Kacau.
Untuk beberapa jam, Tobio seperti tak memiliki kekuatan sama sekali dan hanya bisa terduduk di ruang tunggu selagi Akiteru mondar-mandir ke sana kemari mengurus dokumen maupun berkonsultasi dengan dokter yang keluar dari ruang ICU. Kewarasannya dipaksa untuk bertahan bersama dengan Kei yang ada di dalam sana dengan tubuh yang dipasangi berbagai alat pendukung hidupnya yang tidak Tobio mengerti.
Tobio datang dan memanggil ambulans dengan tepat waktu. Ia menyaksikan sendiri bagaimana para petugas kesehatan memperjuangkan segala yang mereka bisa untuk mempertahankan jantung Kei agar tetap berdetak meskipun sangat lemah. Perjalanan dari kediaman Tsukishima menuju rumah sakit sangatlah lama sampai Tobio rasanya ingin mengamuk, kalap saat Kei kehilangan kesadarannya.
"Tobio-kun!"
Akiteru kembali dari urusannya, membuat Tobio untuk pertama kalinya mengangkat wajahnya dan berdiri, sedikit meringis saat merasakan lututnya yang nyeri akibat tertekuk terlalu lama. Ekspresi Akiteru nampak sama tegangnya, tapi ia masih bisa tersenyum dan berbicara dengan hangat, tidak seperti Tobio yang tergagap dan tak bisa menjelaskan situasi Kei dengan baik saat meneleponnya.
"Kei masih belum sadarkan diri, jadi untuk sementara ia masih harus dirawat di ruang ICU terlebih dulu." Akiteru tersenyum menenangkan. "Terima kasih, Tobio-kun. Aku benar-benar tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika tak ada kamu."
Tobio menghembuskan nafas berat, rasa ngeri masih hinggap di sekujur tubuhnya. Mungkin kalau ia datang setidaknya beberapa menit lebih awal, Kei takkan kesakitan terlalu lama seperti tadi. Ia pernah beberapa kali melihat wajah Kei yang kesakitan akibat terluka baik saat pertandingan maupun latihan, tapi yang barusan, Tobio rasa akan menjadi mimpi buruk baginya lebih dari cederanya sendiri.
Pemandangan akan Kei yang meremat dada kirinya, wajah sepucat mayat, menangis kesakitan serta mulutnya yang megap-megap berusaha untuk meraup oksigen, Tobio tidak tahu apakah ia bisa menghapuskan memori tersebut dari benaknya atau tidak.
Seolah tahu apa yang sedang ia renungkan, ekspresi Akiteru melembut, ia menepuk pundak Tobio beberapa kali.
"Dia akan baik-baik saja." Ia berucap, entah menenangkan Tobio atau meyakinkan diri sendiri. "Maaf sudah meletakkanmu dalam situasi seperti ini. Biar kupanggilkan taksi untukmu, kau juga butuh istirahat terutama untuk pemulihan kakimu."
"Tsukishima-san."
"Ah, panggil saja Akiteru!"
"Baik... Akiteru-san." Tobio menelan ludah susah payah, lalu menatap Akiteru. "Boleh... Jelaskan padaku apa yang terjadi pada Tsuki- Maksudku, Kei?"
Sebenarnya Tobio tidak butuh penjelasan lebih. Toh, gejalanya juga sama persis dengan yang dialami kakeknya. Hanya saja, diabetes yang dialami oleh Kei adalah penyakit turunan, bukanlah dari gaya hidupnya. Orang tua mereka sudah lama bercerai dan empat tahun lalu, ibu mereka meninggal karena penyakit yang sama, sehingga hanya tinggal dua bersaudara ini saja.
Beruntungnya Akiteru hanya mengalami gejala ringannya dan tidak membutuhkan penanganan serius, tetapi kondisi Kei itu sangat terlambat untuk ditangani dan makin menjadi kronis. Perlahan-lahan, penglihatan, saraf, ginjal, bahkan sekarang jantungnya, mengalami kegagalan. Kei menahannya terlalu lama demi memperjuangkan mimpinya bermain voli sekalipun itu hanya sampai tingkat SMA.
"Kei sangat selektif dalam memilih orang yang diajaknya berbagi 'rahasia' ini." Akiteru terkekeh hambar. "Ia tahu Tadashi pasti menggila, jadi ia hanya memberitahu beberapa saja yang menurutnya cukup tenang dan tahu harus bereaksi bagaimana. Itupun karena kebetulan melihat Kei kambuh ataupun bertemu dengannya di Sendai. Malah baru belakangan ini Tadashi mengetahuinya, tidak seperti yang Kei bayangkan karena ia tak banyak bertanya, mungkin ia sudah cukup tenang menghadapi situasi tak terduga seperti ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer Rain
FanfictionKei mengulurkan tangan, meminta strawberry shortcake yang sangat digemarinya. Bakageyama justru menggenggam tangannya. warn: BXB, contain manga spoiler & disability theme, misunderstandings and so on, MAJOR CHARACTER DEATH