Mabuk di Selokan

23 3 0
                                        

"Jurus langkah seribu bayangan," kataku lirih mengangguk pada Alde, dengan sudut mata mengawasi lawan yang masih mengepung kami. "Pada hitungan ketiga ya," aku memberi arahan.

"Apa?" tanya Alde masih tidak mengerti.

Belum lagi aku sempat menjawab kebingungannya, salah seorang dari mereka bersuara.

"Hei, kalian berdua menyerah aja!" kata orang yang mengenakan kemeja hitam dengan tatanan rambut kelimis. "Terlebih kamu, Alde. Aku cuma mau kamu bersedia tanda tangan di atas meterai untukku. Dan juga serahkan mobil pajeromu. Kamu tahu, kamu nggak berhak atas mobil itu. Gampang aja, kan. Kamu juga nggak perlu babak belur."

Aku manggut-manggut setuju. Tetapi ketika Alde buka mulut, semuanya menjadi sangat mungkin kami tetap akan merapal jurus pamungkasku.

"Nggak akan! Aku nggak akan menyerahkan mobil itu, atau tanda tangan," balas Alde yang memberiku sedikit informasi bahwa Alde seorang yang keras hatinya entah keras kepala.

"Bajingan!" sumpah serapah dari si rambut kelimis terdengar. "Kamu mau merampas semua yang kami miliki, hah?"

"Kamu merampok dia?" bisikku pada Alde mengambil kesimpulan segera.

Alde menoleh padaku dengan pandangan sengit, tetapi dengan segera menyahuti ucapan orang yang sedari tadi bicara.

"Aku hanya mengambil sedikit, kenapa kamu terus mengungkitnya?"

"Sedikit, katamu? Cuih!" Pria kelimis itu meludah dan mendarat di sepatu salah satu pengikutnya.

Sumpah aku ingin tertawa. Tetapi kutahan sangat. Apalagi, pria plontos yang sepatunya kejatuhan ludah dari bosnya itu, kupikir dia itu bosnya, tampak jijik berusaha membuang air liur dari sepatunya dengan cara mengetuk-ketukkan ujung sepatu.

Saat bibirku mulai mengembang, aku berusaha menutupinya dengan punggung tangan serta berdeham. Tidak mau terlihat sedang menertawakan kemalangan orang.

"Kamu nggak sadar, udah mencuri banyak hal dariku?" Hempasan napas kasar terdengar. "Terlalu. Kamu punya otak nggak, sih? Apa hatimu juga terbuat dari batu. Sama seperti perempuan sundal itu."

"Tutup mulutmu!" teriak Alde yang terasa memekakan telingaku. Bagaimanapun, posisi kami berpunggungan saling melindungi satu sama lain, membuat jarak antara mulut Alde dengan telingaku sangat dekat ketika dia menoleh pada si Pria Kelimis.

"Duh," desisku sambil menepuk telinga beberapa kali.

"Kamu tidak pantas berkata kasar pada wanita yang sudah banyak berjasa untukku," lanjut Alde.

Satu kesimpulan kudapat; wanita itu bisa jadi pacar Alde atau malah istrinya. Terus hubungannya sama laki-laki kelimis itu apa? Kenapa justru dia terlihat sangat membencinya.

"Berjasa katamu. Dia tidak ubahnya seperti duri dalam daging bagi kami," sembur Pria Kelimis tersenyum mengejek.

"Sebaiknya kamu jangan mengusik keberadaan kami di sini." ucap Alde berusaha tenang. "Kami sudah menyingkir jauh kemari. Saranku, kalian segera enyah dari sini atau aku laporkan pada polisi atas tindak kekerasan yang telah kalian lakukan. Kemarin aku memang bungkam, tapi setelah ini, kalau kamu masih bertindak keterlaluan aku tidak akan tinggal diam."

"Laporkan aja. Itu kalau kamu masih hidup pada detik berikutnya." Bersamaan dengan ucapan Pria Kelimis, orang-orang bawahannya segera melangkah maju seiring kode tangan yang dia gerakkan.

Aku kembali memasang kuda-kuda waspada setelah tadi sempat mengendorkan pertahanan, dalam rangka mencerna setiap percakapan yang terlontar dari mulut Alde dan si Pria Kelimis.

Meski demikian, aku masih belum paham apa yang sebenarnya mereka perselisihkan. Masa iya, cuma perkara rebutan mobil Pajero? Ataukah orang-orang ini debt collector yang menagih hutang pada Alde dengan jaminan mobil itu. Terus hubungan sama wanita yang tersebutkan tadi apa?

Vagabond TrashTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang