Bukankah setiap orang pernah melakukan kesalahan, Bukankah setiap kesalahan berhak mendapatkan pengampunan tanpa adanya hukuman dengan berkedok agar mendapatkan pelajaran.
Adhisti Kiara aleethea, putri tunggal seorang konglomerat. Semasa SMA ia menjadi siswi paling eksis di sekolah, dengan kehidupannya yang serba mewah ia selalu menghamburkan-hamburkan uang dengan tidak sedikitpun punya simpati terhadap orang lain.
Hingga akhirnya tiba saat hari kelulusannya. Karena keangkuhan dan kesombongannya. Kiara mendapatkan hukuman dari kedua orang tuanya. Mendapati ia tengah ditahan di kepolisian karena telah melakukan kesalahan yang fatal. Dalam keadaan mabok ia berusaha kabur saat tahu mobilnya menabrak seseorang pada saat jalan pulang.
Lalu, dengan terpaksa ia harus mengubur dalam-dalam impiannya untuk melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Kedua orang tuanya memutuskan untuk mengirimnya tinggal bersama keluarga Pak Rusdi supir pribadinya di pinggiran kota.
Mendapati kedua orang tuanya yang tampak tidak main-main dengan keputusan yang diambil. Kiara pun semakin dibuat resah. "Mama sama Papa bercanda kan? Mama sama Papa gak mungkin tega melihat Kia hidup susah bareng mereka."
"Sudah tidak ada toleransi, barang-barang yang mungkin akan kamu butuhkan sudah Mama siapkan di mobil, kamu tinggal berangkat," jelas sang Mama tanpa iba.
"Kia gak nyangka Papa sama Mama tega ngelakuin ini sama Kia. Kalian jahat, Kia benci sama kalian," teriaknya dalam tangis enggan untuk menerima kenyataan.
"Sikap kamu yang seperti ini yang bikin Papa sama Mama tega melakukan ini. Kami hanya ingin kamu sadar, Papa sama Mama cuma pengen kamu jadi anak yang baik Ki. Bukan jadi anak yang membangkang seperti ini," tegas sang Papa tak memberi belas kasih.
"Oh iya, dengan cara menyiksa Kia seperti ini?"
"Kia," teriak orang tuanya geram.
"Kia bakalan pergi, dan Kia janji akan membuat kalian menyesal dengan keputusan ini," terangnya singkat seraya langsung masuk mobil meninggalkan rumah megah bak istana kebanggaannya.
Dalam tangis keangkuhannya, ia tetaplah anak gadis berusia 18 tahun. Dimana perasaannya porak-poranda ketika berpisah jauh dari kedua orang tuanya. Pun saat ini ia sangat cemas dengan kehidupannya setelah pergi, bagaimana caranya bertahan hidup dengan orang asing yang belum ia temui sebelumnya.
Akan tetapi, menangis pun rasanya percuma. Pak Rusdi sudah membawanya pulang. "Non Kia gak perlu khawatir. Nanti, dirumah bukan hanya saya dan istri saya. Tapi, ada Bayu juga anak saya. Dan siapa tahu non Kia juga bakalan dapat teman baru disana. Jadi, non Kia tenang ya."
"Diam," bentak nya lantang. "Gak usah banyak ngomong, saya gak butuh teman dan saya gak peduli sama orang-orang disana."
Tampak Pak Rusdi yang hanya tersenyum memaklumi sikap putri majikannya.
Tidak ada yang berbeda. Sikap lembut dan telaten Pak Rusdi tidak membuat Kiara luluh dan simpati.
Sesampainya di depan rumah Pak Rusdi. Kiara yang enggan turun dari mobil mendapati rumah Pak Rusdi yang kecil dan sempit. Tampak rumah ukuran 5×6 dengan sebagian cat yang sudah mengelupas membuat Kiara benar-benar tak percaya perihal keputusan kedua orang tuanya.
Tetap duduk bersedakap di dalam mobil, ia terus menggerutu mengeluarkan emosinya. Tak peduli pada Pak Rusdi yang mulai mengeluarkan barang-barangnya dari mobil, Kiara malah kembali memarahinya tak sudi tinggal bersama mereka.
"Jangan sekali-kali sentuh barang saya, saya gak sudi tinggal disini bareng kalian."
Hanya tersenyum dengan terus memindahkan barang-barang Kiara, Pak Rusdi dengan begitu sabarnya tak mengindahkan omelan putri sang majikan.
Hingga akhirnya, seminggu berlalu. Kiara yang dengan susah payah beradaptasi dengan lingkungan yang serba sederhana disekitarnya. Tibalah ia mengetahui bahwa Pak Rusdi mengidap kanker paru-paru. Beban hidupnya semakin bertambah. Akan tetapi ia tidak mau bertindak lebih jauh.
Lalu, suatu pagi. Ditengah ia sedang berjalan santai tanpa tujuan ia mendapati seseorang menasehati temannya yang tampak lesu. "Karena terkadang kita memang harus berada ditempat yang gelap untuk melihat setitik cahaya. Begitupun dengan hidup, kita memang harus merasakan susah dulu baru kita akan bisa menghargai nikmat yang ada. Jadi, sabar ya."
Mendengar kalimat bijak orang asing yang tengah ia perhatikan, ia menyunggingkan pojok bibirnya tersenyum meremehkan, seraya bergumam. "Ngomong sih gampang, karena dia gak pernah ngerasain di tempat yang gelap. Coba sini gantian."

KAMU SEDANG MEMBACA
SANANTA
Novela JuvenilKarena pengalaman adalah guru terbaik. Maka, kenyataan adalah teman terhebat untuk berubah menjadi lebih baik.