Bagian 28

18.6K 48 0
                                    

"Lena...,"

Alena menangkap jelas panggilan dari sang sahabat, Titans Genon. Namun, ia masih terpaku ke arah layar handphone, pada deretan kalimat pesan yang dikirimkan Davae kepadanya, menanyakan kondisinya selama menunggu di ruang kerja pria itu.

Sang atasan pasti mengira ia masih berada di kantor. Ia memang tak mengatakan apa-apa soal kepergiannya makan siang bersama Titans Genon di restoran. Pria itu pasti tak mengizinkan.

Komunikasi dengan Davae pun sedang malas dilakukan, termasuk pesan. Diputuskan untuk tidak membalas. Dan, tak akan dipedulikan jika pria itu marah kepadanya nanti.

Peladenan tentu diberikan saat Davae mengajak bertengkar. Ia sudah terlalu kesal, harus dilampiaskan agar emosinya bisa berkurang. Meski, kekecewaan karena sudah dibohongi tak akan mampu hilang dalam sekejap. Membekas di hati untuk waktu yang lama.

"Lena...,"

Alena memutuskan merespons panggilan sang sahabat. Arah pandang dipusatkan pada sosok Titans. Senyuman yang cukup lebar dibentuknya. "Iya, ada apa? Maaf baru menyahut."

"Kau sangat aneh hari ini, Lena. Aku jadi bingung harus bersikap bagaimana."

Alena mengembuskan napas panjang seraya menurunkan tatapan ke meja makan, tetapi sebentar saja. Dipandang lagi sang sahabat yang masih kian lekat menatapnya. Lalu, ia menggeleng-geleng pelan. Menampik.

"Aku hanya sedang tidak memiliki mood bagus hari ini. Banyak pekerjaan di kantor."

Alena tidak bermaksud menyembunyikan dari Titans. Hanya saja. Ditahan dahulu. Ia butuh waktu menceritakan semua. Tentu dibarengi dengan meminta solusi Titans.

Selama ini, masukan-masukan yang diberi sang sahabat dapat diterapkan. Walaupun bukan soal hubungan pribadi, terlebih lagi asmara. Namun, setidaknya ia bisa bertukar pandangan tentang masalah dihadapinya.

"Kau bilang kau sedang lapar? Kenapa kau tidak makan pastanya, Lena? Kau cicipilah segera, sebelum aku yang menghabiskan."

Alena mengangkat kepalanya lebih tinggi. Kedua ujung bibir menurun, namun lantas ditarik kembali. Ia juga mengangguk dengan gerakan sangat malas, kali ini. Akhirnya menunjukkan nyata ketidakantusiasan pada Titans. Tak bisa dibohongi sahabatnya itu.

Suasana hati memang semakin memburuk saja. Ia bahkan tak bernafsu makan, walau perutnya sudah kosong dan butuh diisi oleh makanan. Tidak akan sampai mengabaikan menu yang telan dipesannya, meski harus disantap dengan pelan karena belum mampu membangkitkan selera juga hingga detik ini.

"Tidak boleh. Jika kau masih lapar. Lagi saja pesan makanan. Jangan merebut punyaku, Titans." Alena menjawab dalam nada suara yang sengaja dibuat galak. Sedikit mendelik.

"Hahah. Aku bercanda, Lena."

"Kenapa memandangku begitu?" tanya Alena cepat sebab merasa aneh dengan tatapan sang sahabat.

"Karena aku curiga padamu, Lena. Kau tidak biasa. Apa kau ada masalah? Jangan berbohong, oke? Aku yakin kecurigaanku benar. Kau harus jujur."

Alena tidak buru-buru mengeluarkan balasan, meski sudah tahu akan menjawab apa. Terlebih dahulu, ia memasukkan pasta ke dalam mulutnya. Kemudian, dikunyah dengan cukup cepat. Tak bisa menikmati kelezatan makanan kesukaannya seperti biasa.

"Mau bercerita sedikit kepadaku? Hmm, aku bukan ingin memaksa. Hanya saja aku tidak tega jika kau sendiri menanggung masalahmu, Lena. Kau adalah sahabatku sejak kita bekerja di perusahaan Miss Amanda. Aku merasa harus peduli denganmu."

"Kau benar. Aku sedang ada masalah. Tapi, aku sendiri menganggap aku bodoh karena berpikir apa yang aku sedang alami sebagai masalah besar. Tidak akan ada solusi masuk akal bisa aku ambil. Kau paham?"

Alena tak berkedip, menunggu reaksi Titans Genon. Namun, sang sahabat nyatanya tidak merespons cepat. Mungkin perlu tambahan waktu untuk memaknai jawabannya tadi.

Alena akan menunggu saja dalam diam. Tak ada yang ingin dikatakan lagi untuk lebih menjelaskan. Kalimat-kalimatnya dirasa telah bisa mewakili semua. Titans pasti bisa menangkap dengan baik makna ucapannya.

"Masalah hati dan cinta? Apa bos barumu?"

Alena segera mengangguk. Kepekaan sang sahabat benar-benar disukainya. Wajar saja Titans bisa mudah memahami karena sudah berlangsung hampir lima tahun pertemanan di antara mereka. Bukan kali ini saja dirinya mengungkapkan masalah pribadi ke Titans.

"Aku rasa aku dalam masalah. Aku menaruh kepercayaan tinggi kepada Davae. Ah, lebih dari itu. Aku memiliki ketertarikan pada dia. Davae pun terus merayuku. Mengajakku untuk bercinta. Tadi, bahkan kami sedikit bermain panas di kantor. Dia sangat lihai."

"Lalu apa masalahnya?"

Alena menggeleng pelan. Kedua tangannya menutupi wajah. "Dia ternyata mempunyai kekasih. Datang ke kantor tadi. Aku kaget."

"Aku merasa sudah dibohongi bosku karena dia bilang tidak memiliki kekasih. Aku pun memercayainya dengan mudah." Alena kian lirih menambahkan penjelasannya. Mata sudah berkaca-kaca akibat sesak di dada.

"Siapa nama kekasih bosmu, Lena?"

"Adaline Rosei. Kenapa memang?"

Titans menyeringai. Kemudian, menggeleng dengan santai. Berupaya membuat ekspresi yang tak mencurigakan. "Aku akan mencari informasi tentang Adaline dari temanku, dia seorang detektif. Pasti mudah tahu siapa Adaline Rosei. Aku penasaran dengannya."

Alena membelalak. "Apa motifmu mencari informasi tentang Adaline? Apa kau berniat menjadikan dia sebagai targetmu? Jangan lakukan. Jangan konyol. Adaline memiliki hubungan asmara dengan bosku."

Titans meloloskan tawa. "Akan menarik ini, Lena. Kau mendapatkan bosmu. Biarkan aku meladeni wanita itu. Menyenangkan."

Sexy Secretary & Her Boss [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang