Tidak ada apa-apa disana.
Hanya ada banyak rerumputan yang tingginya sudah mencapai pinggang kami. Pepohonan disini tinggi-tinggi. Lalu di sebelah pojok paling kiri kami, ada beberapa barang lama yang mungkin memang sudah ditinggalkan disana. Diantara barang-barang tersebut, teronggok sebuah sepeda antik yang sepertinya masih cukup kuat untuk dikendarai. Dan tepat di atas jok sepedanya ada seekor kucing putih bersih dengan mata kuning cerah duduk dengan tenang, menatap kami serius.
Selain itu, halaman belakang ini sama seperti halaman biasa. Tidak ada hal-hal terkhusus disini. Kecuali, satu fakta bahwa kami—tak dapat mengalihkan pandangan dari kedua mata kucing itu.
Ah! Kami terjebak.
Kutukan sang monster berhasil mengambil alih pikiranku. Sekelebatan cahaya warna-warni bergantian keluar masuk, menembus relung jiwaku yang semakin melemah. Aku tak tahu apa yang sedang kupikirkan. Pandanganku semakin kabur pula, aku merasa sebentar lagi tubuhku akan sepenuhnya dikendalikan. Bayangan berwarna merah muda, biru, kuning, hitam, oranye, dan warna-warna lainnya yang semakin membuatku kalang kabut.
Aku tak tahu apa maksud dari cahaya itu. Semuanya terasa sangat kabur. Kakiku tak mau bergerak sesuai pikiranku. Kepalaku tak dapat menoleh ke arah lain—selain mata kucing itu.
Secercah bayangan hitam masuk dengan cepat melewati lensa mataku. Pemandangan pekarangan belakang seketika raib. Semuanya menjadi kelam. Aku bahkan tak dapat merasakan tubuhku ada dimana, atau seperti apa bentuknya. Tempat ini seperti ruang kosong, yang bisa kapan saja mengubah bentuk realitas tubuhku.
Ngingg—
Suara dengungan putus-putus mencapai runguku. Aku tak tahu darimana asalnya dan bagaimana pula dengungan itu mampu membuat diriku berteriak kesakitan. Aku yang tak mampu merasakan badanku, bahkan kepala dan kakiku, hanya bisa berteriak. Entah suara itu adalah suara yang berasal dari mulutku atau bukan. Yang kurasakan sekarang adalah sepenuhnya kesakitan. Sakit yang tak tertahankan. Rasa sakit yang entah berasal dari tubuh bagian mana dalam diriku.
Sesekali aku merasakan pening menghantam, selanjutnya rasa terbakar mulai mendera, dan disusul dengan suara-suara memekakkan telinga. Aku bahkan berteriak tanpa tahu bahwa suaraku telah habis, tak terdengar apapun lagi.
J-ang—
Apa? Aku rasa aku mendengar sesuatu yang menggelitik diantara kenyerian ini.
—n men—na–tapp
Suara itu kedengaran lagi. Akan tetapi, aku tak dapat benar-benar menangkap apa maksudnya. Kalimat itu lebih daripada lirihan yang sangat kecil frekuensinya. Andaikata pendengaranku seperti milik Mr. Cutway, mungkin aku bahkan tak menyadari bahwa ada suara yang terdengar.
"Morella! Berhenti menatap kucing itu!" tubuhku terjatuh menghantam tanah yang penuh rerumputan itu. Bokongku terasa sakit, tapi rasa menyakitkan yang sedetik lalu kurasakan tiba-tiba menghilang dalam sekejap. Napasku menderu-deru, mengap-mengap seperti ikan di dalam air.
Aku mendongak, menatap Campbell yang barusan mendorongku jatuh. Saat aku menoleh ke arah samping kananku, terlihat Jesse yang juga terduduk di tanah sambil memegangi kepalanya yang nampak pening. Kurasa sama sepertiku, dia juga terkena kutukan sang monster.
"Apa-apaan itu tadi?" aku berkata pelan. Tertuju untuk diriku sendiri, yang telah lengah bahkan sebelum misi dimulai.
"Cepat berdiri! Firasatku tidak enak." ucap Campbell gusar. Kedua matanya menelisik sekitar dengan cermat. Dia meraih anak panah dari balik punggungnya dengan cepat, membidiknya ke segala arah.
Aku berdiri. Meraih tangan Jesse yang masih juga terduduk sambil melamun. Dia nampak tak bernyawa meskipun tangannya telah sibuk mempersiapkan senjata.
"Jesse, kau baik?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Monster
Mistério / SuspenseKemunculan monster dari neraka membuat manusia diliputi oleh ketakutan. Para polisi kota yang melawan jarang kembali hidup-hidup. Namun setelah sepuluh tahun penuh manusia dibayang-banyangi oleh kengerian, peneliti pemerintah mengumumkan berita lewa...