Part 3

16.8K 517 6
                                    

Friska memasuki ruangannya dengan tangan gemetar. Ia segera duduk di kursi karena takut tubuhnya ambruk. Friska syok. Bagaimana mungkin ia kembali bertemu dengan pria itu? Bagaimana bisa pria itu adalah anak dari Pak Rudi? Kenapa setelah bertahun-tahun bekerja di perusahaan ini, Friska baru mengetahui fakta ini.

Sekarang bagaimana? Ia tidak mungkin mengundurkan diri karena posisinya yang sudah bagus. Kebutuhannya banyak. Anaknya, adiknya, semua membutuhkannya. Friska tidak mungkin egois dan mendahulukan ego-nya. Ia butuh pekerjaan ini.

Lalu, apa mungkin ia sanggup jika setiap hari harus bertemu dengan Rafael. Pria bajingan yang sudah mati-matian ia hapus dari kenangan hidupnya. Bagaimana jika Rafael kembali menganggunya? Friska masih ingat, bagaimana senyuman miring yang ia lihat ketika tadi mereka bersalaman. Friska yakin Rafael masih mengingatnya.

Tidak

Friska harus berpikir rasional. Hubungan mereka sudah bertahun-tahun yang lalu. Tidak mungkin Rafael masih tertarik padanya. Friska tidak boleh terlalu GR. Ia harus optimis bisa bekerja dengan baik dan profesional. Itu hanya bagian masa lalu yang tidak penting, tidak boleh menjadi penghalang untuknya bekerja dan memberikan kebahagiaan bagi adik dan anaknya. Rafael juga pasti bisa profesional padanya, meskipun Friska sedikit meragukan hal itu.

**
Friska membenarkan kacamata yang ia pakai ketika suara alarm mengejutkannya. Rupanya ia ketiduran. Friska melirik wajah pucat Marcell, adiknya yang kini tidur di ranjangnya. Wajah adiknya sangat pucat dan napasnya terdengar berat. Friska sangat iba melihat keadaan adiknya itu.

Sejak kecil, Marcell memang menderita penyakit paru-paru bawaan. Kedua orang tua mereka sudah mengupayakan segala cara agar Marcell sembuh. Namun, semua usaha mereka terbentur masalah biaya. Hingga ibu meninggal karena kecelakaan dan ayah mereka meninggal karena stroke dua tahun yang lalu, praktis semua tanggung jawab seputar pengobatan Marcell di tanggung oleh Friska.

Ia kuliah sambil mengajar les privat dari rumah ke rumah dengan bayaran yang lumayan karena otak cerdasnya. Syukurlah, meski kadang raga dan otaknya seolah akan remuk, ia bisa menghidupi dirinya sendiri dan dan menanggung biaya pengobatan rawat jalan adiknya.

Namun, dokter yang menangani Marcell sudah mewanti-wanti agar segera menyiapkan biaya untuk operasi. Pasalnya, penyakit Marcell harus segera ditangani dengan tepat dan tidak bisa terus menerus mengandalkan obat jalan. Itu bisa membahayakan nyawa Marcell.

Friska bersusah payah mengumpulkan uang untuk biaya operasi adik kecilnya. Namun, entah sampai kapan uang itu akan terkumpul karena biaya obat jalan Marcell juga tidak sedikit.

Terkadang Friska seperti akan gila memikirkannya, namun ia tetap berusaha waras agar semuanya berjalan lancar. Ditambah kehadiran Rafael dalam hidupnya, sedikit memberinya semangat ditengah kehidupannya yang amburadul. Friska merasa beruntung Rafael mau melabuhkan hati padanya.

Friska berdiri kemudian mencuci muka di kamar mandi. Ia segera memasak agar adiknya sudah sarapan ketika sekolah nanti. Dan benar saja, Marcell makan seperti orang kelaparan ketika bangun tidur. Setelah kenyang, pria kecil itu segera mandi dan berangkat sekolah.

Marcell tergolong anak yang penurut. Meskipun sakit-sakitan, adiknya itu tidak pernah mengeluh sama sekali. Untung saja ada sekolah negeri yang dekat dengan rumah mereka. Jadi, Friska tidak perlu jauh-jauh mengantarkan Marcell sekolah.

Setelah memastikan rumah bersih, Friska segera berangkat ke kampus. Ia naik bus sambil menyandarkan kepalanya. Rasanya tubuhnya benar-benar tidak bisa istirahat. Ketika matanya memejam, suara notifikasi pesan membuat Friska kembali membuka matanya.

Rafael

Sayang, ketika lewat kantin nanti tolong belikan aku orange jus dan kentang goreng. Belikan saja yang banyak. Nanti uangnya aku ganti. Teman-temanku juga mau katanya.

Friska menghembuskan napas berat, ia berusaha tersenyum meskipun hatinya mengeluh. Ia menasehati dirinya sendiri, jika Rafael sama lelahnya dengan dirinya. Ia harus jadi pacar yang pengertian. Friska kemudian mengetik balasan untuk Rafael.

Ya, ada lagi yang kau inginkan?

Tidak sayang. Itu saja. Kau pasti kelelahan. Besok weekend, kita jalan-jalan.

Oke.

Friska memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Ia kembali menyandarkan kepalanya ke kursi bus. Pikirannya melayang tak tentu arah hingga tidak sadar sudah sampai ke kampus. Frika segera keluar dari bus dan berjalan menuju kampus.

Termenung sejenak, Friska segera berjalan ke kantin untuk membelikan pesanan Rafael. Orang jus tiga, dan kentang goreng yang banyak, sesuai pesanan Rafael. Setelah selesai, Friska membenarkan kacamatanya kemudian membawa pesanan Rafael meskipun terlihat kesulitan.

Kentang goreng di tangan Friska nyaris jatuh saat beberapa mahasiswa lain nyaris menyenggolnya. Orang-orang tampak memperhatikannya membawa kentang goreng, jus dan membawa tas ransel di punggungnya. Mungkin mereka semua mengira Friska sangat rakus. Tidak masalah, ini semua demi pria yang sangat mencintai dan ia cintai.

Friska masuk ke dalam kelas Rafael dan langsung menjadi pusat perhatian karena banyaknya barang bawaannya. Ia melihat Rafael tengah berkumpul dengan teman-temannya sambil bercanda. Tidak ketinggalan, Alisa si wanita gatal selalu menempel di samping kekasihnya itu.

"Sayang, kemarilah. Kenapa bengong?"

Dengan kesusahan karena terlalu banyak cup berisi kentang goreng di tangannya, Friska berjalan menuju Rafael. Ia langsung meletakkan kentang dan jus itu tepat di hadapan kekasihnya itu. Friska tersenyum sambil mengusap keringatnya, mengabaikan tatapan sewot dari Alisa.

"Kau pasti kelelahan. Duduklah." Pinta Rafael sambil menepuk kursi di sampingnya, Friska menggeleng pelan.

"Tidak usah. Aku ada kelas sepuluh menit lagi. Aku ke kelas dulu."

"Jangan lupa besok. Aku akan menjemputmu."

Friska mengangguk senang, tidak meladeni tatapan sinis Alisa padanya. Ia berlalu dari kelas Rafael, tidak tahu jika dibelakangnya, Rafael dan teman-temannya menertawakan kebodohannya.

Ayolaaah, siapa wanita yang mau membawakan jus dan kentang goreng sebanyak ini dari kantin ke kelas. Wanita itu benar-benar sudah diperdaya oleh Rafael hingga tidak bisa membedakan antara cinta dan kebodohan. Friska hanya pintar secara akademik, tapi tentang perasaan pria, wanita itu tololnya minta ampun.

Friska segera duduk dikelasnya saat ia nyaris terlambat. Dosen tiba beberapa detik setelah ia duduk. Friska yang kelelahan menguasap keringat dan membenarkan kacamata yang ia pakai. Selelah apapun, ia harus tetap berkonsentrasi. Ingat, ia harus lulus dengan nilai yang baik agar bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.

Beberapa jam kuliahnya kemudian setelah kuliahnya selesai, Friska keluar dari kelas dan berjalan menuju kantin. Ia sangat lapar dan ingin segera makan. Namun, di tengah jalan ponselnya berbunyi. Friska segera mengangkatnya karena itu panggilan dari gurunya Marcell.

"Ya, Bu."

"Nona Friska, adik Anda tadi kami larikan ke puskesmas. Dia pingsan."

"Apa!! Marcell pingsan!!"

"Benar Nona. Tapi sekarang sudah sadar dan bisa dijemput pulang."

"Iya Bu, saya akan segera ke sana."

Mengabaikan rasa laparnya, Friska segera memesan taksi online menuju puskesmas di dekat sekolah adiknya. Friska mengutuk dirinya sendiri karena terlalu abai dengan kesehatan Marcell. Jika terjadi sesuatu pada adiknya, Friska tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena gagal menjaga amanah dari kedua orang tuanya.

My Ex Slave (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang