Ditengah kalutnya isi kepala Sananta, secangkir kopi saja tak mampu menenangkannya. Akan tetapi, seorang gadis dengan penampilannya yang elegan mampu menarik perhatiannya. Tampak ia dengan sengaja menabrak seorang barista yang tengah memegang nampan berisi dua gelas minuman, sehingga tepat sasaran minuman itu tumpah pada gadis sederhana yang baru saja hampir ditabrak oleh Alkaf.
Mata Sananta terbelalak, melihat gadis teraniaya itu langsung bangkit seraya menampar gadis kaya dengan wajah sombongnya.
"Cewek gak tahu diri," murka si gadis sombong.
"Aku gak percaya kamu se keji ini Ta," teriak Kiara pada Gita. Tampak air matanya berlinang dalam kemarahan.
"Gak usah sok kenal, lagian ngapain cewek miskin berani masuk sini. Emang mampu bayar?"Mendengar hinaan Gita, Kiara benar-benar tampak tak kuasa menahan amarahnya. Tangannya kembali mengepal dan wajahnya memerah hingga suara gesekan giginya terdengar jelas di telinganya sendiri.
Melihat adegan itu, Sananta merasa iba. Maka, ia langsung bergegas menghampiri, seraya membela Kiara. "Dia kesini sama aku," jelas Sananta dengan merangkul hangat pundak Kiara.
Mendengar pembelaan dari seorang pria tampan yang tampak mapan, Gita terkejut tak percaya.
"Gak salah? Kamu mau temenan sama cewek yang gak seberapa ini?" Tanya Gita dengan ambisi ingin terus menjatuhkan Kiara.
Lalu, mendengar pernyataan itu. Sananta tak sedikitpun menggubris, dan langsung menarik tangan Kiara untuk pergi.
Dan sesampainya di luar, tepatnya di depan mobil Sananta, Kiara berhenti.
"Aku gak butuh bantuan. Tapi, terimakasih," ungkap Kiara dan langsung bergegas untuk pergi.
Akan tetapi, Sananta mencegah seraya mengatakan. "Mencelakai diri sendiri itu jangan dijadikan kebiasaan."
Mendengar penuturan Sananta yang nyeletuk. Kiara menghentikan langkahnya dan langsung berbalik dengan ekspresi wajah yang tak biasa.
"Hidup itu gak perlu kayak wasit, mondar-mandir gak jelas kerjaannya cuman mencari kesalahan orang lain," timpal Kiara yang merasa tersinggung dengan ucapan Sananta.
"Sorry, aku gak bermaksud. Tapi, aku cuma mau bilang kalau kamu gak sendiri. Masih banyak orang-orang diluar sana yang masalahnya jauh lebih besar dari apa yang kamu hadapin sekarang."
"Tahu apa kamu soal hidup, orang kaya kayak kamu gak pernah ngerasain susah kan."
Mendengar penuturan Kiara yang tampak dalam. Sananta hanya menyunggingkan senyum tipis di pinggir bibir.
"Kenalin, namaku Sananta," ungkapnya seraya menjulurkan tangan kanannya ramah.
"Maksudnya?" Tanya Kiara heran.
"Katanya sih, seseorang harus mengenal terlebih dahulu sebelum bisa menilai orang lain. Makanya, aku saranin kamu harus kenal aku dulu baru bisa menilai hidupku."
Kiara yang hanya tersenyum sinis, menanggapi. "Kia," jawabnya singkat seraya langsung pergi meninggalkan Sananta.
"Tunggu," cegah Sananta kembali mengehentikan langkahnya.
"Kamu mau kemana dengan baju kotor gitu?" Tanya Sananta menyadarkan Kiara perihal penampilannya.
Lalu, tanpa menunggu jawabannya. Sananta langsung menarik lengan Kiara, memintanya untuk masuk ke dalam mobil.
"Bisa gak, gak usah kasar?" Bentak Kiara tak menerima perlakuan Sananta.
"Sorry," jawab Sananta singkat. Membuat Kiara semakin murka menghadapi sikap dinginnya.
"Tadi itu siapa?" Tanya Sananta mulai mencari tahu.
"Bukan siapa-siapa," terang Kiara balik bersikap dingin.
"Kalau bukan siapa-siapa harusnya gak perlu terlibat cekcok kayak tadi," saran Sananta baik.
"Iya, harusnya aku gak perlu ke sana," terangnya menyesal.
"Memangnya kamu ada perlu apa di dalam?"
Tak menjawab pertanyaan Sananta, tampak ia hanya memberi isyarat melihat pengumuman lowongan pekerjaan yang terpampang di depan cafe.
Lalu, melihat itu. Sananta pun mulai paham. Bahwa gadis malang yang duduk di sampingnya tengah berusaha mencari pekerjaan.
"Ya sudah, rumahmu dimana?"
Mendengar pertanyaan Sananta tampak Kiara sekilas melirik tajam namun tak memberikan jawaban. Pikirannya berkecamuk mendengar pertanyaan perihal rumah, ia teramat kecewa terhadap Papah dan Mamahnya. Akan tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa ia sangat membutuhkan kedua orang tuanya.
"Hei,"sapa Sananta kembali untuk menyadarkan Kiara dari lamunannya.
"Aku bisa pulang sendiri," jawabnya mengalihkan. Tampak gadis malang itu tengah berusaha kuat. Namun, matanya mengatakan hal sebaliknya. Ia rapuh, tak berdaya, tampak sangat nyata ia butuh sandaran untuk sekedar berkeluh kesah.
Menyaksikan itu, Sananta mengerti. Ia yang hanya menatapnya jauh tak berniat menanyakan tentang apapun. Ia tahu, gadis yang tengah duduk disampingnya kini mungkin hanya ingin ketenangan.
Tampak Kiara perlahan menutup matanya dengan bersandar pada sandaran kursi mobil Sananta. Dan Sananta yang tampak tak keberatan pun ikut bersandar menarik napas panjang. Ia kembali teringat hal apa yang telah Papa tirinya lakukan bersama keluarganya di sana.
Pikirannya kembali kalut, mungkin saat ini sudah tidak ada lagi kesempatan untuk merebut kembali perusahaan yang dengan susah payah didirikan oleh Papa kandungnya. Rasanya ia belum siap untuk mendengar cerita yang akan Alkaf bawa sepulang setelah pertemuan itu.
Matanya yang tajam terlihat penuh amarah, dengan kedua tangannya yang dikepal keras, Sananta tampak dingin berubah menjadi sosok yang berapi-api. Dan Kiara yang melihat itu sedikit dibuat terkejut.
"Kamu gak sendiri. Masih banyak orang-orang diluar sana yang masalahnya jauh lebih besar dari apa yang kamu hadapin sekarang," tutur Kiara pelan, berharap Sananta berhasil menguasai emosinya.
Lalu, mendengar penuturan Kiara yang tiba-tiba. Sontak Sananta melihat kearah Kiara dan tersenyum tipis. "Sorry, udah bikin kamu berasumsi kemana-mana."
"Sebagai manusia yang sama-sama lagi gak karuan, gak ada salahnya kan saling menguatkan," lontar Kiara memperlihatkan sikap yang berbeda.
"Kamu cenayang?" Tanya Sananta balik menanggapi ejekan Kiara.
"Iya," jawabnya singkat mengundang gelak tawa mencairkan suasana.
Terimakasih ya Ta, aku balik dulu. Sekali lagi terimakasih," ucap Kiara seraya langsung keluar dari mobil Sananta, karena mengingat sudah terlalu lama ia keluar rumah dan tak ingin membuat khawatir keluarga pak Rusdi.
"Tapi, Kia," cegah Sananta memperlihatkan masih banyak hal yang ingin diutarakan.
"Kalau ada kesempatan, kita akan ketemu lagi," ujar Kiara ceria dengan senyum khasnya. Lalu, menutup kembali pintu mobil Sananta.

KAMU SEDANG MEMBACA
SANANTA
Novela JuvenilKarena pengalaman adalah guru terbaik. Maka, kenyataan adalah teman terhebat untuk berubah menjadi lebih baik.