Prolog

9 2 0
                                    

Ramalan selalu menghantui kerajaan manusia. Takdir besar yang dipengang penuh oleh kerjaan dari sang Dewi. Entah apa yang dipikirkan sang Dewi memilih manusia yang penuh keserakahan ini untuk mengemban tugas yang sangat besar. Bukan dari bangsa elf yang memiliki mukjizat lebih dalam berpikir dan lebih rendah hati.

Tanpa ada persetujuan dari siapa pun. Dua anak yang dilahirkan hanya untuk mengemban tugas. Dua anak berdarah raja yang terlahir pada malam purnama merah. Sebuah petanda mukjizat yang diturunkan dengan seenaknya. Hanya sekali dalam kurun satu abad. Demi mengalahkan raja iblis yang selalu menyerang bangsa manusia dan elf dengan kebengisannya.

Tidak ada yang mengetahui kebenaran dari ramalan. Semua orang di penjuru dunia bersorak riang gembira mendengar kabar kelahiran itu. Secercah harapan dari sepasang anak kembar itu. Keberadaan yang sangat amat disambut dengan pemberkatan dari sang Raja. Mengaharapkan nasib bahagia yang datang tanpa tahu apa yang terjadi pada keduanya.

Dikatakan oleh para tetua. Mendoktrin bahwa berkat selalu menghampiri mereka. Menciptakan kejayaan yang selalu ditunggu-tunggu. Tanpa bertanggung jawab dengan nasib yang mereka terima.

Ramalan itu tidak salah. Namun, tidak semua alunan yang disampaikan dengan benar. Ada yang disembunyikan dibalik kepentingan menara. Disembunyikan untuk menciptakan ketenangan masyarakat. Berkat yang belum tentu membahagiakan. Pengorbanan yang selalu tercipta atas kekuatan yang mereka dapatkan. Kebenaran yang tertutupi hingga tidak ada yang mengetahuinya lagi.

Selalu dikatakan jika mereka akan ditemani oleh nasib kebahagiaan. Awalnya kukira hal itu benar adanya. Semua terlihat bahagia mendengar kabar kelahiran itu. Suka cita menghampiri kami. Kekuatan perang dengan bangsa iblis menjadi semakin kuat. Berhasil membuat bangsa iblis mundur.

Sampai saat aku menemukan sebuah buku usang berisikan catatan-catatan tak beraturan. Terkubur di antara ribuan buku dan arsip yang sudah tak ternilai dalam arti harafiah. Seakan sengaja dibuang karena buku ini tidak dapat dilenyapkan akibat sihir yang sangat kuat. Aku pun tidak dapat menghancurkannya.

Kebenaran akan ramalan itu semakin dipertanyakan. Nasib kami tidak semanis dengan apa yang dikatakan orang-orang. Nasib yang membuat permasalahan dunia ini tak kunjung usai.

Buku itu menjelaskan apa yang tidak kami ketahui. Mengenai tiga nasib yang dialami kami para utusan. Hanya satu nasib yang selalu disebut. Nasib yang mengatakan bahwa kami selalu diberkahi kebahagiaan dan kelancaran dalam menjalani tugas kami. Seperti yang diketahui banyak orang.

Namun, dua nasib selanjutnya berbanding terbalik dengan ramalan yang mereka kira. Nasib kedua yang menyatakan bahwa jalan kami diselimuti oleh kemalangan. Kematian yang menghantui di setiap jalannya. Entah penyakit, kecelakaan, hingga pembunuhan. Semua itu bisa terjadi kapan pun.

Kemudian nasib terakhir. Nasib yang menjadi sebab utama mereka para leluhur tidak dapat menyelesaikan tugasnya. Membuat suatu perpecahan secara halus maupun gamblang. Nasib yang mengatakan bahwa salah satu dari kami akan merebut seluruh kebahagiaan dan kemalangan akan menyelimuti kem-

BRAK!

Buku itu dilempar dengan penuh emosi. Kekehan tawa frustasi menghiasi heningnya di tengah kegelapan malam. Kebenaran lain yang selama ini hilang, ia temukan dari toko rongsokan yang didapat dengan cuma-cuma. Entah informasi itu dapat dipecayai atau tidak. Bahkan ia tidak dapat berpikir apa yang ia percayai merupakan kebenaran atau bukan. Tidak ada yang tahu kebenaran pasti di antara keduanya.

Dia berjalan mendekati jendela yang tak jauh dari mejanya. Di bawah atap rumah tua yang penuh dengan debu ini. Menatap bulan yang nyaris semurna itu dengan sepasang manik silvernya. Tersenyum dengan pandangan yang mulai kosong.

"Hah...Miris sekali."

...

MoonchildTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang