kilas balik

6 0 0
                                    

Berada di lingkungan yang seperti setengah-setengah dalam mengharapkannya hidup dunia itu sangat capek dan melelahkan, itulah yang dirasakan ara.

Berkali-kali berusaha meyakinkan dirinya bahwa dia pantas ada di dunia tp semesta seakan-akan membuatnya harus mengubur semua pikirannya dan menerpanya dengan keadaan yang membuatnya merasakan sebaliknya.

"gua capek bgt, bukan fisik tp batin," ucap ara bermonolog sendiri dalam kamarnya sambil menatap kamar langit dengan rebahan diatas kasurnya yg sangat nyaman.

Lagi, dan lagi ara merasa dunia selalu tidak berpihak padanya. Terlalu banyak kejadian buruk yang dialaminya hingga kebaikan yg menghampirinya tidak bisa ia lihat. Menatap langit kamar yang tampak sudah sedikit rusak. Memejamkan mata dan selalu terbawa kembali kedalam dunia menyakitkan yang sudah lalu.

flashback
"apa? Kenapa harus ara? Ara gk salah dan ara gk mau minta maaf", teriak ara yang tertahan karena rasa kesalnya.

"Bukan masalah salah gk salah ara. Mama yang selalu berusaha untuk benar saja, tapi menurut bapak, mama masih salah. Jadi lebih baik kita ngalah, toh juga bapak gk mungkin mau berbuat buruk ke kita," nada lembut yang terucap dari bibir ibunya tp terdengar lemah di telinga ara.

Ara menatap lekat ibunya dengan perasaan campur aduk. Dia punya prinsip untuk tidak meminta maaf kalo dia tidak salah dan mengakui kesalahan jika memang benar dia salah. Tetapi, kenapa ibunya selalu pasrah jika disalahkan? Dan selalu mengajarkan untuk mengalah?

"Kenapa harus ngalah sih ma? Bapak ngerasa dirinya udah bener apa ya? Selalu saja setiap ada masalah pasti merembet kemana-mana dan kejadian lama diungkit-ungkit trs. Ara gk suka!
Ngerasa sok bener padahal dirinya aja blm bener, orang mah kalo ada salah perbaiki bareng-bareng bukan nyecer orang dengan mengungkit kesalahan masing-masing orang yang dicecer,"
jawab ara yang masih memegang prinsipnya untuk tidak minta maaf dan berharap ibunya mengerti.

"ARA!!! YANG KAMU BILANG ITU BAPAK KAMU, YANG NGEBIAYAIN KAMU. PANTAS KAMU NGOMONG BEGITU?" teriak ibunya yang sudah emosi dengan jawaban putri keduanya. Dia tau ara memiliki sifat yang sangat memegang prinsip, tapi untuk keadaan sekarang menurut ibunya prinsip trsbt tdk digunakan dulu demi keberlangsungan bersama.

Ara kaget. Kaget dengan nada ibunya. Rasa panas di mata sudah menyeruak, berkali-kali dia mengedipkan matanya untuk menghalau air mata yang turun. Berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata di depan ibunya, karena dia gk suka menangis di depan orang termasuk keluarga sendiri.

"Kamu bisa gede seperti ini dari siapa ara? Dari bapak kamu. Bapak dinas dari pagi trs malemnya lanjut kerja buat siapa? Buat anaknya, buat kita semua ara. Emang bapak minta apa sih sama kamu? Bapak kan cuman minta ara jadi anak yang nurut sama orang tua, kalo disuruh langsung dikerjain. Sesusah itu kah ra? Mama pengen ara sama bapak tuh gk berantem trs. Kamu pengen dipahami kenapa kamu gk bisa memahami bapak"

"Hah? Ara gk mahamin bapak? Mah.... ish Ya Allah"  beo ara dengan helaan nafas sambil memejamkan mata krn rasa sakit tiba-tiba di hatinya krn mendengar ucapan kalimat terakhir ibunya.
"Udahlah mah, udah iya. Ara salah, ara gk mahamin bapak. Ara emang salah, udah ma"

"Bukan langsung kek gtu ara. Mama mau kamu ngertiin bapak, kalo sifat bapak seperti itu kita harus mahamin ara"

"Iya ara salah," jawab malas ara. Dan dia langsung pergi masuk ke kamarnya. Ara sudah terlalu capek. Capek menghadapi banyaknya tugas sekolah dan sekarang harus menghadapi hidupnya yang menurut dia sendiri sulit. Sulit untuk saling memahami satu sama lain.

Ara merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Dia memiliki kakak perempuan bernama Tania Radhika dan adik laki - laki bernama Dhiosepta Saputra.
Dilahrikan dari keluarga yang berlatarbelakang militer membuatnya sudah terbiasa dengan hal-hal yang berbau "keras" entah itu dlm verbal atau kegiatan. Jika dilihat dri segi material, memang keluarganya berada dalam kata cukup. Tidak mewah ataupun tidak bawah, intinya dpt memenuhi kebutuhan sehari-hari. Keluargaku cukup harmonis, jika dilihat dari cover-nya saja. Tapi, sangat berantakan kalo sudah tau kehidupan dalamnya.

flashback off

Sudah cukup.
Ara membuka kelopak matanya kembali, ia merasakan hatinya nyeri kembali setiap mengingat kejadian yg menyakitkan secara detail. Ia mengatur nafas secara teratur untuk menetralisirkan rasa sakit di dadanya.

"c'mon, ara. you can do it. jangan dulu menyerah, lo tahu seberapa sulit untuk memulainya bukan?" ucap ara untuk meyakinkan diri kembali bahwa ia bisa melewatinya kembali.
Ia bergegas bangun dan mengaca pada cermin yang ada pada kamarnya agar ia tidak terlihat seperti menyedihkan di depan orang-orang terutama keluarganya.

"Mba ara, liat buku dhio yang di meja gk?" tanya dhio yg langsung masuk kamar ara tiba-tiba.

"Buku yg mana?"

"Itu lho buku yang di meja, sampul coklat"

"Meja mana dio? Disini meja banyak bukan satu doang" sengit ara krn dhio tidak memperjelas meja mananya itu.

"Ish meja deket meja mba ara, mejanya dio sendiri, gmna sih" balas dhio dengan nada kesal.

"Aku gk liat dan gk tau juga. Makanya klo naro buku tuh langsung di tempatnya, jangan sembarangan," ucap ara.

Setelah mendapat jawaban dari kakaknya walalupun harus melalui pertengkaran kecil, dhio langsung keluar dari kamar kakaknya. Tetapi, sebelum dhio bener-bener keluar dia meninggalkan suara.

"lo jangan sok deh, kebiasaan banget klo ngejawab apa-apa make emosi" ucap dhio yg langsung meninggalkan kamar ara.

Ara mendengar jelas apa yang dikatakan dhio, dia tidak terima bahwa adeknya mengatakan hal tersebut yang ditujukan kepadanya, "NGACA! GK PUNYA KACA?! EMOSI LO LEBIH ACAK-ACAK AN DARIPADA TINGKAH GUA!" teriaknya dengan nada seperti ingin memburu manusia itu lalu memasukkan ke dalam tong sampah. Kenapa ia harus mempunyai adik laki-laki yang selalu menyulut emosinya?

Senja dengan tawanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang