Luka Masa Lalu

5 0 0
                                    

Sudah ku bilang, kalau kau masih mau main-main dengan wanita lain, lebih baik kau ceraikan aku."

"Apa maksudmu? Aku? Main-main? Mana buktinya?"

"Ga usah ngeles kamu mas, aku sudah tau semuanya."

"Tau apa kamu? Hah!"

"Cintya, ada hubungan apa kamu sama Cintya. Sekretaris pribadi kamu?"

"Kamu?! Kurang ajar!" Ucap Rudi, sambil mengangkat tangan kanannya, bersiap-siap untuk menampar istrinya.

"Tampar! Tampar aku kalau kamu berani!"

Quinn yang menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya hampir tiap hari, membuat psikisnya sedikit terguncang. Bagaimana tidak, kejadian tersebut dimulai sejak Quinn berumur 7 tahun. Saat itu Quinn baru duduk di bangku sekolah dasar kelas 1. Setiap kali orang tuanya bertengkar Quinn pasti selalu menangis didalam kamarnya dan mengunci pintu kamarnya, agar orang tuanya tidak bisa masuk. Dan kejadian itu terus berlanjut hingga Quinn tumbuh menjadi seorang remaja yang sedikit tertutup.

2 bulan lagi Quinn akan lulus sekolah dasar dan akan memasuki ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Quinn telah didaftarkan di sekolah negeri oleh orang tuanya, setelah dipastikan diterima di sekolah yang orang tuanya inginkan, bertepatan dengan hal itu, tiba-tiba saja Quinn mendapatkan kabar kalau orang tuanya bercerai. Tapi entah kenapa Quinn tidak merasa terkejut, mungkin ia sudah siap dengan apa yang akan terjadi dengan hubungan kedua orang tuanya. Yang membuat Quinn bingung, ia harus ikut dengan siapa jika kedua orang tuanya pisah rumah.

Quinn menyayangi keduanya, baik ayah dan ibunya. Tapi sepertinya ayahnya tidak terlalu menginginkan Quinn untuk ikut bersamanya, kemungkinan besar ia akan ikut bersama ibunya untuk tinggal bersama berdua selamanya.

Hari kelulusan pun tiba, di hari itulah Quinn bisa merasakan kebersamaan dengan kedua orang tuanya untuk terakhir kalinya. Karena mulai bulan depan disaat Quinn sudah menginjak bangku SMP, kedua orang tuanya akan pisah rumah dan Quinn akan ikut bersama Ibunya. Ibunya memutuskan untuk tinggal di rumah peninggalan orang tua dari Ibunya Quinn alias neneknya Quinn. Rumah yang sederhana tidak terlalu besar seperti rumah ayahnya dulu, namun cukup nyaman untuk ditinggali oleh mereka berdua. Keputusan Ibunya yang ingin meninggalkan ayahnya Quinn, membuat ibunya Quinn harus bekerja demi memenuhi kebutuhan sekolah Quinn dan untuk kehidupan sehari-hari. Keseharian Quinn yang sedari awal sudah merasa kesepian, semakin kesepian semenjak kedua orang tuanya pisah. Untung nya Quinn memiliki sahabat yang selalu ada untuknya siapa lagi kalau bukan Rainer dan Theo. Dari Quinn SD sampai saat ini Rainer dan Theo selalu menyempatkan waktu nya bermain bersama Quinn baik saat di sekolah maupun sepulang sekolah.

"Quinn, main yuk!" Teriak Rainer depan rumahnya.

Tak lama Quinn keluar "Main apa? Kemana?" Tanya Quinn.

"Kita main sepeda hari ini." Jawab Theo.

"Mau ya Quinn, please!!" Pinta Rainer dan Theo bersamaan.

"Ok! Kalau gitu gue ambil dulu sepedanya. Kalian tunggu disini ya!"

Quinn kembali masuk ke rumah untuk mengambil sepeda, kebetulan di rumah sepi tidak ada siapa-siapa. Ibunya belum pulang kerja, jadi Quinn pamit pada ibunya melalui SMS, mengabari kalau dirinya sedang keluar bermain bersama teman-temannya. Setelah merasa cukup, Quinn kembali keluar untuk menemui teman-temannya dan memulai bersepeda bersama mengelilingi komplek perumahan dekat rumahnya.

Kala itu cuacanya sangat bagus, enak untuk dipakai jalan-jalan sore apa lagi sepedaan. Quinn dan teman-temannya begitu sangat menikmati kebersamaan mereka, mereka terlihat sangat polos dan bahagia. Hingga akhirnya terjadilah sesuatu, dimana Quinn terpisah dari Rainer dan Theo. Quinn panik, ia terus mengayuh sepedanya sambil meneriaki nama teman-temannya.

"Rainer!! Theo!! Kalian dimana?" Teriak Quinn sembari panik.

Namun mereka berdua tak kunjung terlihat. Quinn akhirnya menghentikan sepedanya dan menangis ketakutan. Disaat Quinn sedang duduk sambil menangis, tiba-tiba datang seorang laki-laki paruh baya menghampiri Quinn.

"Dek, kenapa kamu menangis?" Tanya laki-laki itu.

Namun Quinn tidak menjawab, ia hanya menatap takut pada laki-laki itu.

"Adik tersesat ya, mau om antar? Rumah adik dimana?"

"Ga om, makasih. Aku bisa pulang sendiri." Ucap Quinn lalu ia segera berdiri dan kembali menaiki sepedanya.

"Mau kemana, biar om antar saja. Bahaya udah sore, kalau terjadi sesuatu sama kamu gimana."

"Ga om makasih." Quinn pun berlalu meninggalkan laki-laki itu.

"Om tadi lihat teman-teman kamu!"  Teriaknya.

Saat Quinn mendengar kalimat itu, sontak Quinn menghentikan sepedanya lalu menoleh ke belakang dimana laki-laki itu terlihat tersenyum.

"Om lihat dimana?" Balas Quinn sambil sedikit berteriak.

"Kamu lurus aja, didepan nanti belok kanan."

Tak pikir panjang Quinn pun lekas pergi untuk menemui Rainer dan Theo. Namun ternyata setelah Quinn sampai di tempat dimana tadi laki-laki itu sebutkan, Quinn tidak menemukan teman-temannya. Melainkan tempat sepi dimana disana cuma terlihat ada sebuah bangunan kecil seperti rumah yang sudah lama tidak ditempati. Saat Quinn kebingungan, dari arah belakang Quinn di bekap oleh seseorang dan ia dibawa masuk ke dalam bangunan tersebut. Quinn sempat berteriak meminta tolong namun cengkraman laki-laki itu terlalu kuat bagi Quinn yang masih berumur 12 Tahun. Quinn hanya bisa menangis ketakutan, ia tak tau apa yang akan dilakukan oleh laki-laki tersebut kepada dirinya. Quinn ingin lari, Quinn ingin berteriak namun entah kenapa tubuhnya saat itu tidak bisa bekerja sama dengan otaknya. Ia merasa lemas dan mulutnya terasa kelu.

Quinn mulai kehabisan nafas akibat bekapan laki-laki tersebut, tenaga Quinn mulai melemah akhirnya ia menyerah dan pasrah dengan keadaan saat itu. Pandangan Quinn pun mulai sedikit kabur, ia berusaha kuat namun lambat laun kesadarannya pun menghilang. Quinn pun akhirnya pingsan.

Entah berapa lama Quinn pingsan, mungkin sekitar 1 jam lebih. Karena saat Quinn sadar, Quinn sudah berada di rumahnya sendiri di temani oleh Rainer dan Theo.

"Quinn, lo ga apa-apa?" Tanya Rainer.

"Gue dimana?"

"Lo udah ada di rumah sekarang Quinn."

Quinn mencoba mengingat kembali apa yang sebelumnya terjadi. Setelah ia mengingat semuanya, Quinn merasa jijik pada dirinya sendiri, ia mulai menangis sambil berteriak menyesali apa yang ia alami. Rainer dan Theo yang sadar apa yang terjadi mencoba menenangkan Quinn dengan memeluknya.

"Theo, coba lo ambilin minum buat Quinn di dapur."

Theo yang tak harus berpikir panjang, segera berlari ke arah dapur dan kembali dengan segelas air putih untuk Quinn.

"Ini, lo minum dulu Quinn," Ucap Theo sambil membantu meminumkannya.

"Quinn, siapa yang udah lakuin ini sama lo?" Rainer yang sudah menahan geram sedari tadi melihat sahabatnya di lecehkan, mulai bertanya.

"Quinn!!" Teriak Rainer. Namun Quinn tetap diam.

"Rainer, biarin Quinn tenang dulu."

"Ga bisa Theo, gue ga terima Quinn diperlakukan seperti ini!" Rainer mulai marah dan teriak. "Lo pikir, laki-laki brengsek yang udah bikin sahabat gue kaya gini bisa bebas seenaknya aja!"

"Gue tau maksud lo apa, gue juga ngerasain hal yang sama kaya lo. Siapa yang ga marah kalau sahabat lo dilecehkan, udah gitu di tinggal sendirian di gubuk kosong kaya tadi."

Quinn semakin histeris dengan teriakan-teriakan dari kedua sahabatnya. Sepertinya kejadian ini membuat Quinn trauma. Theo dan Rainer yang sadar Quinn sedang tidak baik-baik saja seketika diam membisu dan hanya bisa memandang Quinn dengan perasaan campur aduk.

Bersambung...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 05, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

3 MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang