"Kerja bagus hari ini, Kageyama."
Fisioterapis dengan tanda pengenal bertuliskan 'Ennoshita Chikara', tersenyum lembut dan menepuk bahu Tobio, pria yang masih duduk termenung dengan kaki menggantung di atas tempat tidur.
"Kau sudah bisa menggerakkan kakimu ke atas dengan baik dan tidak memerlukan tongkat lagi," lanjutnya. "Jadi, kita bisa latihan untuk menekuk lututmu lagi minggu depan."
Tobio menjawab pendek, "Iya," sedang matanya masih terpaku pada knee brace yang membebat lutut kirinya.
Chikara menghela nafas pelan, kemudian berkata,"Aku tahu kau pasti bosan mendengarnya, tapi, bersabarlah. Selalu minum vitamin dan obatmu, banyak-banyaklah beristirahat sepanjang masa rehatmu."
"Terima kasih untuk hari ini, Ennoshita-san."
"Aku sudah memesankan taksi untukmu. Jangan berjalan terlalu jauh dulu, apalagi naik turun-tangga. Kalau kau sudah tidak kesakitan lagi, barulah kau boleh berjalan ke halte. Kalau sudah lebih baik lagi, baru kau boleh pergi ke stasiun dan begitu seterusnya."
Lagi-lagi Tobio tak berselera mengatakan apapun selain berterima kasih kepada fisioterapis murah hati yang bertanggungjawab pada pemulihannya sekaligus seniornya saat jaman sekolah dulu. Setelah menebus beberapa obat di farmasi, Tobio melangkah dengan perlahan keluar dari lobby sembari menyumpalkan kedua tangannya pada saku jaketnya.
Langit mendung dan hujan gerimis menjelang akhir musim semi mewarnai hari suramnya. Seolah mengejeknya yang masih bepergian di saat teman-teman satu timnya berlatih dengan sangat keras untuk musim panas nanti.
Summer Olympic Games. Mimpinya sejak SMA yang telah di depan mata dan harus runtuh seketika hanya karena ia terlalu 'memaksakan diri'.
Setidaknya itu yang dikatakan beberapa orang yang melihatnya begitu kepayahan, tidak ingin membiarkan bola voli tebasan lawan mendarat di arenanya dan justru mengorbankan lututnya menghujam keras lantai gym.
Alih-alih kesakitan saat itu, Tobio merasa malu pada dirinya sendiri. Teman-teman terdekatnya mengatakan bahwa hal-hal seperti itu tak dapat dihindari, tetapi Tobio yang merasa memiliki pengalaman serta talenta yang luar biasa, sama sekali tak merasa itu hal yang wajar.
Dan sekarang Tobio harus merasakan ketakutan terbesar seorang atlet yang sama sekali tak pernah ia bayangkan.
Mengalami cedera.
Seolah belum cukup, posisinya sebagai setter utama dalam tim voli nasional Jepang ini digantikan oleh salah satu seniornya yang ia akui memang jauh lebih hebat darinya. Tobio tak memiliki kesempatan lagi. Permainan tahun berikutnya seperti lenyap begitu saja dan mengucapkan selamat tinggal bahkan sebelum mereka bertemu.
Tim ini akan lebih baik tanpa raja lapangan sepertimu.
Kenangan menyakitkan 10 tahun silam, saat ia masih begitu kecil dan tak tahu caranya mengendalikan emosi hingga menghancurkan timnya sendiri, menghantui Tobio belakangan ini. Ia tak ingin mengingatnya. Ia sudah sejauh ini berevolusi dan rasanya tidak adil kalau ia tiba-tiba didepak untuk kembali ke masa kelam tersebut.
Tobio menghembuskan nafas panjang, ingin sekali berteriak di tengah hujan kalau saja ia saat ini tidak sedang berada di tengah keramaian. Taksi dan mobil datang silih berganti di depannya, penumpangpun bergantian masuk dan keluar dengan begitu cepat.
Tobiopun ikut serta, dengan wajah menunduk dalam, melangkah ke arah taksi hitam berplat nomor sesuai yang Chikara pesankan dan sekilas ia bisa melihat dua orang pria bertubuh menjulang tinggi keluar dari pintu penumpang.
"Ah, kau tidak membawa tongkatmu, ya?"
Pria bertopi biru masih melongok ke dalam taksi tempat mereka duduk tadi, Tobio menunggu dengan tidak sabar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer Rain
FanfictionKei mengulurkan tangan, meminta strawberry shortcake yang sangat digemarinya. Bakageyama justru menggenggam tangannya. warn: BXB, contain manga spoiler & disability theme, misunderstandings and so on, MAJOR CHARACTER DEATH