03

70 14 13
                                    

"Belum ada berita soal donor?"

Hinata melirik Tenten sekilas, lalu menggeleng lemah.

Tentan meremas bahu Hinata. "Jangan menyerah."

Hinata mengangguk. Sejauh ini belum ada donor yang cocok dengan Hanabi. Hinata dan Neji, sepupunya, tidak dapat memberikan donor padahal mereka adalah kerabat. Karena itulah Hinata merasa frustasi. Ia seperti berkejaran dengan waktu dan yang paling ia takutkan adalah Hanabi tidak tertolong. Hinata memeluk dirinya, rasanya hawa dingin seperti merambat melalui permukaan kulitnya. Mungkin hatinya terbelah jadi dua jika ia juga kehilangan Hanabi.

Kami-sama, cukup Engkau ambil kedua orang tuaku, jangan Hanabiku...

Ranjang yang besar itu seperti menenggelamkan sosok Hanabi yang mungil. Usianya belum genap tujuh tahun. Seharusnya ia menikmati waktu bermain dengan kawan sebayanya, sibuk membuat pr, dan memakai seragam sekolah. Takdir merenggut masa-masa kecilnya, berada di rumah sakit dan dijejali berbagai macam obat. Lalu kemoterapi itu telah menghabiskan rambutnya yang panjang dan indah, membuat cekung pipinya yang dulunya gembul, dan menghilangkan rona keceriaan di wajahnya.

Tukar saja denganku, aku rela menahan sakit Hanabi. Jangan gadis kecil itu.

Pada akhirnya Hinata tak sanggup lagi, ia bangkit berdiri saat merasakan panas di pelupuk matanya. Air matanya siap tumpah. Ia tidak ingin membuat Tenten khawatir maka ia memilih keluar dari kamar Hanabi.

"Hinata."

Panggilan itu membuat Hinata menoleh saat ia baru saja menutup pintu kamar Hanabi. Matanya membulat saat mengetahui siapa yang memanggilnya. Hinata menoleh sekilas lewat kaca pintu dan bergegas menghampiri Naruto dan menarik laki-laki itu.

"Apa yang kamu lakukan?" Hinata berbisik.

Sebelah alis Naruto terangkat saat wanita itu menariknya menjauhi kamar Hanabi.

"Sejak tadi pagi aku menghubungi, tapi kau tidak membalas."

Hinata terkejut, ia merogoh ponsel di kantung celananya. Ia tidak sadar jika ponselnya sedari tadi mati. "Oh, maaf."

"Karena itu aku pergi ke mari, aku ingin mengajakmu menemui Sakura-chan."

"Untuk apa?"

Naruto memperlihatkan sebuah amplop. "Aku sudah cek lab. Aku akan memberikannya pada Sakura-chan. Ia ada di ruangannya. Ayo kita ke sana."

Hinata mengangguk, ia meminta Naruto menunggunya karena ia ingin berpamitan pada Tenten.

"Ada masalah?" Tenten terdengar khawatir. "Dokter memanggilmu?"

"Tidak ada masalah, tapi aku ada sedikit keperluan. Kamu bisa menjaganya sebentar, kan?"

"Oke, tidak masalah." Dahi Tenten berkerut saat melihat Hinata gelisah. "Kamu tidak apa-apa, kan?"

Hinata cepat-cepat menggeleng. Ia mengambil tasnya. "Aku pergi dulu."

Hinata bergegas menemui Naruto yang menunggunya di ujung lorong.

Keduanya tidak saling berbagi kabar, mereka berjalan menuju lantai ginekologi dengan diam. Hinata memilin ujung bajunya, sebuah kebiasaan jika ia sedang grogi. Mungkin sebentar lagi mereka akan merencanakan pernikahan dan ada harapan bagi Hinata jika ia bisa mengandung bayi laki-laki berambut pirang ini.

"Masuk." Suara Sakura-chan dari dalam. Naruto membuka pintu dan menyilakan Hinata masuk duluan.

"Ah, kalian. Apa kabar?"

Hinata hanya menjawab anggukan.

"Baik." Naruto menjawab singkat. "Ini hasil labku, Sakura-chan. Hasilnya sepertinya bagus."

Buying Love for BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang