Bab 6. Bertanya-tanya

16 1 0
                                    

Rissa duduk di tepi tempat tidur, memandangi langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Perasaan melankolis telah menggerogoti hatinya selama beberapa waktu terakhir. Semenjak memutuskan bercerita pada Salim tentang niatnya, ini sudah berjalan 2 minggu. Sejauh ini belum ada pergerakan apa-apa dari lelaki itu. Ketika ia mau bertindak pun, Salim terus memintanya untuk menahan diri. Sikap Salim yang terlihat lempeng dan kurang antusias dalam membantunya membuat Rissa semakin tidak sabar.

Mereka akan segera menikah tidak lama lagi. Salim tahu betapa inginnya Rissa menghadirkan ayah di saat ijab kabul mereka. Selama ini Rissa terus memohon dan meminta Salim untuk membantunya menemukan jejak sang ayah. Namun, setiap kali Rissa mengajukan pertanyaan atau mengungkapkan ketidakpuasannya, Salim hanya memintanya untuk bersabar dan menunggu momen yang tepat.

Rissa merasa frustrasi. Dia tahu Salim sebenarnya punya cara jika lelaki itu mau. Namun, melihat sikap santai Salim selama ini membuat Rissa curiga. Jangan-jangan Salim tidak menyetujui niatnya? Apalagi Salim kini mengetahuj jika Adam pernah terlibat kehidupan yang melanggar hukum.

Misalnya saja, ketika Ia berusaha mendekati Denis, salah satu karyawan di kantornya yang diketahui memiliki akses ke pasar gelap. Namun, Salim segera menghentikan niatnya.

"Jangan gegabah!" ucap Salim tiap kali Rissa menagih.

Salim hanya memberikan sedikit informasi dan mengingatkan Rissa untuk berhati-hati. Menurutnya, terlibat dalam hal-hal gelap dan berbahaya bukanlah pilihan yang bijaksana.

Suatu malam, mereka duduk di meja makan yang terletak di tengah apartemen Salim. Rissa menatap wajah Salim dengan tajam, matanya berair dan penuh emosi. Dalam sekejap, kemarahan meledak di dalam dirinya.

"Mas, aku sudah tidak tahan lagi!" pekik Rissa dengan nada yang penuh amarah.

Salim terkejut mendengar penuturan Rissa yang tiba-tiba. Padahal mereka sedang makan. Ia masih berusaha bersikap tenang. Menunggu apa yang ingin gadis itu ungkapkan.

"Mas selalu meminta aku bersabar, tetapi berapa lama aku harus menunggu? Aku tidak mengerti mengapa kamu begitu santai dalam membantu menemukan ayahku!"

Salim menatap Rissa dengan ekspresi campur aduk di wajahnya. Dia terlihat terkejut dan terpana oleh kemarahan Rissa yang begitu tajam. Selama menjalin hubungan dengan gadis itu, Rissa jarang sekali marah.

"Sayang, aku mencintaimu, itu yang harus kau pahami," kata Salim dengan suara yang lembut, mencoba menenangkan hati gadis itu.

"Aku tentu sangat ingin membantumu menemukan ayah, tapi kita harus mengerti bahwa ini bukanlah sesuatu yang mudah. Aku khawatir kamu akan terjerumus ke dalam bahaya yang lebih besar. Makanya kita harus punya taktik."

Rissa menangis sesegukan. Air matanya mengalir deras di pipinya saat ia merasa begitu putus asa dan kesal.

"Mas, apakah kamu tidak mengerti betapa pentingnya hal ini bagiku? Ayahku telah hilang sejak aku masih anak-anak, dan aku ingin tahu kemana dia, mengapa dia meninggalkanku begitu saja! Aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian ini."

Salim mendekati Rissa dan memeluknya erat. Ia merasakan rasa sakit yang mendalam dalam diri Rissa dan berjanji untuk melakukan yang terbaik untuk membantunya. "Maafkan aku, Lea," gumam Salim pelan di telinga Rissa.

"Aku tidak bermaksud membuatmu menderita. Aku akan mencoba lagi, berusaha mencari jalan untuk terhubung dengan pasar gelap dan menemukan petunjuk tentang ayahmu. Tapi, tolong berjanjilah padaku bahwa kamu akan berhati-hati dan tidak terlalu terburu-buru. Mas tidak tahan melihatmu terluka."

Rissa menghentikan tangisannya sejenak, memandang wajah Salim dengan perasaan campur aduk di matanya. Dia merasakan cinta yang tulus dalam pelukan Salim, dan meski rasa frustasinya masih ada, kehadiran Salim memberinya sedikit ketenangan.

Jejak AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang