3.

183 19 9
                                    

Fujio mengiriminya pesan dan meneleponnya berkali-kali, tapi semua sia-sia. Pemimpin Oya itu bahkan datang ke sekolah lebih pagi dari biasanya dan langsung ke atap tanpa meladeni pertanyaan teman-temannya yang bingung kenapa dia tidak datang terlambat hari ini. Dia mengira Tsukasa akan menunggunya di atap untuk membicarakan masalah semalam.

Tapi tidak ada.

Fujio meneleponnya lagi dengan sia-sia, bahkan sampai dirinya sendiri mulai merasa kesal sendiri. Lalu Yasushi dan Kiyoshi muncul, disusul yang lainnya.

"Oi, Fujio, kenapa ekspresimu begitu?" Goda Yasushi, "Kau keselek sesuatu?"

"Ada yang melihat Tsukasa?" Tanya Fujio pada semuanya. Mereka saling pandang.

"Hm, dia di bawah." Jawab Kiyoshi, "Tadi lewat. Waktu kusapa, dia bilang mau ke atap. Mungkin dia ke toilet dulu."

Fujio diam. Sementara yang lain kembali mengobrol seperti biasa, kemudian Fujio menyadari sesuatu. "Dimana Jamuo?" Tanyanya, tapi dia sendiri pun tahu jawabannya. Jamuo pasti bersama Tsukasa, dan entah kenapa itu membuatnya merasa tambah kesal.

"Eh, iya, dimana Jamuo?" Teman-temannya saling bertanya satu sama lain. Lalu Nakagoshi yang sejak tadi mengamati ekspresi Fujio lantas berdiri. "Biar kucari." Dia menawarkan diri.

"Tak usah." Jawab Fujio, "Nanti juga datang sendiri."

Dia tak ingin semua orang tahu bahwa dia dan Tsukasa sedang bertengkar lagi. Karena itu, dia berusaha menutupi itu dan bersikap seceria mungkin seperti biasa, tetapi seringkali dia mengecek hapenya untuk melihat apakah Tsukasa membalas pesannya. Ternyata tidak dibaca oleh si pirang sama sekali, dan entah kenapa itu membuat dadanya terasa seperti tertekan.

***

"Kak Tsukasa...."

Tsukasa menengok dan melihat orang yang sejak tadi membuntutinya hingga ke sebuah taman yang sedang sepi di jam segini di area belakang sekolah. Di tempat ini juga dulu Tsukasa pernah duduk untuk merenungkan semuanya, sebelum Fujio kembali ke kota ini, dan disini jugalah Jamuo pernah meyakinkannya untuk menjadi pemimpin Oya, sebelum ada Fujio.

"Oh, Jamuo." Sapanya, "Ada apa? Kau tidak ke atap?"

"Kau sendiri?" Balas pemuda yang lebih muda setahun darinya itu.

"Aku sedang ada urusan." Tsukasa berdalih, tapi agaknya memang sulit menipu Jamuo.

"Kak Tsukasa, aku tahu," Ucap sang adik, "Kau menghindari Kak Fujio."

Tsukasa pura-pura tertawa, "Apa? Tidak. Siapa sih yang bisa menghindari dia--"

"Kalian memiliki perasaan terhadap satu sama lain." Putus Jamuo dan Tsukasa terdiam. Jamuo pun meneruskan, "Kau menyukai kak Fujio sejak dulu, meskipun kau baru sadar akhir-akhir ini."

Mendengar itu, Tsukasa tahu tak ada gunanya menutupi semuanya dari Jamuo. Dia pun menghela nafas dan duduk di rerumputan, dengan Jamuo di sampingnya. Sepasang mata si pirang menatap ke langit. "Aku ini.. aku bahkan tidak tahu apa yang kupikirkan." Gumamnya terus-terang sebelum menatap pada adik kelasnya lagi, "Apakah aku sangat terbaca, Jamuo?" Tanyanya.

"Tidak, sebenarnya tidak." Jawab Jamuo sambil menggeleng, membuat sahabatnya yang berambut pirang dan lebih tua darinya merasa lega. "Aku bisa menebak karena aku kan sangat dekat dengan kak Tsukasa, dan aku suka mengamati ekspresi kak Fujio."

Tsukasa diam saja, maka Jamuo meneruskan lagi, "Aku tahu kak Tsukasa suatu hari nanti pasti akan menyampaikan perasaanmu pada kak Fujio karena kau akan merasa tidak adil jika dia tidak tahu perasaanmu, tapi aku tahu kau takkan berusaha memilikinya untuk dirimu sendiri."

Tsukasa merenungkan perasaannya sendiri. Sejak awal dia memang tidak pernah ada keinginan untuk menjalin hubungan lebih dari seorang sahabat kepada Fujio. Apalagi untuk mengekang atau memiliki Fujio untuk dirinya sendiri, itu sangat mustahil. Fujio adalah sosok yang semua orang ingin dekat dan dijadikan pemimpin. Figur seperti itu tidak bisa dikekang, atau sama saja dengan seakan membuatnya menjadi layu.

Tapi kenapa semalam dia marah sampai seperti ini?

"Anu.. kak Tsukasa," Jamuo meneruskan, "Kau dan kak Fujio mungkin tidak akan bisa bertahan lama. Bukannya aku jahat, tapi menurutku kalau kau memaksakan hubungan kekasih padanya, kau yang akan terpaksa terus menahan perasaanmu. Dia orangnya kurang peka dan tidak banyak pusing, dia bukan tipe yang bisa berpikir yang sulit-sulit. Dia takkan sadar jika dia melukaimu, dan itu akan terus terjadi."

Itu benar. Pikir si pirang. Entah kenapa dia merasa batinnya teriris. Jamuo benar. Hal seperti ini akan terus terjadi. Semalam Seiji, bisa jadi besok Sachio, dan bahkan sekalipun orang-orang hanya menganggap Fujio sebagai teman dan bersamanya sebagai teman, tapi bagaimana kalau Tsukasa merasa terluka lagi?

"Tapi," Lanjut Jamuo, "Dia takkan bisa tanpamu. Dia terbiasa dengan adanya kau di sisinya."

"Jadi, menurutmu aku harus tetap ada di sisinya dan mengalah?" Tanya Tsukasa pelan.

"Itu terserah padamu." Jawab Jamuo, "Kurasa kau yang paling menentukan dalam hubungan kalian, karena dia hanya akan ikut apa katamu. Dia bukan tipe pemikir. Dia pemimpin, tapi dia bodoh dalam hal ini. Kalau kau yang mau mengakhiri, kurasa dia takkan mencegahmu."

Tsukasa tertawa kecil mendengar kalimat terakhir. Dia merasa matanya panas, maka dia memalingkan muka dan menggosok matanya sekilas, lalu bertanya lagi secara iseng saja pada sahabatnya ini, "Menurutmu.. apakah dia menyukaiku?"

"Suka. Pasti." Jawab Jamuo yakin. "Bahkan lebih dari itu. Dia butuh. Dia membutuhkanmu. Dia terbiasa denganmu di sisinya. Tapi dia takkan mau melihatmu terluka terus jika memaksakan hubungan dengannya, jadi kurasa.. kalau kau mau mengakhiri, dia takkan mencegah."

Tsukasa tak menjawab, dan Jamuo mengawasi ekspresinya.

"Kau belum sanggup kehilangan kedekatan kalian." Gumam Jamuo menebak, "Tapi, kak Tsukasa, ini tak adil bagimu." Lalu, mendadak, selintas ide timbul di benak Jamuo. "Kecuali......" 

"Kecuali? Apa?" Tanya Tsukasa.

"Kau membuatnya semakin yakin dia takkan bisa kehilanganmu. Buat dia memberikanmu sesuatu yang tak pernah diberikannya pada orang lain, sebagai bukti."

***

Honeysuckle LemonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang