"Fujio!"
Fujio yang sedang berjalan pulang sendirian, membalikkan tubuhnya mendengar suara Tsukasa memanggilnya dari belakang. Dilihatnya si pirang menghampirinya, maka dia diam saja, berdiri, menunggu sampai sahabatnya itu cukup dekat jaraknya, lalu dia bertanya, "Apa? Kau mau kita terdampar hujan-hujanan lagi di emperan toko seperti waktu itu?"
Baik sikap, ekspresi, maupun suara Fujio terkesan dingin. Dan Tsukasa tahu bahwa sahabatnya pasti kesal karena dia tidak menjawab teleponnya.
"Jangan banyak omong!" Tsukasa membalas dengan cukup tegas, "Aku menemuimu bukan untuk membahas yang semalam."
Fujio mendengus. "Jadi karena itulah kau tidak mau membalas pesanku, tidak mau menjawab teleponku, dan menghindariku?!" Balasnya, "Karena, bagimu, cukup satu kejadian, aku yang bersalah, dan aku tak boleh menjelaskan, dan aku hanya bisa menunggumu datang kembali padaku setelah kau lelah main petak umpet denganku?! "
"Setelah aku menenangkan diriku sendiri..!" Tsukasa meralatnya, "Kau pikir aku ini apa, Fujio? Malaikat pelindungmu? Babysitter-mu? Aku juga punya perasaan dan bisa berbuat salah juga. Aku bisa menekan perasaanku berulang kali, tapi ada kalanya aku tak bisa.. karena aku bukan malaikat, dan aku harus menenangkan diriku sendiri dulu sebelum bicara denganmu lagi!"
Mendengar itu, Fujio menutup matanya sejenak, seakan menghalau sebuah rasa sakit yang ada di dadanya. Lalu dia membuka matanya lagi, menatap sahabatnya. "Kalau memang kau tertekan, tidak usah dilanjutkan la--"
"Berisik!" Putus Tsukasa, maju lebih dekat lagi kepada sahabatnya dan menarik tangan sahabatnya, "Kalau kau memang ada perasaan padaku, ikut aku!"
"Apaan sih?" Fujio tak bergeming dan menyentakkan tangannya sendiri agar lepas dari sahabatnya.
"Buktikan ucapanmu!" Tsukasa menegas, "Yang pernah kau katakan padaku, kau bisa membuktikannya sekarang, dan kau tak perlu lagi menjelaskan apa pun selamanya! Apa kau berani?"
"Apa maksudmu?" Gerutu sahabatnya, tapi agaknya kekesalannya sudah hilang, "Jangan-jangan kau mau bunuh diri?!"
"Aku tidak segila itu." Balas Tsukasa, "Ayolah, kau berani?"
Fujio mengangguk dan mengikutinya. Awalnya dia kaget ketika Tsukasa membawanya ke sebuah hotel kecil, tetapi kemudian dia sadar bahwa cepat atau lambat sesuatu seperti ini akan terjadi, entah siapa duluan di antara mereka yang akan memulainya. Kali ini Tsukasa.
Ternyata si pirang itu bahkan sudah memesankan satu kamar untuk mereka berdua.
"Bilang pada ibumu bahwa kau menginap di rumahku malam ini." Ucap Tsukasa padanya.
Fujio mendengus, mengamati sekeliling ruangan kamar itu dengan sikap santai, lalu melakukan seperti permintaannya, menelepon ibunya di depan Tsukasa dan mengatakan bahwa dia akan menginap di rumah si pirang itu malam ini, lalu meletakkan hapenya di atas meja agar Tsukasa bisa melihat juga jika ada pesan masuk.
"Kau sampai bertindak sejauh ini." Gumam Fujio, "Benar-benar di luar dugaanku."
"Karena aku tak pernah berbohong padamu." Jawab Tsukasa sambil duduk di tepi ranjang, "Apa yang kukatakan padamu, perasaanku padamu, aku sungguh-sungguh."
Fujio duduk di sampingnya.
"Kau boleh pergi sekarang kalau kau takut." Ucap Tsukasa pula, menatap ke lantai, "Jangan kuatir, kalau kau pergi sekarang, kita akan tetap berteman selamanya. Di depan semua orang kita tetap teman, dan aku akan tetap membantumu dalam semua perkelahianmu."
Tetapi, Lanjut Tsukasa dalam hati, Kalau kau pergi sekarang, berarti hubungan pribadi kita takkan pernah ada lagi.
Fujio agaknya mengerti jalan pikiran sahabatnya itu. Dia menghela nafas, membaringkan punggungnya di ranjang dalam posisi masih duduk di tepiannya.
Sejenak keduanya hening.
Lalu Fujio kembali menegakkan punggungnya ke posisi duduk dan bertanya, "Kau pikir aku akan melarikan diri, atau kau pikir apa yang kukatakan padamu semua bohong?"
"Entahlah."
"Jangan menyesal, ya." Sambil berkata begitu, Fujio; sadar bahwa tidak ada cara lain untuk membuktikan perkataannya, mendadak mendekatkan wajahnya ke wajah Tsukasa, sambil satu tangannya bergerak ke belakang kepala si pirang untuk menahan si pirang memundurkan kepala. Bibir mereka bertemu. Tsukasa terkejut, nyaris melonjak, tapi tangan kuat Fujio di belakang kepalanya menahannya untuk mundur.
Maka, si pirang menerima ciuman itu dan membalasnya, satu tangannya membelai punggung sahabatnya.
Setelah cukup lama akhirnya bibir mereka berpisah. Fujio membelai belakang rambut sahabatnya, "Kalau kau memang mau--" Bisiknya, tapi dipotong oleh sahabatnya.
"Tunggu dulu, Fujio." Putus Tsukasa pelan, mendorong sedikit dada sahabatnya. "Kau ini, selalu percaya diri dan arogan, ya? Kau belum mendengar seluruhnya apa yang kuingini. Aku membawamu kesini untuk memakaimu, bukan sebaliknya... Kalau kau mengerti maksudku."
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Honeysuckle Lemon
FanfictionMengandung bxb. Sesudah fanfic-ku yang berjudul "Love is Irony". Fujio x Tsukasa.