[•••]
Seorang wanita cantik dengan perut yang besar berbalut dress panjang bermotif bunga perlahan keluar dari mobil yang dinaikinya setelah menunggu sejenak pintu mobil dibukakan.
Setelah mengucapkan terima kasih, wanita itu, Mauretta, berjalan perlahan menuju pintu rumahnya.
Helaan napas keluar setelah ia duduk di sofa ruang tamunya. Ia menyimpan tas jinjingnya terlebih dahulu sebelum menaikkan kakinya untuk diluruskan di atas sofa.
Mauretta memejamkan matanya sejenak. Tubuhnya terasa remuk semua. Padahal yang ia lakukan hanya sekedar duduk dan berbincang di acara di rumah temannya. Temannya juga sangat perhatian akan kehamilannya. Memang efek ibu hamil seperti ini.
"Bibi." gumamnya memanggil. Bibi yang kebetulan juga sedang berjalan menghampiri segera berlari kecil mendekat.
"Iya, Nyonya? Ada yang bisa saya bantu?"
"Tolong segelas air putih, Bi."
Bibi hendak beranjak, namun urung oleh sebuah pertanyaan. "Rana sudah pulang?"
"Sudah, Nyonya. Nona naik ke atas setelah menanyakan keberadaan nyonya tadi." jawab Bibi sopan. Tena, namanya, Bibi Tena.
"Tanya-tanya gimana?" tanya Mauretta penasaran.
"Tanya, nyonya pergi kemana, dan sama siapa, Nyonya."
Saat dirasa tidak ada lanjutan, Bi Tena mohon izin mengambilkan air untuk majikannya.
Tak berselang lama Bi Tena tiba dengan segelas air putih di atas nampan.
"Oh iya, Nyonya, tadi kalau saya tidak salah lihat, telapak tangan nona diperban dan juga bawah dagunya ada kapas dan hansaplast." ujar Bibi.
"Saya tidak sempat bertanya. Jadi, untuk kebenarannya lebih baik Nyonya tanyakan langsung pada nona." lanjutnya.
Mauretta langsung menatap terkejut Bi Tena. Beberapa saat kemudian ia berkata, "Nanti tolong suruh Mega buat panggilin Rana, ya, Bi?" pinta Mauretta sesaat setelah Bi Tena meletakkan gelas itu.
Bi Tena mengangguk meng-iyakan. Sebelum Bi Tena berlalu, Mauretta berpesan, "Kalau sudah suruh Mega, nanti bibi kesini lagi ya? Tolong pijitin punggung saya. Rasanya nyeri semua." pinta Mauretta lagi diakhiri kekehan.
Bi Tena berlalu setelah menyanggupi perintah.
[•••]
Di dalam kamarnya Dera membolak-balik pisau lipat ditangannya. Membuka, menutup, juga ia gunakan untuk memotong kertas. Hasilnya, wow! Sangat tajam.
Terbukti dari kertas di buku tulis Dera sobek sepuluh lembar, padahal ia tidak terlalu menekan saat mengirisnya karena menggunakan tangan kirinya.
"Beh tajam banget. Pantes aja bawah dagu gue sampai luka gini." gumamnya kagum dengan tangan bergerak meraba.
"Ini pisau kesayangannya antagonis yang selalu dia bawa itu 'kan?"
Dera meletakkan pisau itu di atas buku terbuka yang kertasnya sudah robek itu. Tangannya terlipat di atas perut.
Merenung sebentar. "Astaga, kenapa gue nekat banget tadi?" keluhnya. Sekarang ia menyesali segala yang ia lakukan. Tangannya bergerak mengacak-acak rambutnya.
"Adera, sadar! Dia itu antagonis novel yang nggak pandang bulu."
Di novel banyak adegan jika Leon itu sungguh bringas apalagi setelah kecelakaan yang dialaminya.
Belum Dera ketahui apa alasannya tapi yang pasti Leon begitu dendam dengan Harlyn. Bukan merebut female lead dari male lead, Leon malah memusuhi keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind the Script [Upload Ulang]
Teen Fiction[Transmigrasi Story] [Slow Updet/sesuai mood] Bukan terjemahan! Karya pribadi dan bukan jiplakan! Belum revisi. ------------------------------------------------------------------------ Menjadi penggemar salah satu novel best seller adalah status A...