BAB - 3: A Shocking Party

129 16 36
                                    

Lelah memandang komputer dan koreksi proposal serta laporan berbagai divisi selama berjam-jam, Dira memutuskan untuk berjalan mengitari ruang kerja yang luasnya setara lapangan basket.

Setiap melewati sudut-sudutnya, kenangan lama menyeruak. Seperti di bagian rak buku dan piagam penghargaan di sudut kiri dinding, dia ingat beberapa tahun lalu waktu Alline Rahadi – adik tirinya – berkata betapa bangganya dia bisa berdiri di panggung Chic Indonesia Awards dengan penghargaan brand terbaik serta cushion , eye palette warna pastel, dan kuas satu set-nya bisa jadi produk terfavorit versi Chic Beauty Forum. Kemudian di balik meja kerjanya ada jendela dengan kaca besar, menampakkan gedung-gedung tinggi di pusat perkantoran ibukota, Alline dengan senyum bangganya bilang bahwa Sachiya bakal bisa jadi brand kebanggan para perias internasional.

Namun itu semua hanyalah angan semu, andai saja Adiknya tidak menuruti kemauan gila mantan pacarnya tersebut satu tahun lalu pasti apa yang ia impikan jadi kenyataan. Dira menghela napas, cinta memang membutakan segalanya.

Pintu diketuk, dan Dira berseru masuk.

"Permisi, Pak." Ternyata Trian, sekretaris merangkap asisten pribadi sejak Dira kuliah di Austin beberapa tahun lalu. Dia berjalan maju. "Itu ... Nyonya Besar mampir dan sedang perjalanan ke lantai Anda. Apa boleh masuk?"

"Boleh dong, masa Ibu sendiri nggak dibolehin masuk?"

"Baik kalau begitu."

"Trian, tolong jadwal presentasi produk contour palette yang kerjasama dengan brand Mie Gara tunda besok, ya. Terus suruh OB bikinin teh hijau yang biasa." perintah Dira yang bikin Trian dengan cepat membuka aplikasi Google Calendar dan mengutak-atiknya.

Trian berjalan ke arah pintu, dan membukanya. Dira memeluk erat Dahayu, sungguh bikin hati hangat.

"Masa mau ketemu anak sendiri harus izin dulu?" tanya Mamanya jahil sambil menangkup pipi anak tengahnya tersebut.

Dira menggenggam salah satu tangan Dahayu lalu mengajaknya duduk di sofa yang terletak di pojok kiri ruang kerja. "Ya, kan, siapa tahu Dira ada rapat dadakan atau lagi ngawasin uji coba color correction palette Sachiya tahap dua pas Mama datang. Terus sekarang Mama ada apa ke sini?"

"Mama cuma mau mampir doang ke kamu sebentar sebelum ke lokasi syuting. Sekalian lepas rindu."

"Mama, sih, syuting melulu. Jadi jarang ketemu deh."

"Gantian dong kamu yang ke rumah utama."

Office Boy datang membawakan dua cangkir bening teh hijau hangat. Obrolan jadi ditunda karena fokus merasakan kompleksitas rasa teh itu di lidah.

"Mama bangga banget sama kamu, bisa membungkam mulut Papamu soal Sachiya yang hampir kolaps setelah kejadian Adikmu waktu itu. Pertahankan terus, ya, Nak, bila lelah istirahat terus lanjutkan lagi," pesan Dahayu sambil meletakkan cangkir ke meja kopi dengan anggun.

Dira tahu maksud kalimat terakhir itu. Salah satu alasan ia mau meneruskan Sachiya adalah etos kerja, pelanggan setia, serta dukungan penuh Dahayu. Dira ingat pada awal-awal membenarkan Sachiya, ia sampai mengeruk uang saku pribadinya untuk membuat produk sekaligus menggaji karyawan yang masih bertahan di situ. Namun, itu semua sudah berlalu, sekarang Sachiya sudah kembali berjaya dan ekspansinya sudah sampai beberapa negara.

Dahayu melirik Hublot Big Bang Blue Gold Diamond di tangan kiri. "Sudah, ya, Mama pergi dulu. Ada janji sama Tante Mieke. Duluan, ya, Nak." Perempuan paruh baya itu berdiri, menenteng tas Hermes Birkin bag warna biru muda sambil mencium pipi kiri dan kanan anaknya.

"Mama kok betah aja sahabatan sama Mamanya Litha," protes Dira.

"Hanya Tante Mieke yang benar-benar menawarkan pertemanan tulus di saat semua orang lebih memandang harta Mama."

Behind The Schemes of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang