Rumah yang Ditinggalkan

313 41 4
                                    

Tuhan tahu terbaik untuk hamba-Nya, menciptakan manusia tanpa cacat dalam hatinya, mensucikannya sebelum lahir ke atas dunia, memberikan fisik merangkak sempurna.

Jauh sebelum manusia mengerti arti dunia, Tuhan telah memberikannya semenjak dalam kandungan, memberinya pilihan tanpa ada paksaan memulai hidupnya.

Namun, Tuhan menciptakan semesta bersamaan dengan luka. Tak ada yang sempurna ketika takdir mengendalikan semesta. Banyak perselisihan menciptakan luka, hingga mengabaikan kebahagiaan yang tak bersalah.

Langkah demi langkah dibebani permasalahan, menyeret asa demi menggapai pengakuan. Mata memancarkan duka, hati menyuarakan sendu, dan jiwa kian layu.

Waktu terus berjalan, walau banyak ditinggalkan. Tak akan ada iba untuk sekedar mengulang masalalu karena setiap detik yang dilewati tidak mampu mundur kembali.

Dulu, anak adalah segalanya bagi keluarga kecil bahagia, melengkapi kesempurnaan sepasang manusia, memberikannya rumah tanpa diminta. Itulah kebahagiaan anak manusia.

Namun semuanya sirna. Ketika teriakan saling beradu tajam, menyuarakan siapa yang paling benar, hingga menghancurkan kebahagiaan malaikat kecil yang belum mengerti arti Perceraian.

Sampai dimana si kecil mulai menjatuhkan air mata melihat papa menyeret koper keluar bersamaan jeritan mama yang berusaha menahan kaki papa.

Papa benar-benar keluar, membiarkan mama meraung pilu, sementara si kecil mematung, tangisnya ikut menyendu, memeluk boneka pemberian papa untuk yang terakhir kali, karena papa setelah papa pergi semua barang pemberian papa dijauhkan dari pandangan. Papa pergi meninggalkan rumah tak sebahagia dulu.

Setelah itu terjadi, mama tak seceria dulu. Hanya diam, dan mengabaikan si kecil mencari jawaban kemana papa sebenarnya.

Tiga bulan kepergian papa, rumah menjadi suram, sunyi dan kelam. Mama sering keluar, meninggalkan si kecil dalam kesepian. Langkah pendeknya ia bawa ke gudang, mencari boneka yang disembunyikan Mama.

Mata bulatnya berbinar melihat boneka beruang di lemari usang, mengambilnya susah payah, hingga boneka itu jatuh ketangan mungilnya.

"Bubu, Janu kangen," ucapnya, memeluk erat boneka beruang kesayangannya.

Langkahnya ia bawa keluar, berhenti di ruang keluarga, tempat biasa mama dan papa duduk di sana.

Dulu, ketika papa masih di rumah, mama selalu tersenyum melihat tingkah papa dan Janu. Ramai akan tawa Si kecil digelitik papa, dan mama melerai kejahilan papa.

Sekarang Si kecil Janu tinggal sendirian, menatap sendu bayangan keluarganya dulu.

Tiba-tiba, pintu dibuka kasar mengalihkan perhatian Janu, mengikuti derap langkah kaki mengarah ke kamar papa dan mamanya. Janu mengintip celah pintu yang terbuka, melihat mama sedang manangis sambil memegang kertas berkilauan . Berteriak memaki keadaan.

Dengan sedikit ragu Janu menghampiri mamanya, memeluk dari belakang, ikut menangis dalam ketidaktahuan.

"Mama ... hiks ... kenapa?"

Sang mama beralih menatap Janu dengan tajam, menghunus tatapan kebencian, memojokkan Janu semakin mengencangkan tangisan.

"Gara-gara kamu ... suamiku meninggalkanku ... gara-gara kamu suamiku menceraikanku ... sekarang lihat ...." Mama mencampakkan kertas yang bertuliskan Undangan Pernikahan yang tertera nama papa disana.

"Hancur, SEMUANYA HANCUR!" teriakan keputusasaan mama mengoyak relung hati janu.

Janu kecil terdiam, walaupun matanya terus mengalirkan kesedihan. Untuk pertama kalinya, mama menyalahkannya. Janu belum sepenuhnya mengerti kenapa papa pergi, dan memilih menikah lagi setelah meninggalkannya dengan mama.

"Kenapa aku harus menanggung semua ini? Apa salahku Tuhan?" Mama duduk bersimpuh menyuarakan keputusasaan.

Janu kecil hanya bisa mematung, tak berani menyentuh mama yang sedang terluka. Janu kecil memilih melangkah keluar, membiarkan mama tenang tanpa dirinya. Masuk ke dalam kamar yang di dominasi karakter Mamah Deadpool, merabahkan tubuh kecilnya ke kasur, mengambil boneka beruang pemberian papanya.

"Papa pergi kemana? Mama marah-marah sama Janu. Janu takut, janu kangen Papa." Si kecil Janu memeluk erat boneka beruangnya, terisak di tengah kesunyian malam.

Pagi harinya, Janu kecil terbangun mendengar suara koper diseret kasar, membuatnya teringat hari itu. Dengan langkah lebar, Janu mencari asal suara, mendapati mama sedang menurunkan beberapa koper dari atas tangga.

"Mama mau kemana? Janu ikut."

Mama melirik sekilas, kembali sibuk mengambil barangnya di atas.

Mata Janu berkaca-kaca melihat hanya barang Mama disana. "Mama nggak ninggalin aku kan? Aku takut sendirian. Papa belum pulang, Mama jangan pergi ya?" Janu gemetar memegang tangan Mama.

Tanpa perasaan mama menyentak tangan Janu kecil. "Jangan sentuh saya! Kau tetap disini!"

Seketika tangis Janu meledak, memegang erat lengan Mama. "Maaf Janu nakal, Janu janji nggak akan nakal lagi."

Mama mengacuhkan tangisan Janu, memili menyeret kopernya keluar, tidak peduli ruangan Janu memintanya kembali.

Janu menangis kencang menatap nanar mobil mama hilang dari pandangan. Sekarang Janu benar-benar sendirian, hidup dalam kesunyian, jatuh kelamnya derita.

TBC




Hai popon kembali dengan kesedihan😌

Udah lama banget ya nggak up🥲

Terimakasih sudah bersabar menunggu popon kembali🥰

Cerita ini baru pembuka kesedihan, masih sanggup untuk selanjutnya? 🙃

Popon harap kalian bersabar dengan cerita ini☺

Jika kalian suka jangan lupa tinggalkan jejak😘

Salam Manis Popon

Rumah untuk JanuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang