34. Dua Perempuan

3.6K 256 20
                                    




"Kajo, Eya mau lihat sapi," rengek Eila.

"Kecil," Jovan menyatukan ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah, kemudian digesekkan sambil tersenyum jenaka. "Kan kalau bawa sapi ke sini, nggak mungkin diizinin Dokter. Gimana kalau lu minta Papa pake kostum sapi?" sarannya, yang langsung disetujui Eila lewat anggukkan mantap.

"Okay, Kajo!"

"Cakep!" Jovan mengacungkan ibu jari, senyum jenakanya kian mengembang. Puas sekali. Yeah, itung-itung balas dendam. Salah siapa abangnya yang mirip syaiton itu nyuruh dia cepet-cepet ke rumah sakit, padahal posisinya dia lagi ngantuk berat. Mana nggak boleh bilang Mami pula. "Nanti lu bilang gini ya ..." Berdeham sejenak, cowok delapan belas tahun itu mulai merangkai kalimat absurd. "Papa, Eya mau lihat sapi. Tapi Papa yang jadi sapinya. Kalau Papa nggak mau, Eya ngambek sama Papa."

"Jovan," sela Nada, yang tiba-tiba muncul dari balik pintu ruangan.

Menyita seluruh perhatian.

Jovan nyengir.

Nada mendekat setelah menutup pintu. "Nggak gitu, Van. Kalau mau minta Mas Janu cosplay jadi sapi, nggak harus maksa juga. Nanti Eila jadi kebiasaan memaksakan kehendaknya pada orang lain."

"Sorry, Mbak," ringis Jovan, tak enak hati.

"Eila," Nada mengalihkan fokus. Ia dekati putrinya, lalu duduk di kursi dekat brankar, sementara Jovan ajek berdiri di sisi brankar yang lain. "Sore ini Eila udah boleh pulang. Kalau Eila mau lihat sapi, nanti Mama temenin ya?"

"Sama Kak Anye juga, Ma?" tanya Eila.

"Iya. Nanti Mama izin ke Tante Bina dulu ya?"

"Tapi sama papanya Kak Anye tidak boleh, Mama." Bibir Eila melengkung turun, wajahnya berubah murung. Kadang kalimat yang dilontarkan bocah empat tahun itu terlalu berbelit-belit, tapi Nada paham maksudnya.

Sejak insiden beberapa waktu lalu di kebun binatang, Rian memang melarang Anye dekat dengan Eila. Pun Janu. Tapi baik Nada maupun Bina, sama sekali tak menghiraukan dua bapak-bapak yang gampang emosian itu. Toh, Anye dan Eila berteman karena keduanya sama-sama senang dan cocok. Bahkan jauh sebelum Janu datang, Eila lebih dulu mengenal Anye. Jadi tidak mungkin ia lupakan temannya demi seseorang yang belum tentu menetap di hidupnya.

Sekalipun Janu ayah biologisnya.

"Boleh kok," dalih Nada. "Nanti Mama bilangin ke Tante Bina ya?"

"Yeay!" Eila bersorak gembira, lalu berpaling menatap Jovan lagi. "Kajo sama Gemi ikut tidak?"

"Gue aja, soalnya hari ini Gemi balik ke Jakarta," balas Jovan.

"Mami pulang sendiri, Van?" sela Nada.

Jovan menggeleng. "Enggak, Mbak. Dianter Mas Janu."

"Ooh." Nada manggut-manggut.

"Yeah, Papa mau pelgi?" Eila manyun lagi.

"Dianter ke bandara doang, Cil," ujar Jovan. "Ke Jakarta-nya didampingi bodyguard."

Wajah manyun Eila memudar. "Ooh, yang kayak Mama?"

Repair [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang