1

38 4 6
                                    

Kamar apak ini sudah lama tidak kusapu lantainya, jarang ku-lap pula barang-barangnya. Jendela yang sudah reot, penuh dengan debu, dan beberapa serangga kecil hinggap disana. Mungkin saking tak tersentuhnya, kamar ini sudah seperti kawasan rumah berhantu dalam film yang biasa tayang di teater.

Suara kenop pintu berderak.

Aku menoleh ke belakang, Dean Campbell berdiri tepat di tengah-tengah pintu sambil tersenyum menatapku. Senyuman mengejek. Aku melengos, mengabaikannya dan memilih untuk mengambil kemonceng berbulu angsa yang baru saja kubeli kemarin di toko seberang pagi-pagi sekali.

Campbell masih tidak bergerak di tempatnya. Mengamati pekerjaanku sambil bersedekap dengan salah satu tangannya mengarah kepadaku. Dia membawakan aku kain pel.

Bokongnya hampir kutendang jika saja dia tidak lebih dulu lari dengan terbirit.

"Semangat! Semangat! Aku akan datang lagi setelah dua jam. Hahahah.."

Sayup-sayup mengesalkan itu akhirnya melebur bersamaan dengan debu tebal dari barang lama yang kubersihkan. Lain waktu, aku tak berniat untuk kalah lagi darinya dalam segi penumpasan monster maupun hanya dalam permainan bodoh yang membuatku ingin menendang setiap batang pohon cassia yang kulihat.

Meskipun tingkahnya kadang perlu ditanyakan, Campbell adalah orang yang paling kuandalkan di lapangan. Dia bisa jadi orang paling bijaksana ketika kami dihadapkan pada beberapa pilihan sulit(meskipun kadang berakhir tidak mulus), atau yang paling sabar saat bertemu dengan klien merepotkan yang memprotes sana-sini. Sederet senyumnya kadang bisa jadi penenang dalam situasi menegangkan atau bisa jadi senyum paling menyebalkan di dunia.

Hari ini Campbell bertugas di lantai pertama, satu-satunya ruangan yang ditata dengan serius. Khusus untuk menerima tamu atau klien yang ingin berkonsultasi. Dan seperti yang diketahui, aku yang kalah dalam permainan kata ditempatkan di ruang kamar bekas yang sudah lama tak tersentuh, membersihkan debu-debu, menyapu lantai kayu bernoda hitam yang sangat lengket, benda-bendanya pun harus kupilah dengan benar supaya mudah untuk mengklasifikasikan barang mana yang harus dibuang atau disimpan dengan rapi.

Jelas saja ini adalah pekerjaan menjengkelkan. Meski tak pandai bicara seperti Campbell, menerima tamu di bawah tentu lebih menyenangkan. Seseorang akan tiba entah pukul berapa tepatnya. Dia adalah lelaki berwajah lonjong dengan lesung di pipi kirinya. Iris matanya berwarna hijau cerah, mengingatkanku pada perairan Danau Chapala yang tenang. Rambut ikalnya yang kepirangan padat dan bergelombang, ombak di pantai mungkin kalah dengan rambut anti badai miliknya. Aku meyakini, tubuhnya tak lebih pendek atau lebih tinggi dariku; saat dia datang nanti, aku ingin memastikan kembali tentang ini, karena sebuah kebanggan tersendiri bagiku bisa mempunyai postur lebih tinggi dari laki-laki.

Saat jam di atas meja berdentang nyaring, tandanya sudah pukul enam. Aku mengemasi alat kebersihan, menutup tirai jendela yang belum sempat diganti, dan mengunci lemari baju yang tadi sempat dibuka untuk kubersihkan. Aku mengamati kamar ini dengan senyum puas, sudah jauh berbeda dengan saat pertama kali aku menjejakkan kaki di tempat ini. Lantainya bersih berkilauan, Campbell harus melihat ini sebelum anak baru itu datang. Dia juga wajib memberiku sepuluh ribu pujian untuk ini kalau tidak mau rambut blonde kesayangannya yang lepek itu kujambak hingga rontok.

Sayup-sayup, aku bisa mendengar sebuah percakapan yang frekuensinya semakin lama semakin besar. Suara langkah kaki berderap menaiki anak tangga, aku dapat menebak ketukannya berasal dari sepatu pantofel, entah milik Campbell atau si anak baru yang beberapa waktu lagi akan menempati kamar ini. Aku sembilan puluh persen yakin itu adalah suara sepatu Campbell, memakai pantofel dalam rumah sudah menjadi kebiasaan buruknya.

Suara pintu yang berderak terbuka. Aku berada tepat di sisi depannya.

"Berhenti!" suaraku lebih cepat daripada kaki-kaki itu menjejakkan lantai yang baru saja aku pel. "Lepas alas kaki kalian!"

Campbell tersenyum pada anak baru, tangannya menunjukku, entah mengapa aku merasakan de javu. "Nah, kalau dia, kau tak mungkin lupa kan?" tangan kanannya menumpu pada tembok sementara kakinya melepas sepatu, meletakkannya di pojok luar kamar. "Wajahnya cukup eksentrik, akan aneh kalau kau melupakan dia."

Aku menganggap kalimat itu sebagai pernyataan perang. Mataku menatap nyalang pada Campbell yang hanya balas nyengir. Dua lelaki itu akhirnya masuk setelah menanggalkan sepatu masing-masing dan hanya mengenakan kaus kaki putih kumal yang biasa dipakai oleh sebagian besar orang. Setelah kuperhatikan lebih dekat, warna mata si anggota baru nampak setenang perairan dalam yang menghanyutkan. Tatapan matanya yang kuyu membuat lelaki itu nampak seperti jeli di atas piring yang digoyang-goyangkan dengan sengaja. Gaya berpakaiannya sangat biasa, dia kelihatan tak tertarik pada selera tren terkini yang dimunculkan pada topik nomor 1 majalah Times. Lalu satu hal terakhir, yang paling jelas dan yang terpenting, penampilannya yang loyo membuatnya kelihatan tak seperti penyintas.

"Sepertinya hari ini kau kelihatan lebih... Errr, maaf ya.. Lebih mengenaskan daripada saat pertama kita bertemu." meskipun tak enak hati, namun aku sudah tak tahan dengan penampilannya. "Atau penampilanmu memang seperti ini?"

Tak terduga, dia menatapku dengan intens. "Boleh aku duduk?" dia menunjuk pada satu kursi kayu yang terletak di sebelah kasur.

Campbell yang bereaksi lebih dulu. "Oh! Tentu saja. Mulai sekarang, ini akan jadi kamarmu, Jesse." Campbell menjawab dengan suaranya yang lembut.

Namanya Jesse Prescott. Lelaki yang mulai hari ini menjadi anggota baru tim penyintas kami. Aku dan Campbell ikut duduk, di atas kasur yang baru saja kuganti sprei-nya. Dari posisi ini, suasana mendadak terasa seperti wawancara kedua, karena Jesse duduk di kursi berhadapan dengan kami yang duduk bersebelahan.

"Maaf kalau kesanku di rumah ini terasa kurang enak." Jesse meletakkan ransel yang dia panggul di pundaknya ke lantai yang lembap. "Aku belum sempat tidur sejak dua hari lalu."

Ah. Itu masuk akal. Kantung matanya yang tebal dan menghitam adalah yang paling kentara. Kalau memang Jesse tak tertidur dua hari lalu, itu berarti sejak saat kami pertama bertemu. Aku menatapnya kasihan. Kurang tidur betul-betul sesuatu yang melelahkan. Bahkan hanya berjalan menuju dapur pun bisa terasa lemas. Aku pernah mengalaminya ketika sekolah dulu. Proyek yang diberikan guru sudah hampir mencapai batas waktunya. Aku harus mengorbankan dua hari untuk mengerjakan proyeknya, dan satu hari untuk presentasi. Total tiga hari tak tidur. Setelahnya aku demam parah.

"Tenang saja, dulu kami pernah lebih buruk dari ini, kok." suara tawa Campbell mengisi kesenyapan kamar. Jesse ikut terkikik geli.

Aku menengok pada Campbell. "Kapan? Aku tak ingat pernah berpenampilan urakan, bahkan setelah misi di rumah Tellerwin pekan lalu."

Rasanya, aku sudah berusaha untuk selalu tetap rapi dan profesional. 

"Kusarankan kau untuk lebih sering menatap cermin." kata Campbell, "Hanya saran yah.."

"Ya, saranmu sangat membantu." jawabku kesal.

Campbell tak lagi melanjutkan percakapan bodoh ini. Dia beralih menatap Jesse yang daritadi diam, sambil memperhatikan sekeliling ruangan. Meski tampak kuyu, kuakui Jesse tampak jeli, dari caranya melirik, juga cara bicaranya yang penuh perhatian, dan bahasa tubuhnya yang sangat hati-hati.

Lalu tiba-tiba Jesse membuka suara.

"Aku ingin kentut."

Kucoret semua pujian tadi.

Nah, bahkan Campbell sampai tidak bisa berkata-kata. Lelaki itu berdiri canggung, begitu pula aku. Dengan pelan, kami berjalan ke arah pintu kamar. Campbell memakai sepatunya sebelum menutup pintu. Dia tersenyum canggung.

"Nikmati kamar barumu, Jesse."










MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang