2

22 3 3
                                    

Pagi di hari minggu, setelah satu bulan penuh akhirnya aku tahu setiap detail kecil dan kebiasaan lain dari seorang Jesse Prescott.

Seperti, ternyata dia lebih menyukai roti selai stroberi daripada selai kacang. Selera parfumnya nyeleneh, Jesse menyukai wangi-wangian yang menyengat, mirip dengan yang sering dipakai oleh perkumpulan ibu-ibu paruh baya tukang gosip. Lalu, Jesse pandai memasak. Dia paling sering membuatkan kami pai labu dan sup jagung khas, resep ibunya, katanya.

Aku sudah duduk di meja makan dengan wajah yang malas. Jesse, seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, dia tengah membuatkan sarapan. Campbell rajin sekali. Pagi-pagi begini, dia mengenakan kemeja putih polos, celana abu yang disetrika dengan rapih tanpa cela, dia juga memakai ikat pinggang hitam dengan besi pengait mengilat kebanggaannya. Campbell berkata bahwa ikat pinggang itu adalah jimat keberuntungannya.

Sandwich yang berisi daging ham, sayuran, dan telur mata sapi tersaji di depan mataku. Sarapan itu tersorot oleh sinar matahari yang menembus masuk ke dalam ruangan lewat jendela, kedengarannya seperti adegan di kartun. Gorden di jendelanya berkibar-kibar, angin sejuk menyusup masuk membuat udara di dapur menjadi lebih segar. Aku meraih gelas berisi soda yang kubeli kemarin.

"Sebaiknya kau berhenti minum soda di pagi hari jika tidak ingin ginjalmu bermasalah." kata Campbell tanpa menatapku. Dia sibuk mengunyah sandwichnya.

Jesse mengangguk-angguk. Sama seperti biasa, matanya kuyu. Kelihatannya dia begadang lagi.

"Orang dewasa tidak minum susu, Tuan Campbell." jawabanku membuat Campbell tersedak sayuran yang dia kunyah. Lelaki itu menatapku kesal.

Campbell meraih gelas minumannya dengan cepat dan menenggak habis dalam satu tegukan. "Ny. Wanes menduga ada pergerakan aneh di pekarangan belakang rumahnya. Dia meminta kita untuk memeriksanya hari ini dan segera melaporkan pergerakan aneh disana. Upahnya lumayan, kalian tak keberatan kan kalau aku menerimanya tanpa memberitahu?"

"Sir Nolan sudah tahu?" tanyaku.

Campbell mengangguk pelan. "Tentu. Baru saja kututup teleponnya."

Sir Nolan adalah pemimpin kami. Bukan dalam artian pemimpin tim. Akan tetapi, dia adalah orang yang mengatur segala aktivitas, mengenai urusan perizinan, penanggung jawab, dan pemberi perintah. Kalau dia tak mengizinkan kami menerima permintaan kasus, maka kami harus dengan rela menolaknya. Biasanya, hal ini terjadi karena tugasnya terlalu sulit untuk dilakukan tim kami dan akan dialihkan kepada penyintas dewasa yang lebih berpengalaman.

"Persediaan granat kita masih cukup, kan?"

Jesse menopangkan dagunya dengan lesu."Masih cukup banyak untuk membunuh dua monster sapile. Lumayan, kan?"

Campbell langsung bangkit dengan terburu. "Aku akan mengambil persediaan granat ke kantor sekarang. Kalian bersiaplah lebih dulu, pukul sembilan kita langsung bergegas."

Monster sapile merupakan salah satu jenis monster yang terlemah. Serangan mereka tidak terlalu berdampak pada manusia. Gigitan mereka pun hanya setara dengan gigitan seekor kucing kecil yang suka mengeong-ngeong saat induknya pergi mencari makanan. Dengan berbegai alasan tersebut, orang-orang—beberapa bulan ini— mulai menjadikan monster itu sebagai hewan peliharaan. Trennya begitu, aku sedikit miris. Monster yang berusaha kami habisi dengan susah payah malah diperlakukan seolah mereka adalah hewan lucu yang bisa dijadikan teman bermain.

Aku ingin memperingati sebelumnya—dan sebelum semuanya jadi bagian dari kehidupan biasa. Monster itu adalah manusia.

Meskipun mereka sudah bukan benar-benar manusia dalam istilah ilmiah, aku dapat merasakan kepedihan hati mereka saat berhadapan langsung. Monster itu seolah-olah menjerit ketakutan, tapi aku tahu betul, jiwa mereka tersiksa. Orang-orang itu tidak menginginkan hal seperti ini, bahkan setelah kematiannya.

Sebagai seorang penyintas, aku mungkin sedikit-sedikitnya mulai memahami sifat para monster.

"Menurutmu monster seperti apa yang akan kita hadapi?" aku bertanya pada Jesse yang masih sibuk dengan potongan sandwich terakhirnya.

"Yah, kuharap itu benar-benar sapile."

"Kita bunuh saja.." suaraku sangat pelan. Mungkin Jesse mendengar suaraku seperti gumaman atau racauan tidak jelas.

"Apa?"

Aku menatap Jesse serius. "Jika itu monster sapile, kita bunuh saja."

Jesse mengunyah sandwich dan menelannya dengan cepat. "Kenapa? Kita bisa mendapat uang lebih untuk itu." air di gelas langsung tandas dalam satu tegukan. Dia meminumnya seolah-olah tak pernah merasakan air putih seumur hidupnya. "Kalau tak mau, biar kami yang membawanya. Kau tak perlu memaksakan diri."

"Tapi mereka manusia."

Jesse berdiri dari kursinya. Berjalan ke arah tangga atas, menuju kamarnya. "Morella, monster itu bukan lagi manusia."

MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang