CHAPTER 02

834 66 5
                                    

Fabian mengernyit ketika melihat mobil berwarna hitam milik kakaknya terparkir di halaman rumah, tumben kakaknya itu datang ke rumah karena biasanya juga selalu sibuk dengan pekerjaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Fabian mengernyit ketika melihat mobil berwarna hitam milik kakaknya terparkir di halaman rumah, tumben kakaknya itu datang ke rumah karena biasanya juga selalu sibuk dengan pekerjaan.

     “Kamu udah pulang?” tanya Fattar Abiandra Manggala yang merupakan kakak kandung Fabian, usia mereka terpaut 7 tahun. Fattar merupakan anak pertama dari keluarga Manggala, daripada mengurusi bisnis keluarga, Fattar lebih memilih menjadi seorang aktris. Sejak kecil Fattar bercita-cita untuk menjadi aktris sampai akhirnya impian itu tercapai, Fattar menjadi aktris tampan terkenal sedunia.

     “Orangnya udah ada di sini berarti udah pulang, dong,” balas Fabian seraya duduk di sofa dengan helaan napas lelah.

     “Cuma basa-basi,” ujar Fattar. “Ngomong-ngomong, Kakak mau bicara sesuatu sama kamu.”

     Mendengar itu Fabian hanya diam, ia menunggu perkataan Fattar yang katanya ingin mengatakan sesuatu.

     “Kamu akan Kakak jodohkan.”

     Mengernyit, Fabian menatap Fattar bingung. “Jodohin? Kakak jangan bercanda, deh, ngapain juga main jodoh-jodohan? Kakak, tuh, yang harusnya cari jodoh.”

     Fattar menghela napas. “Kakak ‘kan masih harus kerja, kontrak sama agensi belum selesai.”

     “Tapi ada banyak di luaran sana aktor yang udah menikah, bahkan idol grup juga ada beberapa yang menikah bahkan punya anak,” timpal Fabian tak mau kalah bermaksud untuk mengalihkan pembicaraan.

     “Heh! Kita lagi bahas soal kamu, jangan alihin pembicaraan.” Fattar mengerutkan alisnya tak suka saat tahu rencana terselubung adiknya. “Kakak jodohkan kamu sama salah satu rekan bisnis ayah, anaknya seumuran sama kamu, satu sekolah lagi. Kamu juga pasti kenal sama dia.”

     Fabian memalingkan wajahnya. “Enggak, aku enggak kenal sama siapa pun kecuali temen-temen aku.”

     Fattar menatap adiknya dengan dengkusan. “Sama tiga curut itu? Satunya waras yang duanya kelainan, kamu itu harus banyak bergaul sama orang lain biar bisa membangun relasi, apalagi nanti kalau udah lulus kuliah, kamu yang akan memimpin perusahaan keluarga.”

     “Ada Om Wisnu yang pimpin perusahaan itu, aku enggak mau belajar bisnis.”

     “Om Wisnu enggak selamanya muda, dia pasti menua dan kamu yang gantiin dia nanti.”

     Tak membalas apa pun, Fabian benar-benar sangat muak jika harus membahas perihal soal perusahaan. Ia tak tertarik sama sekali dengan bisnis, Fabian bercita-cita untuk menjadi atlet basket profesional. Akan tetapi, keinginannya itu sangat ditentang oleh Fattar sebab takut terjadi sesuatu kepada Fabian ditambah lagi dengan little space syndrom yang Fabian derita.

     “Kita bahas soal perusahaan nanti aja lain waktu, sekarang kita balik bahas soal perjodohan kamu,” ucap Fattar. “Kakak udah setuju untuk menjodohkan kamu sama anaknya Pak Pradipta, dalam waktu dekat ini kalau jadwal Kakak kosong, kita akan adakan makan malam bersama untuk membahas lebih jauh. Kamu jangan menolak, semua ini Kakak lakukan demi kamu.”

     “Kak, aku masih sekolah. Emangnya pantes anak sekolah dijodohin terus nikah? Apa enggak bisa tunggu nanti aku lulus aja?” kata Fabian bermaksud untuk protes.

     “Kamu tinggal dua bulan lagi lulus sekolah, sekarang kalian hanya perlu bertunangan untuk soal menikah nanti dibicarakan lagi setelah kalian berdua lulus,” balas Fattar dengan tenang seakan tahu kegelisahan Fabian. “Kamu enggak usah khawatir, selama dua bulan ini kalian harus saling mengenal satu sama lain, kalau sudah lulus nanti baru bicarakan tanggal pernikahannya.”

     “Terserah Kakak, aku enggak peduli!” Setelah mengatakan hal demikian, Fabian bangkit, meninggalkan Fattar yang masih duduk di ruang tamu.

     “Kolot banget, sih, pemikiran kakak gue!” gerutunya setelah sampai di dalam kamar. “Gila aja anak SMA mau dijodohin, dia kira ini zaman Siti Nurbayan apa?”

     Pemuda itu merebahkan tubuhnya di atas ranjang dengan helaan napas, otaknya memikirkan satu objek ciptaan Tuhan yang entah mengapa tiba-tiba saja terus terlintas di pikirannya. Sepertinya ia sudah gila terus memikirkan hal itu, padahal sebelumnya Fabian tak pernah seperti ini. Gara-gara hal itu juga Fabian merasa hidupnya tak tenang, seperti jantungnya yang tiba-tiba berdebar ketika mengingat hal itu.

     “Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Zeline cantik juga.” Fabian mengulum bibirnya menahan senyum. “Kalau lagi kesel, dia juga lucu."

     Fabian tersadar, ia bangkit seraya menggelengkan kepalanya. “Enggak, apa-apaan gue ini? Gue kayaknya gila, ini pasti gara-gara kelamaan bergaul sama si Xavi. Bener, pasti gara-gara itu.”

     “Tapi, Zeline cantik banget gila!” teriak Fabian tanpa sadar sembari menggigit bantal yang ia peluk dengan gemas.

     “FABIAN, KENAPA KAMU TERIAK?” Suara Fattar yang menggelegar menyapa indera pendengarannya.

     Tak membalas, Fabian sibuk menenangkan dirinya saat ini.

•••


     Kelas 12 IPA 2 dan kelas 12 IPA 3 mendapatkan pelajaran olahraga di jam yang sama dan hal itu membuat kedua kelas berada di lapangan yang sama. Zeline benar-benar merasa tak nyaman apalagi dengan tatapan seorang pemuda aneh bin ajaib yang pernah Zeline temui waktu di minimarket, lebih tepatnya pemuda korban kekesalannya.

     “Kenapa, sih?” tanya Rea. “Gue lihat dari tadi mata lo bombastic side eye mulu.”

     “Itu cowok yang ada di samping cowok lo lihatin gue mulu, risih tahu!” balas Zeline kesal. “Gue enggak suka dia lihatin gue terus!”

     Rea melihat laki-laki yang Zeline maksud dan ternyata itu adalah Fabian, teman Jonathan yang waras tapi kekurangan kosa kata kalau ngomong. “Oh, itu si Fabian. Anaknya jarang ngomong tapi dia kayaknya baik.”

     Zeline memutar bola matanya malas. “Gue enggak penasaran namanya siapa, perilakunya kayak apa, gue cuma risih sama dia karena lihatin gue terus. Gue merasa lagi dilecehkan sama tatapan matanya!”

     “Perhatian semuanya untuk kelas dua belas IPA tiga! Pelajaran untuk hari ini kalian cukup lari mengitari lapangan, laki-laki sebanyak lima kali putaran dan perempuan tiga kali putaran!” ucap guru olahraga dengan lantang.

     Tiba-tiba salah satu laki-laki bersuara, “Kenapa enggak sama, Pak? Enggak adil dong!”

     Temannya yang lain mengangguk setuju. “Iya, Pak! Samain dong!”

     “Banyak alasan kalian berdua, mau ditambahin jadi sepuluh putaran?”

     Sontak keduanya menggeleng.

     “Udah turutin aja, jangan banyak protes! Waktu lari sepuluh menit, mulai!” Guru olahraga meniup peluit dengan keras kontak hal itu membuat anak-anak kelas 12 IPA 3 langsung berhamburan untuk memulai lari memutari lapangan dan Zeline dengan ogah-ogahan mulai melangkahkan kakinya untuk lari.

     Sementara di sisi lain kelas 12 IPA 2, mereka sedang duduk di pinggir lapangan setelah menyelesaikan latihan bola basket. Sama halnya dengan ketiga sekawan ini, Xavi, Fabian, dan Jonathan. Lalu, Shakeel ke mana? Ia ‘kan anak kelas 12 IPA 1.

     “Cewek kelas sebelah ternyata cantik-cantik juga, enggak kayak cewek di kelas kita semuanya macem nenek lampir,” kata Xavi sehabis minum.

     “Menurut gue cewek yang pake jepit bentuk bunga matahari, sih, yang paling cantik,” ujar Jonathan sembari senyum-senyum sendiri.

     Mendengar itu Xavi mendelik. “Iyalah lo bilang gitu, cewek yang lo maksud si Rea ‘kan? Eh, tapi kalau dilihat-lihat makin dilihat si Zeline cantik juga manis lagi. Emang, sih, kalau ketemu kagak pernah senyum, diem-diem bae aja itu anak.”

     Kemudian Xavi menghela nafas kecewa. “Kalau aja Zeline jadi pacar gue, dia pasti bahagia terus sama gue."

     Dengan tidak kenal dosa, Jonathan menggeplak belakang kepala Xavi. “Bukannya bahagia yang ada tekanan batin, Zeline seratus persen tertekan ngelihat muka lo yang jauh dari kata standar ketampanan.”

     “Wah! Lo mending periksa ke dokter mata sana, ada yang salah sama mata lo. Ganteng gini dibilang jauh dari standar ketampanan, emang ngajak ribut lo, ya!” Xavi berdiri mengambil ancang-ancang untuk meninju Jonathan namun sosok yang ingin ditinju malah duduk santai tak peduli.

     “Berisik lo berdua!” tegur Fabian kemudian ia pergi begitu saja ke tengah lapangan membuat kedua sohibnya menatap heran.

     “Kenapa, tuh, anak?” tanya Jonathan bingung yang dibalas gedikan bahu dari Xavi.

     Sementara itu orang yang sedang digosipkan diam-diam lari mengikuti dari belakang Zeline dan hal itu membuat Zeline tak nyaman, ia berhenti dan menatap Fabian heran.

    “Lo ngapain lari di belakang gue? Sengaja, ya?” tanyanya kesal.

     Bukannya menjawab, Fabian malah membalikkan tubuh Zeline agar membelakanginya. Lalu, secara perlahan ia membungkuk, membisikkan sesuatu tepat di daun telinga milik Zeline. “Lo bocor.”

     “Apa?” tanya Zeline untuk memastikan.

     Mendengar itu Fabian tersenyum tipis. “Lo bocor, makanya gue lari di belakang lo biar yang lain enggak lihat.”

     Zeline sontak panik, ia tak tahu harus melakukan apa. “Gue harus gimana? Masa diem terus di sini?”

     “Gue anter ke toilet, mau?” tawar Fabian.

     Tanpa berpikir panjang Zeline mengangguk, Fabian pun mengikuti langkah Zeline dari belakang supaya tak ada yang melihat noda merah di belakang celana olahraga milik Zeline. Tiba-tiba di tengah jalan langkah Zeline terhenti.

     “Kenapa?” tanya Fabian, ia bingung dengan Zeline yang tiba-tiba berhenti melangkah.

     “Gue enggak bawa pembalut,” bisik Zeline.

     Fabian terkekeh pelan. “Nanti gue beliin, sekarang lo ke toilet dulu.”

•••

Chapter tiganya kapan-kapan 😊🙏
Jangan lupa vote dan komentarnya 💜🌻

My Baby Boy • New Version Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang