2.

193 20 5
                                    

"Lho, Tsukasa, kamu menginap lagi?" Sore harinya ketika Fujio pulang dan Tsukasa juga ikut, tentu saja ibu Fujio jadi bingung.

"Eh...." Muka Tsukasa jadi memerah dan dia kelihatan salah tingkah, "Anu... aku....."

"Bibi tidak keberatan, kok." Ibu Fujio memutus dengan ramah, mengira dirinya telah menakuti anak itu, "Senang kalau kau ada disini. Aku selalu berharap punya anak setampan dirimu--"

"Ibu!" Putus Fujio memprotes, "Anakmu sendiri lebih tampan!"

Sebagai balasannya, dengan galak ibu Fujio memukul kepala putra kandungnya sendiri. "Tampan dilihat dari sedotan!" Omelnya galak, "Kenapa kau kotor sekali?? Sana cepat mandi!"

"Aduh! Aku tadi jatuh terguling di jalanan, jelas jadi kotor!" Balas Fujio sambil pergi ke kamar mandi.

"Tsukasa, Bibi akan siapkan makan malam dulu, ya." Ucap ibu Fujio ramah pada Tsukasa setelah Fujio di kamar mandi, "Maaf kamar mandinya cuma satu, jadi kamu harus gantian dengan Fujio."

"Tidak apa-apa, Bibi." Jawab Tsukasa, "Di rumahku juga sama, kok--"

Lalu tanpa basa-basi sang ibu lantas berteriak ke arah kamar mandi, "Mandinya sudah belum, Fujio?? Tsukasa mau mandi juga!"

"Astaga! Aku baru saja masuk!" Teriak Fujio dari dalam, "Belum juga buka celana."

Tsukasa tertawa kecil, sementara ibu Fujio mengomel dan pergi ke dapur untuk memasak makan malam.

Terdengar suara pintu diketuk. Ibu Fujio berlari membukakan, sementara Tsukasa duduk di salah satu kursi di ruang tamu.

"Oh, Seiji." Ucap ibu Fujio menyambut tamunya, "Senang kau datang. Bibi selalu bermimpi punya putra sepertimu, tampan, baik hati, sopan, dan terdidik. Silakan masuk."

Seiji membungkuk dan melangkah masuk, di tangannya ada bungkusan. Baru dia mau memberikannya pada ibu Fujio, dia melihat Tsukasa dan terdiam sejenak.

Si pirang memberinya senyum. "Seiji, apa kabar?" Sapanya.

"Tsukasa, maaf, aku tidak tahu kau ada disini." Seiji membungkuk lagi.

"Oh, tidak apa-apa." Balas Tsukasa.

"Oh ya, Bibi...." Seiji lalu memberikan bungkusan di tangannya.

"Aduh, tak usah repot-repot." Ucap ibu Fujio dengan senang hati menerimanya, "Sudah ganteng, pintar, sopan, baik hati pula."

"Ah, Bibi bisa saja." Seiji membungkuk sopan.

"Fujio sedang mandi. Silakan tunggu dulu." Ucap ibu Fujio pula, "Bibi sedang menyiapkan makan malam untuk kalian berdua. Tsukasa, Seiji, anggap saja rumah sendiri, ya." Lalu wanita paruh baya itu kembali ke dapur.

Setelah wanita itu pergi, baik Tsukasa maupun Seiji sama-sama terdiam sejenak.

"Tsukasa--"

"Seiji--"

Keduanya membuka mulut bersamaan, lalu sama-sama diam sejenak. Tsukasa tertawa kecil. "Kau dulu." Ucapnya sopan.

"Tidak. Kau dulu." Balas Seiji.

"Aku lupa mau bilang apa." Jawab Tsukasa.

"Sama." Sahut Seiji.

Keduanya hening lagi, tapi untunglah tidak terlalu lama kemudian Fujio muncul dengan rambut basah dan sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Seiji, ada apa?" Tanyanya.

"Aku teringat sesuatu semalam." Sahut yang ditanya, "Kurasa memoriku sudah mulai kembali."

Mendengar itu, Fujio langsung melempar handuknya ke belakang, dan menghambur ke depan Seiji. Kedua tangannya diletakkan di bahu kanan-kiri pemuda itu. "Sungguh? Bagus sekali!"

Seiji mengangguk, lalu meneruskan, "Kurasa aku masih butuh bantuanmu untuk mengingat. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu."

"Baiklah. Kau bisa bertanya padaku sepanjang malam." Fujio menyanggupi tanpa berpikir dulu, dan Tsukasa tersentak mendengar itu. Selama sepersekian detik, si pirang hanya duduk terpana menatap sahabatnya yang agaknya tidak sadar.

Bukan berarti Tsukasa cemburu. Dirinya sadar siapa Fujio. Pemuda berambut hitam yang periang itu disukai oleh siapa saja, dan memang watak Fujio yang perduli kepada siapa saja, dan justru itu yang disukai Tsukasa dari Fujio. Seiji sudah seperti teman dekat Fujio yang lain, atau bahkan mungkin dianggap saudara oleh Fujio, karena itulah Tsukasa merasa berkewajiban untuk membantu Fujio menjaganya juga. Sebaliknya dari cemburu kepada Seiji, selama ini Tsukasa justru merasa berkewajiban menjaganya juga. Dan dia juga tidak keberatan Fujio dekat dengan Seiji atau siapa pun yang lain, lagipula dia sendiri sadar kalau mengekang Fujio sama saja dengan menyiksa sahabatnya itu.

Fujio bukan orang yang bisa dikekang, dan Tsukasa tak perduli. Dia juga bukan orang yang suka mengekang dan bukan pencemburu.

Bahkan seandainya Fujio menginap di rumah seorang gadis pun Tsukasa tak perduli.

Tapi.....

Bukankah malam ini mereka seharusnya melewatkan waktu bersama lagi? Masih ada beberapa hal yang ingin diceritakan si pirang pada sahabatnya yang memang paling enak diajak mengobrol itu. Semua orang suka bercerita padanya, semua orang suka mendengarkannya. Tapi bukankah Fujio sejak kemarin itu sudah setuju bahwa mereka berdua akan melewatkan waktu berdua selama tiga malam?

Tiga malam, karena ada banyak hal yang ingin mereka bicarakan.

Tsukasa merasa ada perasaan aneh mengalirinya. Dadanya seperti tertekan. Dia berusaha untuk tenang, untuk tetap kalem dan tersenyum, tapi perasaan itu menguasainya, dan dia berdiri. Sambil berusaha tetap tenang, dia berkata, "Anu.. kalau begitu, sebaiknya aku pulang dulu."

Dan Fujio benar-benar terkejut mendengarnya, dengan cepat membalikkan tubuh menatap sahabatnya itu, ekspresinya seakan menyadari kesalahannya.

Kebetulan saat itu ibu Fujio kembali dari dapur. "Nah, semuanya, mari makan dulu." Ucapnya ramah.

"Maaf, aku harus pulang sekarang." Tsukasa membungkuk sopan pada wanita itu.

"Lho, Tsukasa kenapa buru-buru?" Balas ibu Fujio, "Katanya mau me--"

"Aku lupa, ibuku ingin ditemani malam ini." Putus si pirang, kemudian melanjutkan dengan nada sekalem mungkin, "Seiji yang akan menemani Fujio malam ini."

"Tsukasa!" Tegur Fujio.

Tsukasa pura-pura tidak mendengarnya dan membungkuk pada Seiji lalu berpamitan. Tetapi Fujio memanggilnya. "Tsukasa, tunggu--"

"Fujio, sampai besok di sekolah!" Putus Tsukasa tegas sebelum berlari meninggalkan tempat itu secepat dan setenang mungkin. Dia mendapatkan beberapa telepon dari Fujio di hapenya, maka dia mematikan hapenya sampai besok.

***

Honeysuckle LemonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang