengan ogah-ogahan. Nafsu makannya sedang tidak bagus. Niko tadi yang mengajak dan memaksanya untuk ikut makan siang. Raqi terpaksa ikut, daripada Niko berisik, maksa-maksa terus.
"Alhamdulillah, kenyang!" Ucap Niko setelah selesai menghabiskan makanannya.
"Kakak lo emang gak punya otak! Adeknya disini dengan fisik yang lemah rela kerja banting tulang, nyari duit buat kebutuhan hidup berdua sama ayahnya. Dia yang anak sulung udah sama sekali gak ada bantu, eh malah mau minjem duit. Gila emang kakak lo! Gak punya otak! Gak punya urat malu! Pecat aja jadi kakak!" Kemudian Niko memaki kakak sahabatnya itu dengan emosi yang menggebu-gebu.
Buk..
Raqi langsung menggeplak kepala Niko cukup keras, "Parah banget, ya tuh mulut. Abis ngucap syukur malah langsung maki-maki kakak gue. Diliatin orang, noh! Pake ngatain gue lemah lagi. Gue tuh gak lemah, ya. Sembarangan banget kalo ngomong. Mau mulut lo gue staples?!" Ujar Raqi, sembari mendelik ke arah Niko yang duduk di sebelahnya.
"Gue cuma esmosi sama kakak lo yang gak tau malu itu, Raq. Sorry, gue gak bermaksud ngatain lo lemah," Ucap Niko sembari mengusap belakang kepalanya, meminta maaf pada Raqi karena sudah mengatakan hal yang sensitif ditelinga sahabat nya itu. Dia lupa kalau Raqi paling tidak suka jika ada yang mengatainya lemah.
"Gue emang sakit, Nik. Tapi gue gak lemah," Balas Raqi menegaskan.
"Iya, lo gak lemah kok. Lo itu kuat. Lo anak bungsu tersetrong yang pernah gue temuin,"
"Lebay,"
"Beneran, Raq. Gue kalo jadi lo, mungkin gak bakal bisa sekuat lo. Lo itu hebat,"
"Lo juga hebat," Raqi menampilkan senyum tipis yang jarang sekali diperlihatkan.
"Iya, kita emang hebat." Sahut Niko dengan percaya diri. Melihat sahabat nya itu tersenyum membuat dia ikut tersenyum juga.
"Lo lebih hebat dari gue, Nik. Lo kerja buat bantu orang tua biayain adek lo sekolah. Bahkan lo sendiri rela putus sekolah, supaya orang tua lo bisa fokus ke adek lo aja. Lo itu sulung terdebest. Kakak sulung gue aja kalah," Raqi menggeser piring makanan yang masih tersisa banyak itu menjauh dari hadapannya. Dia benar-benar tidak bisa menghabiskan makanannya itu. Kemudian Raqi meraih botol air mineral diatas meja.
"Heh, lo juga putus sekolah, ya. Kita itu sama. Sama-sama kerja banting tulang buat keluarga."
"Gue putus sekolah bukan cuma gara-gara keterbatasan ekonomi aja, tapi juga karena gue sakit. Jadi lo dan gue itu beda,"
Raqi lantas meneguk air mineralnya hingga tandas, meremukkan botolnya, lalu meletakkan botol yang sudah remuk itu kembali ke atas meja samping piring makannya tadi. Biar saja pemilik warung yang membuang botol minumnya. Disana dia 'kan sedang menjadi raja.
"Iya, tapi tetap lo hebat juga. Lo sakit tapi tetap mau kerja. Padahal kerja itu capek. Kalo gue jadi lo, gue gak bakal sanggup sih,"
"Asal ada kemauan, insyaallah pasti sanggup," Raqi bangkit dari tempat duduknya, "Yok, balik, gue mau sholat dzuhur." Ajaknya pada Niko.
"Eh, makanan lo gak di habisin? Obat lo juga minum dulu, woi, Raq! Kalo ntar lo pingsan gue gak mau nolongin loh, ya!" Ujar Niko sedikit meneriaki Raqi yang sudah melangkah lebih dulu untuk membayar makanan dan minumannya. Niko pun langsung segera menyusul.
"Yaudah, tinggal biarin aja gue pingsan. Ntar juga gue bisa bangun sendiri. Tapi kalo misalnya badan gue tergeletaknya di tengah jalan, seenggaknya lo pinggirin supaya gak keinjek orang." Balas Raqi santai sembari melanjutkan langkah keluar dari warung karena sudah selesai membayar.
"Bocah stress! Kasian, mana masih muda." Niko yang melangkah di belakang Raqi itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan wajah prihatin yang dibuat-buat.
🌳🌳🌳🌳🌳
*Sayang kalo idenya gak dituangin ke sebuah cerita..nanti tumpah-tumpah dan terbuang sia-sia.. eaaak.. ngomong apa sih wkwk 😂🔫
*Intinya ini cerita baru, dah gitu aja.. 😊
*Karna Karenzo udah mau tamat, jadi cerita ini aku publish lagi.. Semoga suka 🤗

KAMU SEDANG MEMBACA
Bungsu mandiri
Ficción GeneralAwalnya hidup Raqi bisa dibilang sama seperti anak bungsu pada umumnya. Dimanja, diberi banyak perhatian dan kasih sayang. Tapi semenjak sang ibu meninggal, hidup Raqi berubah. Saat itulah ia mulai menjadi anak bungsu mandiri dan mengharuskannya men...