CHAPTER 01

1K 61 4
                                    

Gadis berambut sebahu itu berjalan seorang diri di pinggir jalanan dengan bibir yang terus menggerutu, ia sangat kesal dengan perkataan kedua orang tuanya yang tiba-tiba mengatakan bahwa dirinya akan dijodohkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gadis berambut sebahu itu berjalan seorang diri di pinggir jalanan dengan bibir yang terus menggerutu, ia sangat kesal dengan perkataan kedua orang tuanya yang tiba-tiba mengatakan bahwa dirinya akan dijodohkan.

     “Sekarang zaman apa, sih? Udah modern kayak gini masih aja jodoh-jodohan. Dijodohin sama adik artis? Kenapa enggak dijodohin sama artisnya, sih? Enak bisa ikutan tenar!” Dengan perasaan teramat kesal, Zeline Allisya Mahawira menendang botol bekas dengan sangat kuat sampai mengenai kepala seorang pemuda yang baru keluar dari minimarket.

     Melihat itu Zeline tentu saja panik, ia bingung antara memilih kabur atau pergi meminta maaf. Sampai akhirnya, Zeline lebih memilih menghampiri pemuda tersebut untuk meminta maaf. “Ya ampun, maaf aku enggak sengaja. Kepalanya pasti sakit, ya? Mau dibawa ke rumah sakit aja gimana?”

     “Huaaa!”

     Zeline tersentak kaget, kenapa pemuda ini tiba-tiba menangis? Apakah sesakit itu rasanya? Tunggu! Zeline mengernyitkan dahi merasa tak asing dengan pemuda di hadapannya yang tengah menangis. Dia kan yang tadi di sekolah enggak sengaja ke tabrak.

     “Sebel banget! Tadi siang kena, sekarang juga kena lagi. Kalau kening Bian penyok gimana? Huaa, sakit hiks!” Pemuda itu berteriak dengan nada merengek membuat orang-orang yang berada di dalam minimarket menatap ke arahnya dengan bingung.

    Meringis pelan, Zeline benar-benar bingung sekarang. “Aduh, jangan nangis dong! Perasaan tadi nendangnya enggak kuat banget, sakit, ya?"

     “Sakitlah! Pake nanya lagi, kesel ih!”

     Zeline menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Saat di sekolah pemuda ini terlihat keren dengan aura dingin yang kental, tapi sekarang kok beda? Apa jangan-jangan kembarannya? “Aku minta maaf, ya? Kamu jangan nangis lagi dong, biar sakitnya hilang aku harus gimana? Atau mau ke rumah sakit aja?”

     Bian menggeleng pelan dengan bibir melengkung ke bawah. “Enggak mau, kalau dibawa ke rumah sakit nanti Bian bisa disuntik sama dokternya.”

     Mendengar itu Zeline buru-buru memasang otak, ke rumahnya? Enggak, itu bukan pilihan yang bagus. Sampai netranya melihat taman di dekat minimarket, di sana juga ada kursi taman yang kosong.

     “Kita ke sana, yuk!” ajak Zeline seraya menggandeng tangan Bian.

     Keduanya duduk di kursi, Bian yang masih dengan rengekannya dan Zeline yang masih bingung tentang apa yang harus ia lakukan.

     “Sakit banget, ya? Sekali lagi aku minta maaf, aku benar-benar enggak sengaja tadi,” kata Zeline tulus, tangannya secara refleks mengusap kening Bian yang terlihat memerah.

     Tangisan Bian mereda, air matanya sudah tak lagi turun hanya saja kedua matanya masih memerah juga hidungnya. Zeline yang melihat itu entah mengapa jadi merasa gemas sendiri, pemuda ini terlihat seperti bayi yang habis menangis.

     Zeline berdehem pelan. “Nama kamu siapa?”

     “Bian,” jawabnya dengan suara pelan.

     Menganggukkan kepala paham. “Soal tadi maaf, ya? Tadi aku tendang botol itu gara-gara lagi kesel, aku enggak tahu kalau botol itu bakal kena ke kening kamu, sampe merah lagi kening kamunya.”

     Zeline mengamati kening Bian sampai sebuah tangan mendorong tubuh Zeline agar menjauh. Mendapat perlakuan seperti itu secara tiba-tiba membuat Zeline menatap Bian terheran-heran.

     “Lo siapa?” tanya Fabian bingung, ia kaget menemukan seorang gadis didekat-Nya.

     “Hah?” Zeline membuka mulut tak percaya. Suara pemuda itu berubah begitu saja, tadi terdengar seperti anak kecil tiba-tiba saja suaranya menjadi berat seperti suara pemuda pada umumnya. “Kok bisa?”

     Fabian mengernyit bingung. “Apaan, sih? Dasar aneh!”

     “Lo, tuh, yang aneh. Tadi nangis-nangis ngerengek kayak anak kecil, sekarang malah ngatain gue, sembarangan! Punya kepribadian ganda, ya?” tebak Zeline asal dan hal itu malah membuat Fabian menatapnya tak suka.

     “Apa pun yang lo lihat jangan kasih tahu orang lain, kalau sampe ada yang tahu, lo habis di tangan gue!” ancamnya tak main-main. “Nama lo siapa? Sekolah di mana? Kelas berapa?”

     “Apa, sih? Sok akrab banget nanya-nanya kayak gitu!” balas Zeline sarkas, ia tak suka ada orang asing yang bertanya tentang kehidupan pribadinya.

     “Gue perlu tahu, gue mau memastikan lo enggak nyebarin soal tadi ke orang lain.”

     “Gue enggak suka gosip!” Setelah itu, Zeline pergi meninggalkan Fabian di taman dengan perasaan kesal bukan main.

     “Sialan! Awas aja, tuh, cewek."

•••


     “TU WA GA PAT!”

     “SEPERTI MATI LAMPU YA SAYANG!”

     “SEPERTI MATI LAMPU~”

     “CINTAKU TANPAMU YA SAYANG!”

     “BAGAI MALAM TIADA BERLALU~”

     Edrea Leta Maheswari atau yang kerap dipanggil Rea itu menutup kedua telinganya mendengar kelas 12 IPA 2 yang tengah konser dadakan di kelas, sebab sekarang jam kosong atau jamkos mereka bebas melakukan apa pun.

     “ASTAGHFIRULLAH, DOSA APA GUE SAMPE PUNYA TEMEN KAYAK MEREKA! UDAH WOY, BISA-BISA TELINGA GUE INNALILAHI!” teriaknya dengan langkah besar menuju ke arah Xavi yang sedang memegang gitar sambil menari-nari tak jelas di depan papan tulis.

     “Nathan, kamu lagi ngapain ngikutin si Xavi gila itu? Udah tahu dia tuh nggak waras, udahlah cari temen lain aja!” kesal Rea kepada pacarnya yang ikutan joget kek banci yang ada di perempatan.

     Suara yang awalnya ricuh kini berubah menjadi sedikit tenang, suara Xavi benar-benar mengganggu indera pendengaran, apalagi tingkah pacarnya yang sangat membuat Rea malu sendiri. Xavi mengerucutkan bibirnya, “Ihh ... ini ‘kan jamkos, Bu Lilis aja tadi bilang kita boleh lakuin apa aja. Ya ‘kan?” tanya Xavi yang dibalas anggukan oleh Jonathan.

     “Kalau mau nyanyi itu yang jelas, masalahnya suara lo udah kayak kambing kecekik, main gitar juga nggak ada enaknya sama sekali tau nggak! Dahlah, mau nyari Shakeel aja, dia ‘kan suaranya adem.”

     Mendengar itu Jonathan langsung menarik lengan pacarnya, bisa-bisanya gadis ini mencari cowok lain padahal ada dirinya yang bernotabene pacar Rea. “Sayang, kamu apa-apaan sih?! Kan ada aku, ngapain cari cowok lain?"

“Salah kamu sih yang bla bla bla....”

     Xavi memutar bola matanya malas mendengar sepasang kekasih tadi yang mulai beradu mulut. Xavi merasa heran dengan Rea dan Jonathan , setiap hari pasti ada saja bahan perdebatan tapi tidak pernah putus-putus. Hubungan mereka sangat awet, mereka berpacaran dari masuk SMA sampai sekarang mereka sudah kelas tiga.

     “Mau ke mana lo?” tanya Xavi kepada Fabian yang keluar dari kelas.

     “Kantin,” jawabnya singkat.

     “Ikut!”

     Mereka beriringan menuju kantin dan ternyata di sana sudah ada Shakeel Jaden Alankar yang duduk anteng sembari memakan bakso ditemani dengan secangkir penuh es teh manis.

     “Wih! Anak kelas IPA satu ngapain ada di sini? Kagak takut kena marah lo?” Xavi bersuara sembari mengambil duduk di hadapan Shakeel.

     “Semua kelas kan lagi jamkos dodol!” balas Shakeel kesal, pasalnya Xavi tanpa izin meminum es teh manisnya. “Jangan dihabisin! Beli aja sana, enak aja lo minum punya gue."

     “Minta dikit juga.”

     “Dikit di kamus lo beda, anjir! Lo udah minum setengahnya, nih!”

     Xavi tersenyum tanpa dosa menunjukkan gigi putihnya yang rapi, sampai bola matanya menemukan seorang gadis yang tengah membeli roti. “Eh, ada Neng Zeline. Sini duduk sama Aa Xavi.”

     Mendengar namanya Zeline menoleh, mendapati Xavi melambaikan tangan ke arahnya, ia bergedik. Kemudian, matanya beralih menatap sosok yang duduk di samping Xavi, ia dibuat merinding dengan tatapan tajam dari Fabian. Mengabaikan perkataan Xavi, Zeline pergi begitu saja dari kantin.

     “Lah? Kok kabur, sih.” Xavi merosotkan bahunya kecewa.

    “Lo kenal sama dia?” tanya Fabian tiba-tiba.

     “Siapa?”

     “Yang tadi."

     Xavi menghela napas menahan kesal. “Iya, yang tadi itu siapa? Lo ngomong jangan setengah-setengah dong!”

     Fabian berdecak. “Cewek yang tadi!”

     “Ngapain lo nanya-nanya soal dia?"

     “Tinggal jawab pertanyaan gue, lo malah bikin gue kesel!”

     “Makanya kalau jadi orang itu jangan sendirian mulu, sekali-kali gaul sama orang lain.”

     Fabian memutar bola matanya malas, ia bertanya tapi jawaban Xavi malah ngalor kidul ke sana-kemari.

     “Namanya Zeline, dia anak kelas IPA tiga, satu kelas sama Rea,” sahut Shakeel menjawab pertanyaan Fabian.

•••

Chapter dua mau nanti atau besok?

My Baby Boy • New Version Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang