Surat lecek itu terus menerus berdatangan seolah mengajakku berbicara denganmu, dengan angin dingin berderit di bawah bolongan pintu. Aku tak ingin mengobrol, persoalan masa lalu — toko kaset sempit dengan mas-mas wajah memelas, lagu kompilasi Beethoven, tawa cekikikan di warung bubur ayam langganan, cengkraman jari di kantong jaket itu. Aku mengerti bahwa 1 jam berarti 60 menit, 1 menit berarti 60 detik, 1 hari berarti 24 jam. Namun, aku dendam dengan waktu dan memori yang seutuhnya konstan bagiku, potret malam-malam itu selalu hadir — berkenan untuk entah menghinaku atau mengingatkanku, bahwa kau yang aku hendaki, melalui sembahyang tanpa henti, sebenarnya tidak (belum) sepenuhnya aku maui untuk pudar tanpa kabar.
Minggu [26 Juni 2000]
"Halo, selamat siang, atau selamat malam? sepertinya surat ini akan tiba disana saat siang. Di tempatku sudah jam lima sore sekarang, bayangkan disini 16 derajat dinginnya! baru saja aku bepergian ke Salzburg hari ini. Sudah 52 hari tanpa adanya kamu, hampir dua bulan belum mendengarmu mengoceh.. Oh, hampir saja lupa. Bagaimana kabarmu? apakah Roti baik-baik saja? kutunggu kehadiranmu disini, mungkin ajaklah Roti! Begitu saja dariku ya.
Penuh cinta & harap."
103 hari kilas balik. Kalau saja alam semesta tidak berevolusi, hukum alam tiba-tiba mampu dengan magisnya memberhentikan waktu— apabila tidak, aku akan tentang Pencipta Alam, siapapun yang menciptakan ruang, waktu, angkasa dan segalanya! sebab tidak membekukan waktu untukku, satu detik saja mohon, abadikanlah. Sebut saja kala itu aku menggilaimu, gila sampai aku rela mengobral waktuku untuk duduk (sampai ambeyen) hanya mendengarkanmu berujar betapa mendebarkannya alunan musik Beethoven itu. Bodoh? Oh tidak, aku adalah orang yang menganut prinsip ekonomi — aku berpikir bahwa bergaul dengamu itu rasional karena pengorbanan dan hasilnya sebanding, begitulah. Tanpa petir, tanpa api, kau menyebutkan Wina. Katamu mendengarkan Beethoven seolah membawamu ke kota mungil di Eropa Tengah. Mengapa Wina? Apakah aku tampak kurang meyakinkan untuk mencintaimu sehingga kau kabur menuju Wina? Walaupun akhirnya aku mengalah, sebelumnya kita bagaikan musafir di padang pasir tanpa petunjuk arah. Namun, kau akhirnya menemukan arahmu sendiri. Wina, kota impianmu. Sedangkan aku? sepertinya aku ibarat gelandangan yang tersesat di padang pasir tersebut.
Jumat [30 Juni, 2000]
"Apakah kau bercanda? aku tidak percaya kau mengirimiku kompilasi album Schubert yang sangat langka! bertahun-tahun aku mencarinya, terimakasih saja tidak cukup kurasa. Jika ciuman lembut dan sentuhan di pipimu mampu dikirimkan dalam wujud fisik lewat surat, aku sudah beribu-ribu kali mencium bibirmu yang cerewet itu. Mari bertaruh, aku yakin kau memakai dress putih penuh rumbai selutut itu kan? jika benar, ketika pulang nanti aku akan melingkarkan tanganku ke pinggangmu, berbisik ke telinga agar kau mendengar betapa memesonanya kau, kemudian kurebahkan badan mungilmu ke sofa, tidak peduli apakah roti disebelah kita atau tidak. Sudah membayangkan? kau pasti sudah berimajinasi sesuatu yang amoral. Cukup sampai sini saja suratku — kubiarkanmu melanjutkan sendiri.
Jangan marah ya, aku selalu memikirkanmu."
Bersama dengan Roti disebelahku, kucing nakal yang suka memakan remahan roti tawarmu — sebab itu kau namakan dia Roti. Di meja itu aku berjumpa dengan tulisan tanganmu (berfikir betapa tidak adilnya semua ini) aku menangis sekencang-kencangnya, aku bahkan tidak mempunyai potret wajahmu sebagai kawan sepiku. Bukannya berimajinasi liar, justru aku mendambakan pelukan hangatmu, yang kuhafal betul berapa temperaturnya. Ketidakberadaan wujud fisikmu, Roti yang tertidur pulas, jam kian berdenting, sehingga hanya tersisa suara jantung, memacuku untuk pasrah — tunduk dalam hukum alam yang beringas, yakni waktu.
Desir angin malam pasti jenuh menghitung berapa lagi malam yang akan dilewati sampai aku tiba rangkulanmu. Sayang, kini aku tidak hanya budak cinta, sekaligus juga budak waktu, menghitung mundur detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, dan seterusnya. Katakanlah! ini tidak akan dirundung oleh kesia-siaan, bahwa kau akan kemari, memutus waktu, lalu kita akan reuni menyambut hari-hari bahagia.
Selasa [18 Agustus, 2000]
"Maaf, aku tuliskan maaf dengan makna sebetulnya bahwa aku menyesal tidak menuliskanmu surat. Satu bulan lamanya, aku bertanya dimanakah dirimu saat ini? Apa kau membenciku? Aku yakin penjelasan se-logis apapun tidak akan menenangkanmu, bukan? Aku memang laki-laki bangsat. Tolong balas suratku, ya. Aku mencintaimu selalu seperti biasa."
Salam hangat dari Wina, sayang."
Ketika surat itu tiba, masih ada sejumput amarah terhadapmu, kau lelaki bajingan! tidak, kau tidak pantas disebut seperti itu. Namun, perilakumu macam lelaki yang memang bajingan. Tega-tega saja aku tidak membalas surat konyolmu, lalu ujug-ujug saja datang setelah kian purnama. Kau memang selalu seperti itu, bukan? tidak bisa ditebak. Dirimu yang rumit layaknya benang, diriku keras kepala — memang sepertinya akan dibutuhkan kesabaran berlimpah. Aku uji cintamu dengan tidak membalas tulisan tanganmu, kemudian kita lihat, apakah kau akan kemari? mengetuk pintuku sembari membawa seikat bunga daffodil yang melambangkan harapan dan memohon? Tidak pernah terbayang dibenakmu bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ekuilibrium
General FictionDua manusia, Rumi dan Re tidak akan menyangka mereka dirundung kebimbangan antara menelantarkan impiannya atau terus menerus memelihara rantai asmaranya yang kian rapuh lewat surat-surat, lewat lagu. Di atas goresan kertas mereka merekam jejak memor...