~𖹭~Tak terasa waktu penampilan kami semakin dekat. Kami pun mulai berkumpul dan bersiap-siap untuk tampil. Tiba-tiba saja perutku jadi mulas saat itu, menyebalkan.
Rintik-rintik hujan mulai turun hingga akhirnya semakin deras dan membasahi panggung. Acara terpaksa dihentikan beberapa saat, ugh benar-benar menyebalkan. Aku pun memeriksa properti yang akan kami pakai untuk sekedar mengalihkan pikiranku. Setelah ku periksa, properti kami ada yang kurang. Kacau, pikirku.
Aku pun akhirnya melaporkan hal itu kepada astrada kelompok kami bahwa sendok yang akan aku gunakan nanti untuk babak di ruang makan -ya, aku sebagai istrinya dalam drama itu akan menyuapinya makan- tidak ada. Ku lihat wajah kakak tingkatku panik, ia pun berusaha meminjam sendok tapi tak ditemukan. Akhirnya ia pun menyarankan aku untuk menyuapinya saja dengan tangan.
Tangan kosong?
Gawat, gak, aku gak mau.
Seseorang, tolong, aku ingin menghilang aja dari sini.
Yang benar aja? Masa aku menyuapinya dengan tanganku?
Aku mati-matian menelan rasa maluku. Aku menjadi rak semangat seperti biasanya. Lalu dia pun memanggilku untuk membahas tentang apa yang akan kami lakukan di panggung nanti.
"Nanti panggil mas aja," perintahnya.
"Aku gak bisa," bantahku. "Coba deh kamu bayangin jadi aku,"
"Apa bedanya?" Ucapnya dengan wajah tanpa dosanya. Aku diam sejenak, benar juga, posisi kami sama.
"Ah, ya udah deh. Tapi nanti jangan panggil ayah bunda ya," panggilan ayah bunda antara kami berdua adalah rencana awal dari kelompok kami, hanya saja karena panggilan itu terlalu menggelikan ya lebih baik aku ikuti saja perintahnya.
Argh, entahlah aku gak bisa. Pikiranku benar-benar kacau saat itu. Padahal, pada awalnya aku juga menyarankan untuk seperti itu. Tapi makin ke sini rasanya aku tidak siap.
Sebelum tampil kami pun mengulang dialog yang kami rasa masih kurang. Tak terasa hujan pun akhirnya mereda. Kakak tingkatku yang bertugas sebagai pengatur panggung akhirnya memanggil kelompok kami. "Udah siap semuanya?" Ucapnya memastikan.
"Siap gak siap, harus siap," jawabku.
"Iya benar. Siap gak siap, harus siap," ucap kakak tingkatku membenarkan.
Sial. Sial. Sial.
Ini penampilan drama pertamaku. Apapun yang terjadi, terjadilah. Jangan salah. Akhirnya penampilan drama kami pun di mulai.
Babak pertama oleh aku dan dia. Aku mendengar respon penonton. Haha, gila. Ternyata begini rasanya. Aku pun juga mendengarnya memuji ku setelah kami kembali ke belakang panggung. Ah, kakiku rasanya seperti mati rasa. Sial, sensasi rasa geli saat tanganku menyentuh bibirnya saja masih terasa.
Kami pun menyelesaikan drama kami dengan sangat baik. Sutradara dan astrada kami banyak memuji kami. Lega, latihan kami selama ini terbayarkan. Teman-teman dekatku memujiku. Aku pun juga menerima pujian dari salah satu teman dengan beda jurusan.
Argh, padahal aku sudah lupa dengan penampilan drama tadi. Tapi, jadi teringat lagi karena pujian dari temanku yang beda jurusan ini. Highlight malam ini, jari-jari tanganku menyentuh bibirnya dan kami terlalu banyak bersentuhan.
Aku gak terbiasa dengan itu semua.
~𖹭~
KAMU SEDANG MEMBACA
Is It Called Love?
Teen Fictionaku bingung, ini aku beneran suka sama dia atau cuma baper karena waktu itu ya? A short story by anycabina. Hope you enjoy!