3

16 3 17
                                    

Aku mulai membayangkan seperti apa pekarangan belakang rumah milik Ny. Wanes. Biasanya, kami lebih sering melakukan pemeriksaan di sebuah perkebunan, gudang bekas yang sudah lama tak tersentuh, atau di sebuah rumah yang betul-betul kumuh. Jarang sekali Mereka masuk ke dalam rumah yang biasa ditempati orang-orang, karena kebanyakan orang sekarang sudah membuat pertahanan diri dengan menggunakan lampu khusus yang dirancang oleh peneliti pemerintah. Lampu itu dapat membuat para monster lari ketakutan, entah apa alasannya, pemerintah masih belum memberitahukannya. Namun, sejauh ini lampu itu efektif digunakan. Jadi kami tak perlu ketakutan lagi setiap waktu seperti dua tahun lalu.  Kegiatan kami dalam melakukan penumpasan juga jadi lebih mudah dilakukan.

Taksi yang kami naiki berbelok di persimpangan jalan, memelankan lajunya, lalu bergerak menepi ke trotoar. Aku mengernyit kecil. Ini hal yang tidak kuketahui. Sebelum Campbell membuka pintu mobil, aku meraih lengan kirinya, membuat pemuda itu menghentikan aksinya.

"Apa yang ingin kau lakukan?" aku bertanya kesal. Itu karena aku tahu tempat ini. BurMont Tools, tempat perbelanjaan bagi para penyintas seperti kami. Terutama untuk penyintas yang berdiri sendiri, alias tak terikat dengan perusahaan milik pemerintah. Berbeda dengan kami, yang terdaftar oleh pemerintah. Kami biasa menyebut mereka dengan penyintas swasta. Memang kurang nyaman didengar, tapi begitulah sebutannya.

Lalu sekarang, apa yang sebenarnya Campbell ingin lakukan? Campbell menatapku, juga Jesse yang ikut penasaran. 

"Aku lupa kalau senter kalibraku rusak. Jadi aku mau membelinya disini dulu." lalu pikiranku terputar pada waktu Campbell tak sengaja melempar senternya hingga pecah berkeping-keping dua hari lalu saat melawan monster yang hampir saja membuatnya mati jika saja Jesse tidak melemparkan granat ke dalam mulut monster itu.

"Bukankah tadi kau habis dari kantor mengambil granat? Kenapa tak sekalian minta senter juga?" Jesse bertanya sambil mengulum permen rasa stroberi yang entah sejak kapan ia dapatkan.

"Aku lupa memintanya. Makanya aku harus membelinya disini sekarang. Kalau ingin balik lagi ke kantor membutuhkan waktu yang lama. Aku segera kembali!"

Campbell berjalan ke dalam tanpa basa-basi. Aku dan Jesse tetap menunggu di dalam taksi.

"Mau permen?"

Aku menerima sodorannya. 

Jesse tengah membaca buku, entah buku apa. Dia suka sekali membaca sesuatu. Sebenarnya aku juga, tapi aku suka membaca cerita kisah cinta klise yang dihadirkan dengan ending yang bahagia. Sedangkan Jesse, aku menengokkan kepala, mencoba membaca beberapa baris kata yang tertulis disana. Mereka menarik paksa kedua tangan gadis itu dari dua arah berlawanan dengan perlahan, lalu gadis itu— sudah cukup! Aku bisa menebak kalimat yang akan terjadi selanjutnya. 

Gila. Selera bacaan Jesse memang betulan gila. 

Saat aku menoleh ke arah jendela taksi, aku melihat Campbell yang sudah keluar dari toko sambil menenteng kantong plastik.

Saat itu, aku mendengar suara Jesse berbicara.

"Dia tak pernah lupa."

***

Kesan pertama saat pertama kali aku turun dari taksi adalah, biasa saja. Rumah Ny. Wanes benar-benar biasa. Sama seperti rumah-rumah lain. Yang sedikit mengganjal, hanya karena rumah ini letaknya sedikit lebih jauh dari pemukiman lain. Hanya itu saja, dan sebetulnya tidak terlalu jauh, bisa dibilang masih cukup masuk akal.

Kami berjalan menuju depan pagar besi yang bercat coklat kayu. Campbell langsung mendentingkan lonceng bel, menunggu jawaban. Beberapa saat kemudian, wanita dengan pakaian kasual datang menyambut dengan senyuman ramah. Dia memiliki kulit seputih salju, rambut bob pirang yang terlihat sangat terawat, jari-jemari rampingnya membuatku dilanda rasa iri, dan yang paling membuatku terkesan adalah lekukan tubuhnya yang sangat bagus, idaman semua perempuan saat ini. Aku tahu kalau dia adalah Ny. Wanes, Campbell sudah menceritakan beberapa hal kepadaku dan Jesse tentang klien kami kali ini.

MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang