Berjalan tanpa tujuan dengan penampilan seadanya. Tampak ia mengenakan kaos oblong warna coklat muda dengan celana jeans selutut dan sandal jepit yang sebelumnya tak biasa ia kenakan. Akan tetapi, dengan keadaannya yang saat ini serba susah ia harus membiasakan diri dengan kesulitan yang tengah ia alami.
Namun, bukan karena kemewahannya yang tiba-tiba direnggut dari hidupnya yang membuat ia sangat membenci orang-orang disekitar. Akan tetapi, pria yang selama ini ia agung-agungkan pun turut pergi menghilang.
"Jadi ini alasannya, selama ini kamu tiba-tiba ngilang?" Sembur Kiara pada sepasang kekasih yang tengah jalan berdua bergandengan tangan tampak romantis.
Tampak mereka yang hanya melihat dengan tatapan menghina. Tak mengindahkan pertanyaan yang menyudutkan dari Kiara.
"Gita, tega ya kamu. Dasar perempuan gak tahu diri," cemooh Kiara sambil mengangkat tangan kanannya berniat menampar wanita yang selama ini ia sebut sebagai sahabat.
"Kia cukup," bentak Haikal menangkis tangan kanan Kiara yang hampir mendarat di pipi mulus Gita. "Apa-apaan sih kamu?"
"Kamu yang apa-apaan. Udah tahu aku lagi susah bukannya nyariin aku. Tapi, malah jalan sama cewek yang gak seberapa ini."
"Apa kamu bilang?" Tanya Gita dengan sombongnya. "Cewek yang gak seberapa? sadar dong. Dengan keadaanmu yang seperti ini, kamu pikir kamu siapa? Ingat ya Kia, kamu bukan lagi Kiara yang dulu, sekarang kamu tuh gak lebih dari cewek miskin yang bukan siapa-siapa."
Terlihat Kiara yang tersulut emosinya, matanya yang mulai berkaca-kaca tak percaya jika dirinya sekarang sehina ini.
"Kalian menjijikkan," cela Kiara seraya langsung berlari meninggalkan mereka. Ia tenggelam dalam tangisnya dan tak mempedulikan orang-orang yang tengah memperhatikannya.
Menghentikan langkah kakinya dipinggiran jalan raya, ia berdiri mematung dengan tatapan monoton kearah kendaraan yang berlalu lalang. Pikirannya semakin dalam merasakan pedihnya kehidupan yang tengah ia alami.
Dibalik kesombongan dan keangkuhannya, ia tetaplah anak muda yang membutuhkan kasih sayang dan pengakuan. "Aaaaa," teriaknya keras, ingin memberontak. Namun, tak kuasa.
Perlahan melangkah dengan lunglai. Pikirannya yang kosong, ia mulai pasrah dengan keadaan. Tak lagi menemukan kemauan dan harapan, sejenak ia berniat akan mengakhiri hidupnya. Lalu, setelah kakinya mulai menapaki jalan aspal turun dari trotoar, suara klakson mobil terdengar mulai bersahutan dengan mobil yang lain. Akan tetapi, Kiara yang kini telah lelah mencari alasan untuk hidup tak sedikitpun mengindahkan suara-suara itu.
Hingga tepat ditengah jalan, ada satu mobil yang menekan klakson panjang memberi isyarat. Tampak mobil Hatchback warna gelap tiba-tiba berhenti hampir menabrak, membuat Kiara sadar lalu mengusap kedua air matanya.
Pun, dua pria remaja yang berhasil dibuat kaget dengan keberadaannya yang tiba-tiba di tengah jalan. "Dasar cewek gila," teriak Alkaf dari dalam mobil dengan kaki yang masih menginjak rem dengan sangat keras.
Sedangkan, Sananta yang tampak cuek dengan kejadian yang baru saja terjadi. Hanya, sekilas melirik ke arah Alkaf yang merupakan saudara tirinya. Lalu, kembali fokus pada buku yang sedari tadi ia baca.
Alkaf yang memutuskan untuk turun dari mobil dan langsung menghampiri Kiara. "Udah bosen hidup ya, ngapain berdiri ditengah jalan gini," tuduh Alkaf sembarangan.
"Sorry," jawab Kiara seadanya.
Tampak seperti orang yang kehilangan arah, Alkaf mulai merasa bersalah karena telah membentaknya. Namun, ia tak punya waktu untuk iba. Mendapati Kiara yang masih tetap dalam tatapan monoton, Alkaf segera balik ke dalam mobil dan kembali meneruskan perjalannya.
"Aku rasa tuh cewek lagi punya masalah yang cukup berat deh," terang Alkaf memancing pembicaraan dengan saudara tirinya.
"Ya udahlah, masalah dia kan," jawab Sananta seperti biasanya, ia memang selalu tidak mau tahu perihal orang asing.
Mendengar jawaban sang kakak yang terkesan dingin, Alkaf hanya menarik napasnya panjang. Ia sudah mulai terbiasa dengan sikap saudaranya yang berbanding terbalik dengan dirinya sendiri.
Lalu, setibanya di sebuah gedung bertingkat dan megah. Tampak raut wajah Sananta berubah masam.
"Kamu aja yang masuk, aku disini aja," pinta Sananta yang membuat Alkaf mengernyitkan kedua alisnya.
"Ya gak bisa gitu dong bang, Papah sama Mamah kan nyuruhnya kita berdua yang kesini."
"Mereka butuhnya sama kamu doang, udah sana masuk." Sembari mengambil kunci mobilnya dari tangan Alkaf dan langsung masuk seraya bergegas pergi dari tempat kebanggaan keluarga besarnya.
Gohwan Company adalah perusahaan besar milik keluarganya. Namun, setelah kematian ayah kandung Sananta seakan dunia juga ikut mati dalam pandangannya. Ibu yang dulu begitu sangat menyayanginya, kini berubah setelah bertemu dan menikah dengan Pak Abraham. Ditambah kedatangan Alkaf putra kebanggaan Mama dan Papa tirinya semakin membuat hidup Sananta tiada makna.
Perusahaan yang sepenuhnya menjadi haknya. Akan tetapi, pak Abraham telah menguasai segalanya. Dengan sekejap melupakan ayah Sananta yang telah bekerja keras mendirikan dan memajukan perusahaan. Pak Abraham yang serakah, sedikitpun tidak pernah memikirkan tentang masa depan Sananta. Namun, sebaliknya ia sibuk mempersiapkan Alkaf sebagai penerus perusahaan yang sah.
Berada dalam tekanan harus mengalah dan harus selalu bungkam, Sananta hanya bisa mengiyakan dan menerima dengan pasrah perlakuan tidak adil dari keluarganya.
Namun, meskipun begitu. Ia sangat menyayangi Alkaf. Hidupnya yang selalu sendiri dari ia masih kecil, membuat ia sangat bahagia mendapatkan adik laki-laki meskipun itu anak dari pria yang selama ini menyiksanya diam-diam.
Dibalik kesibukannya, mereka hampir tidak memiliki waktu untuk Alkaf. Jadi, memang sedari kecil, hanya Sananta yang selalu ada dan peduli terhadap adik tirinya. Sepenuhnya ia menyadari bahwa Alkaf tidak tahu menahu perihal kekejaman Pak Abraham. Jadi, sedikitpun ia tak punya alasan untuk membenci Alkaf. Justru sebaliknya, tampak kakak beradik itu terlihat sangat saling menyayangi dan menghargai.
"Sial," umpatnya dalam kemarahan, beberapa kali memukul setir dalam mengemudi, Sananta benar-benar tidak percaya keluarganya sekejam ini.
Tanpa rencana dan tujuan. Ia mengehentikan mobilnya didepan cafe, sekedar ingin mencari ketenangan dengan secangkir kopi.
Membuka seat belt dan langsung turun dari mobil. Tampak penampilannya yang cool mampu menghipnotis pengunjung perempuan yang berada di sana. Mengenakan celana jeans selutut yang hanya dipadu dengan kaos oblong polos warna putih, sepatu keeve terbaru yang senada ditambah kaca mata hitam dan jam tangan mahal membuat ia tampak perfek dalam pandangan. Akan tetapi, keadaan hatinya tidak sebaik penampilannya, matanya yang sayu selalu saja basah dikala malam.
Tampak tangan kanannya masih dalam saku celana, ia berjalan santai seakan keadaan hatinya tengah baik-baik saja. Akhir-akhir ini ia terlihat semakin mahir memanipulasi perasaan, mengingat sebentar lagi Alkaf akan resmi menjadi manager di perusahaan keluarganya. Dan ia akan semakin sulit untuk menemukan ketenangan dalam setiap harinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
SANANTA
Novela JuvenilKarena pengalaman adalah guru terbaik. Maka, kenyataan adalah teman terhebat untuk berubah menjadi lebih baik.