8. Susu Basi

28 5 4
                                        

Usai memarkirkan motornya di halaman rumah, Keno pun melangkah masuk, terlihat di sofa ruang tamu terdapat seorang pria berbaju santai tampak sedang menunggu kehadirannya. Keno tak acuh, ia berjalan melewati sang papa tanpa ada niat bertegur sapa. Kebiasaannya setiap kali masuk rumah memang begitu.

"Dari mana kamu?"

"Main sama temen," jawab Keno jujur.

"Main sama siapa sampai malam begini? Teman kamu yang berandalan itu?"

"Mereka bukan berandalan, Pa. Mereka temen-temen aku."

Radit menghela tampak enggan membenarkan ucapannya yang salah.

"Tapi sejak kamu berteman dengan mereka pakaian kamu jadi seperti berandalan. Berangkat kusut, pulang apalagi. Seperti anak yang tidak terurus."

"Bukannya Papa emang nggak pernah ngurusin Keno, ya?"

"Apa maksud kamu Keno, Keno! Papa belum selesai bicara!" Belum tuntas kalimat selanjutnya keluar, Keno sudah lebih dulu melangkah menaiki anak tangga. Terlalu melelahkan bagi cowok itu berdebat dengan orang rumah.

Baginya semua orang sama-sama pecundang.

Cowok itu berhenti di kamarnya, ia pun masuk dan menyandarkan punggung ke balik pintu sambil mengatur ritme napas yang tak stabil.

"Sampe kapan gue gini?" tanyanya pada diri sendiri.

Setiap detik, menit, hingga hari berganti hari, Keno selalu merasa hidupnya penuh akan tekanan batin. Papanya yang tidak menganggap ia ada hanya karena Keno tidak memiliki apa yang Raditya inginkan. Skil yang seharusnya bisa Keno kuasai malah jatuh ke sepupunya. Renzi.

Tapi kenapa?

Kenapa Tuhan tidak menciptakan orang lain yang sempurna sebagai anak dari Raditya itu? Atau kalau perlu, Keno tidak masalah Renzi lahir sebagai anak Raditya, dan biarkan Keno terlahir sebagai seekor anjing jalanan saja.

Mata Keno berpendar dan baru berhenti di  ranjangnya, Keno melotot saat menyadari ada seorang cowok berbalut hoodie abu-abu dan celana hitam biasa sedang tidur di atas ranjang dengan posisi tengkurap. Keno mendekati cowok itu, perasaannya berubah jadi sesak ketika melihat orang yang sangat Raditya sayangi berada di kamarnya.

"Bangun!"

Seketika itu orang yang diteriakki membuka matanya lebar-lebar. Ren bangun, sempat tersenyum kala Keno menatapnya jutek.

"Keno, lo udah pulang?" tanyanya ramah. "Maaf ya, gue nggak izin soalnya capek banget."

"Ngapain lo di kamar gue?" Keno mengalihkan mata saat mengucapkan itu.

"Gue ... cuma kangen sama lo, sama kamar kita."

Barulah Keno menatap Ren yang masih duduk di bibir ranjang. "Ini kamar gue, dan sejak kapan lo bilang ini kamar lo, hah?!"

"Sejak kecil kan kita satu kamar."

"Itu dulu! Keluar lo!"

"Ken, lo masih benci sama gue? Salah gue apa?"

Mata Ren berubah sayu, sejak kecil bahkan rasanya Keno tidak pernah suka kepadanya. Meski ada hari di mana Keno bersikap manis, tapi terkadang saat Raditya memberi perhatian khususnya pada Ren, Keno akan marah dan menyuruhnya tidur di kamar tamu saja. Padahal mereka ini sepupu, Ren tahu kesalahan apa yang terjadi di masa lalu hingga membuat Keno jadi begini. Tapi apakah maaf itu telah tiada sampai Ren tak pantas mendapatkannya?

Keno tertawa hambar. "Kenapa lo harus ada di hidup gue? Kenapa lo harus tinggal satu rumah sama gue, dan ... lo rebut hak gue?"

"Gue terpaksa Ken, ini semua permintaan dari orang tua gue dan orang tua lo. Dulu lo baik-baik aja, lo nerima kehadiran gue, tapi kenapa semenjak Om Radit pulang dari luar negeri lo berubah?"

Ineffable | Dear Diary | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang