[CERITA LENGKAP, YANG BARU MAMPIR DILARANG SIDERS, VOTE ITU KEWAJIBAN]
#brothership #family #bullying #angst
Theo itu benci Rei, dan segala hal yang berhubungan dengannya. Pun dengan wanita munafik yang kini menyandang status sebagai seorang ibu. M...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Tujuannya ke mana, Dek? Kita udah satu jam muter-muter, loh, ini," tegur pria paruh baya yang duduk di bangku kemudi.
"Bentar, Pak. Lanjut jalan aja dulu."
Tepat ketika meninggalkan rumah dan sampai di tepi jalan raya, Theo lantas menghentikan taksi yang lewat secara acak. Tak ada tujuan pasti yang akan ia singgahi, karena Theo juga tidak tahu harus pergi ke mana usai pengusiran itu.
Tidak ada pakaian atau barang lain yang dibawa selain baju yang ia kenakan ketika bermain, dan sebuah waist bag berisi ponsel serta dompet. Untuk uang, Theo hanya memiliki beberapa lembar uang tunai yang tentu saja masih akan berkurang karena biaya taksi.
"Lagi ada masalah, Dek? Maaf bukannya ikut campur urusan orang, tapi wajah Adek bengkak begitu, saya jadi berspekulasi."
Lagi, sang sopir melontarkan pertanyaan yang membuat Theo refleks menyentuh pipinya. Rasa perih akibat tamparan Samuel kembali menjalar, dan fakta bahwa pipi kanannya bengkak memang benar.
"Papa tampar saya," sahutnya tanpa sadar.
"Tapi sepertinya memang saya salah. Saya anak yang bermasalah, dan nggak bisa membuat dia bangga. That's why he hate me. Padahal saya juga bisa seperti dia, tapi Papa nggak mau peduli karena di matanya saya sudah buruk."
Suaranya tercekat di akhir kalimat. Benar ... jika dipikirkan ulang, mungkin kesalahan ada pada dirinya. Di mana sang ayah hanya ingin seorang anak menjadi sosok yang dibanggakan, tetapi justru dikecewakan dengan fakta bahwa anaknya adalah berandalan. Namun, apakah adil jika dia diusir dari rumahnya sendiri, sementara orang-orang asing itu justru menguasainya? Theo rasa tidak.
"Adek udah bicara baik-baik belum sama papanya?" Pria itu berdeham, mencari kalimat yang pas untuk menanggapi ucapan sang penumpang.
Theo hanya membalas dengan gelengan kepala dan menatap ke luar kaca mobil. Perdebatan tadi tentu tidak bisa disebut dengan bicara baik-baik, 'kan? Samuel selalu menguasai percakapan ketika keduanya berhadapan. Hal itu membuat Theo malas untuk mengeluarkan isi hatinya, sebab pada akhirnya yang didapat hanyalah sebuah penghakiman.
"Terkadang, tidak melulu orang tua yang selalu benar, Dek. Ada kalanya kami juga salah. Karena mau sedewasa apa pun kami, menjadi orang tua dari kalian juga merupakan pengalaman pertama kita. Kalau semisal ada keputusan atau hal yang menurut anak itu nggak cocok atau salah, maka si anak berhak untuk berbicara. Ungkapkan pendapat, dan syukur-syukur bisa saling bertukar pikiran."
"Percayalah, Dek. Orang tua itu sebenarnya hanya ingin yang terbaik untuk anak-anaknya. Tapi mungkin karena itu juga, terkadang mereka justru melukai si anak. Dan di sinilah komunikasi dua arah antar anak dan orang tua itu harus dilakukan. Untuk bisa saling menyayangi, kita harus saling memahami dulu, 'kan?" lanjutnya panjang lebar.
Pria itu berdeham kemudian mencuri pandang pada Theo di bangku penumpang, hanya untuk memastikan jika bocah itu baik-baik saja dan nasehat yang ia sampaikan tak menyinggungnya. Namun, hingga beberapa menit kemudian, Theo tak memberi reaksi. Netranya masih tertuju pada arah yang sama, meski kini angan telah jauh melayang.