1.

295 20 8
                                    

Tsukasa membuka matanya, menatap ke langit-langit. Terdengar suara mengerang kecil tepat di sampingnya, maka dia pun menengok menatap sosok yang masih lelap di sisinya dan memakan tempat paling banyak di ranjang. Bahkan sekarang sahabatnya yang masih lelap itu nyaris menendangnya tanpa sadar.

Tsukasa tersenyum, menegakkan kepalanya, bersandar di tangannya sendiri dalam posisi menyamping, mengamati sahabatnya yang agaknya sedang bermimpi. Ah, apa dia berkelahi dalam mimpinya? Bahkan dalam mimpi pun mungkin semua anak laki-laki masih tertarik padanya, mengerumuninya, entah sebagai panutan, pemimpin yang mereka harapkan, atau bahkan sebagai kambing hitam dalam hidup mereka.

Kehidupan Fujio memang seperti itu. Tapi itu tidak sepenuhnya buruk. Dia mendapatkan orang-orang yang perduli padanya. Dia menjaga semua orang dengan kepalan tangannya, dan Tsukasa merasa ini tugasnya untuk menjaga sahabatnya itu dalam hal lain selain perkelahian.

Fujio masih lelap, dan bergerak ke posisi menyamping membelakangi Tsukasa.

Si pirang merebahkan kepalanya sendiri dan melingkarkan satu lengannya ke bahu sahabatnya dari belakangnya, memeluknya dengan satu tangan sambil mendekatkan tubuhnya ke sahabatnya.

Dalam mimpi, Fujio berbisik, pelan, tapi Tsukasa cukup dekat untuk bisa mendengarnya.

"Sa..chi...."

Tsukasa tersentak. Selama sepersekian detik dia terpana. Tapi kemudian dia tersenyum sendiri. Fujio memang seperti itu, dan Sachio adalah salah satu orang yang dikagumi oleh sahabatnya ini.

Si pirang mencium belakang leher sahabatnya.

Dan Fujio terbangun, menengok ke belakang. Sahabatnya ada disini, menginap di rumahnya malam ini. Ibu Fujio tentu senang melihat Tsukasa lagi, apalagi si pirang itu telah tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan sopan. Berbeda dengan Fujio yang bodoh dan kurang ajar ini, begitu kata sang ibu.

Fujio bangun, menegakkan kepalanya dan memutar tubuhnya sehingga sekarang menyamping menghadap sahabatnya.

"Sachi?" Tsukasa menggodanya, melepaskan tawa kecil, "Kau menyebutnya dalam mimpi. Apa yang terjadi dalam mimpimu?"

"Oh." Fujio tak terlalu menggubris itu. Dia agaknya menikmati momennya saat ini bersama sahabatnya, momen dimana dia bisa melihat sahabatnya seketika pertama kali dia membuka matanya. Karena itu dia hanya berbaring, dalam posisi menyamping, sepasang mata hitamnya yang teduh mengawasi sahabatnya, dan senyum kecil tersungging di bibirnya.

Tsukasa agaknya mengerti. Dia sudah terlatih untuk membaca pikiran Fujio selama ini, sejak Fujio kembali ke Oya, karena Tsukasa tak ingin kehilangannya lagi.

Karena itu dia juga hanya berbaring, membalas tatapan sahabatnya dan tersenyum melihat ekspresi bahagia, rileks, dan damai di wajah Fujio. Ekspresi yang sangat jarang terjadi.

Tetapi bertatapan lama-lama dengan mata hitam Fujio yang tajam itu membuat Tsukasa jadi tertawa. "Apa?" Tanyanya, "Kau senang?" Sambil bertanya, dia mengulurkan tangannya untuk membelai pelipis sahabatnya.

Fujio tak menjawab, hanya tetap mengawasi sahabatnya dan membiarkan Tsukasa membelai pipinya, sementara cahaya matahari pagi yang hangat menerobos masuk lewat jendela.

"Fuj--"

Baru saja Tsukasa berbisik, tiba-tiba terdengar teriakan ibu Fujio dari luar kamar, "Fujio! Bangun! Sana pergi ke sekolah!" Dan teriakannya semakin dekat, disusul derap langkah kaki dan kemudian ketukan di pintu kamar.

Buru-buru Tsukasa melompat bangun dan membukakan. Syukurlah semalam dia dan Fujio memang tidak berbuat apa-apa yang tidak pantas, sehingga keduanya masih berpiyama lengkap. Meski  begitu, Tsukasa sangat menikmati momen semalam, dimana dia bisa memiliki Fujio seutuhnya untuk dirinya sendiri tanpa harus berbagi dengan siapa pun. Dia bisa mendekapnya, membiarkan sahabatnya itu meletakkan kepala di pangkuannya, atau bahkan sebaliknya, dia berada dalam pelukan Fujio untuk waktu berjam-jam sambil mereka saling bertukar cerita dan menertawakan beberapa teman mereka.

"Fuji--" Seruan ibu Fujio lantas berhenti melihat Tsukasa, berubah seratus delapan puluh derajat menjadi senyum manis nan hangat, "Eh, Tsukasa, Bibi lupa kau menginap disini. Kau sudah bangun, ya? Kau lapar? Bibi masakkan ramen untuk sarapan, ya?"

"Ah, Bibi, tak usah repot-repot." Tsukasa tersenyum sopan, "Oh ya, Fujio juga sudah bangun. Dia--" Tsukasa menengok ke arah sahabatnya yang dia kira akan duduk manis di tempat tidur dengan mata terbuka lebar. Tapi, sebaliknya, Fujio ternyata sudah berbaring lagi dengan menarik bed cover menutupi sampai ujung kepalanya.

"FUJIO!!" Teriakkan ibunya membahana, sampai Tsukasa bahkan menutup telinganya sendiri.

***

Honeysuckle LemonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang